24 November 2008

Preman Politik Juga Harus Disikat

Oleh : Tigor Munthe

Begitu Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) naik
tahta tertinggi di Mabes Polri, dia langsung geber
aksi. Sikat preman dan premanisme ditabuh sejak 2
November 2008 di 5 Polda.
Hasilnya? Fantastis! Kurang lebih hanya dua minggu
lebih ribuan preman digaruk. Angka yang dirilis Mabes
Polri : 8.507 dijaring, 846 diantaranya ditahan dan
7.5661 dibina.

Angka itu diperkirakan akan membengkak jika sejumlah
Polda lainnya di Indonesia digerakkan dengan Operasi
Penegakan Hukum Berantas Preman. Apalagi, dalam waktu
dekat Polri juga gelar operasi serupa, khusus untuk
preman berdasi.

Yang pasti, mendadak aksi operasi Polri ini menggema
dan dinilai langkah terpuji dalam menjaga dan
memelihara keamanan sipil. Karena memang diyakini
preman dan premanisme merupakan salah satu ‘sektor’
penyumbang terbesar kriminalitas.

Preman yang berasal dari kata Belanda, Vrijman yang
berarti orang bebas atau versi Kamus Besar Bahasa
Indonesia, menyebut preman itu adalah orang jahat,
memang patut disikat habis.

Namun, mucul sebuah gugahan, kalau tidak bisa disebut
gugatan. Preman, yang sosoknya selalu berkeliaran di
terminal-terminal bus, pasar-pasar tradisional, pusat
pertokoan modern, atau dimana saja yang menjadi sentra
manusia melakukan aktifitas transaksi ekonomi, adalah
preman yang kasat mata.

Secara fisik, mudah mengidentifikasi mereka;
penampilan acak dan seram, sarat tato di beberapa
bagian tubuh, mata selalu melotot, suka membentak, dan
ciri kasar lainnya.

Lalu, preman yang tidak kasat mata, apa juga bisa
disikat? Preman yang tidak kasat mata? Betul, preman
jenis itu secara fisik memiliki ciri yang berbeda
dengan preman kasat mata. Lebih halus, bahkan lebih
necis, rapi, parlente, elegan bahkan tidak jarang
memiliki wawasan dan pengetahuan berkelas tidak
ubahnya kaum intelektual yang bercokol di ranah
akademis. Persamaannya ada pada pola atau modus
kerjanya ; main paksa bahkan main rampas hak-hak orang
lain. Tidak mau tahu dengan rugi yang diderita orang
lain.

Lantas, preman seperti ini ada dimana? Ada
dimana-mana. Lumayan banyak berkeliaran di birokrasi,
institusi peradilan bahkan di lembaga resmi sekelas
legislatif. Untuk yang beroperasi di birokrasi,
lazimnya mencari ‘makan’ proyek besutan pemerintah.

Umumnya, mereka bermain dan ‘berkeliaran’ di luar
sistim, kendati bisa merangsek ke dalam sistim. Bisa
saja berkedok pemborong atau rekanan. Berbekal
perusahaan yang dipinjam dari kiri kanan, kelompok ini
melakukan aksi leluasa meraup proyek dengan cara tidak
kalah beda dengan ciri main ancam, main paksa dan main
rampas.

Atau, kelompok yang berwara-wiri di lembaga peradilan
dan lembaga hukum lainnya. Jahitan kolaborasi dengan
para penegak hukum utuk meraup untung, merupakan
santapan informasi yang sudah deras kuat mengalir, tak
ubahnya angin yang sulit dijaring.

Preman Politik

Yang lebih hebat, di legislatif, preman jenis ini
bukan menjadi pemain pinggiran, tetapi sebagai pemain
utama. Resmi menerima tahbisan dari negara sebagai
’anggota dewan yang terhormat’.

Bah, kelakuan mereka ini bahkan dibayar dengan mahal
oleh negara. Negara yang melegitimasi aksi menjadi
preman sekaligus gelar wakil rakyat. Tidak bermaksud
menyamaratakan, tetapi mayoritas mereka ini, sebut
saja Preman Politik, memang menjalankan aktifitas
tidak ubahnya preman. Bedanya, kalau preman di
terminal atau pasar penampilan sangar, maka yang satu
ini necis dan memang intelektual.

Pijakan dasar sebutan Preman Politik terhadap sejumlah
anggota dewan yang terhormat itu, adalah ketika mereka
ternyata memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan
rakyat apakah menderita atau merana. Sikap asli muncul
manakala sederetan fasilitas disuguhkan negara, apakah
gaji atau tunjangan yang besar, maupun hak-hak
privilese lainnya, yakni perilaku konsumtif sebagai
imbangan jabatan yang memang sedari mula dianggap
prestise, bukan amanah! Maka mulailah mereka rakus,
dan selalu kekurangan yang kemudian dirangkaikan
dengan aksi premanisme bergaya politis dan
intelektual.

Modusnya beragam. Tetapi tidak akan jauh-jauh dari
pemanfaatan instrumen fungsi dan tugas ;
pembuatan/pengawasan aturan, pembuatan/pengawasan
anggaran dan pengawasan atau kontrol kinerja
eksekutif.

Kekuatan yang terkandung dalam tiga pilar fungsi itu
digelontorkan. Dilesakkan ke eksekutif. Pembahasan
APBD di daerah setiap tahun misalnya, eksekutif
diwajibkan menyerahkan draft penyusunan APBD ke
legislatif agar dikaji, dipelajari atau dikoreksi Tim
Anggaran Legislatif sebelum nantinya diketukpalukan
untuk dilaksanakan.

Dalam sekat ini, aksi premanisme tumbuh subur.
Legislator periode lalu dan kini mempertontonkan itu.
Ada paksa dan ancam yang bertebaran, jika eksekutif
tidak mengakomodir item-item kemauan mereka.

Bisa saja kemauan itu berupa proyek fisik, jabatan,
dana segar, yang sudah disiapkan dan disusupkan ke
draft versi eksekutif. Kelak proyek-proyek itu menjadi
jatah atau bagian dari Preman Politik yang berdasi dan
bersafari itu. Yang pasti, kelompok ini main paksa,
main serobot bahkan main ancam jika tidak diokekan
proyeknya. Ancaman sederhananya; bisa saja akan
mencoret beberapa item proyek yang dinilai basah atau
juga menolak pengesahan draft APBD. Preman tidak?!

Ah, itu cuma sekelumit. Lainnya? Adalah politisi yang
tidak mau tahu dengan urusan dan jeritan kepentingan
masyarakat, politisi yang memang sangat doyan
melakukan pembelaan dan persetubuhan dengan pihak
eksukutif yang meski menerapkan kebijakan salah,
politisi yang tidak pernah turun ke tengah-tengah
masyarakat, guna menggali empati, simpati, dan
aspirasi. Lagi, banyak lagi ciri-ciri. Yang pasti,
identifikasinya adalah amoral dan apolitis.

Polisi = Masyarakat

Jika menilik rencana polisi yang akan menyikat preman
termasuk yang berdasi, yakni yang kerap beroperasi
mengejar proyek-proyek di dinas-dinas pemerintahan dan
lembaga resmi lainnya, hal itu patut diapresiasi.
Polisi bahkan menurut rencana akan melibatkan sejumlah
instansi lain melakukan pengawasan ketika terjadi
proses lelang atau tender proyek di instansi
pemerintahan. Polisi dengan perannya tidak akan
membiarkan para preman berdasi alias preman proyek itu
menggerogoti dan merusak dunia usaha, meminggirkan
para pelaku usaha yang sebenarnya.

Sikap itu, idealnya patut ditiru oleh masyarakat
terutama dalam menyambut Pemilu 2009 mendatang.
Ratusan bahkan ribuan calon legislatif atau caleg
sudah mendaftar untuk berlomba menjadi wakil rakyat,
guna beraksi selama lima tahun dengan jabatan politis
dan mulia yang disandangnya kelak.

Tidak ubahnya dengan tugas dan fungsi polisi,
masyarakat harus berdiri mengawasi proses ‘tender
politik’ yang akan terjadi nanti. Dipastkan, para
caleg, akan berkejaran menyodorkan ragam isi-nya, yang
terbaik dan yang teryahud dalam segala urusan
menentaskan segala urusan, yang bernama proyek
kerakyatan.

Pengawasan dimaksud adalah sebuah gagasan perburuan,
dimana nantinya akan ada sebuah note book, apakah
isi-nya para caleg adalah preman atau tidak. Dan itu
kelak sebagai modal dalam menentukan sikap politik
ketika sudah berada di lokasi sakral bernama Tempat
Pemungutan Suara atau TPS.

Jika polisi bisa mengeksekusi dengan menciduk langsung
preman, masyarakat juga bisa menciduk, meski bukan
secara fisik, tetapi secara pilihan politik. Menangkap
para preman politik dilakukan dengan memenjarakan
ideologi-ideologi negatif mereka, agar tidak kadung
berbaur dengan ideologi-ideologi politisi murni.
Betul, selain preman di terminal atau di pasar harus
bersihkan, maka preman politik di legislatif juga
harus disikat! (Penulis adalah jurnalis tinggal di
Siantar)

GURU…!!! (untuk temanku)

Oleh Tigor Munthe


Aku punya teman seorang guru, guru honorer di salah satu sekolah negeri. Orangnya cerdas, loyal dan fokus dengan pekerjaannya. Sulit mencari orang seperti dia, mau menjadi guru honorer di jaman sekarang. Karena untuk menjadi guru honorer, dia harus rela dengan honor cekak dan di bawah standard. Padahal, tuntutan hidup terus menggelinding, dan itu berlaku di atas tuntutan tugas bernama : kualitas.
Tidak mengenal lelah, temanku itu lalu mencoba membangun sebuah komunitas yang diharapkan bisa menjadi wadah diskusi dan pencerdasan para guru, kelak juga sebagai mesin pendobrak penzoliman atas guru. Fakta hari ini, guru tidak pernah sejahtera dalam arti sesungguhnya. Meski negara dan pemerintah membuat aturan indah dalam Sisdiknas atau UU soal Guru dan Dosen.

Energi temanku itu, tidak berhenti hanya pada pembentukan komunitas guru yang masih tertindas. Dengan semangat mudanya dia mencoba membuat tulisan-tulisan berupa opini di koran-koran. Tulisan tentang guru dan segala soalnya. Memanfaatkan ruang publik yang disediakan media cetak lokal atau media elektronik lokal, dia terus hembuskan nafas perjuangan para guru yang masih tertindas. Dia buka fakta, guru masih belum diapresiasi di negeri ini dan di kotanya tempat berdiam dan menjadi guru honorer.

Dia pernah cerita, honor yang dia terima sebulannya hanya kisaran Rp400.000-Rp500.000. Sedih? Pasti, karena dengan nilai sebesar itu sangat sulit bagi dia untuk sekadar mengisi perutnya untuk sarapan tiap pagi sebelum berdiri di depan kelas, memuntahkan isi kepala dan isi hatinya ke para anak bangsa. Konon lagi, bila dia harus membeli koran untuk sekadar menambah isi kepalanya akan dunia yang saat ini terjadi, konon lagi untuk membeli buku sekadar menambah kekayaan wawasannya, konon lagi untuk….

Lalu, kenapa dia bisa eksis hingga hari ini tetap berdiri di depan kelas? Guru itu adalah pengajar banyak orang. Dia banyak menyimpan energi untuk memboboti orang, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Potensi energi itu kemudian dipakai temanku itu. Dia pasti sudah boboti dirinya, sebelum memboboti anak bangsa. Dia tahu apa yang harus dilakukan, sebelum orang diberi tahu.

Betul, dia temanku itu adalah manusia biasa. Kerap terujar dari mulutnya, keluhan dan resahan. Soal honornya, status honorernya, sistim yang membungkamnya, atau penindasan atas guru yang masih berlangsung.

Untungnya, itu cuma sebatas itu. Tidak pada langkah dan sikap permanen. Dia terus berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, berdiri di depan kelas dan menjadi guru atas semua anak bangsa. Dia mengaku tidak pernah bercerita di depan kelas, soal dapurnya yang kerap tidak mengepul, soal kontrakan rumahnya yang sudah menunggak, soal istri yang kerap makan sekadaranya tanpa menikmat gizi seadanya. Dia hanya bercerita soal sebuah ilmu dan pengetahuan, soal disiplin, moralitas dan etika, serta nilai-nilai adiluhung lainnya.

Sesekali, dia bersama komunitasnya mencoba turun ke jalan. Menumpahkan soal-soal yang sumbat soal guru. Dia meradang ke politisi dan pemerintah. Memuntahkan isi kepala dan isi hati yang terakumulasi : nasib pendidikan anak bangsa dan bangsa ini, jangan diserahi kepada guru yang lapar di depan kelas.

Meski dia kerap tidak didengar, dia tidak pernah berhenti berteriak, sebagaimana dia tidak pernah berhenti mencerdaskan anak bangsa di kelas. Sebab bagi dia, bukan soal didengar atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana dunia tahu jika guru masih lapar dan miskin.

Dia selalu bercerita, mengaku guru masih berkutat di soal klasik. Dia bahkan sangat kecewa, solidaritas sesama guru dalam memecah soal klasik itu, belum terintegrasi bahkan cenderung terseret pada rasa takut dan rasa tidak percaya diri, bahwa akan bisa keluar dari balutan menyesakkan itu. Sikap diam dan membiarkan saja, kalah dan mencari alasan pembenaran, seakan menjadi sampah awal yang harus dia singkirkan dari memori dan kultur guru, sebelum akhirnya tiba pada tuntutan substansial sejatinya.

Tuntutan, Apa itu?

Dia lalu kemukakan apa yang menjadi tuntutan guru saat ini. Apakah guru honorer, guru swasta atau guru PNS, yakni penghargaan dalam arti yang luas, tidak harafiah.Guru tidak sepenuhnya menadahkan tangan untuk urusan gaji semata, apalagi fasilitas lainnya.

Dia bilang, penghargaan itu memiliki makna kuat dan mendalam. Dalam penghargaan ada nilai humanistik dan nilai politis. Humanistik, memandang guru adalah nilai tertinggi sebagai mahluk berkontribusi, kerap mengabaikan diri demi memanusiakan manusia. Lalu politis, adalah nilai pengakuan keberadaan atas perannya menjadikan begitu banyak orang menjadi ‘manusia’ yang seutuhnya.

Itu maka kata dia, negara atau pemerintah sebagai instrumen tertinggi sangat bertanggungjawab terhadap kehadiran guru, apakah di dalam kelas atau di dalam notkah bernama pendidikan.

Bila kedua nilai itu berpendar secara wajar, maka tidak ada lagi guru yang hanya akan menerima gaji Rp400.000-Rp500.000 di awal bulan. Tidak ada lagi guru yang harus menjadi guru di banyak sekolah, mengejar setoran layaknya sopir angkutan yang harus ugal-ugalan di tengah jalan raya yang banyak menyimpan lobang dan rambu jeratan bahkan terancam tabrakan.

Lalu, karena temanku itu tidak mau kedua nilai itu hanya menjadi bantal dalam selimut mimpi, dia memberi arti ulang tahun guru yang jatuh 25 November dengan melakukan kontemplasi. Dia ajak komunitasnya melakukan aksi pikir ulang dan aksi turun jalan. Agar tidak sekadar menjadi korban kepikunan negara atau pemerintah, bahwa guru bukan peminta-minta atau pengemis diantara banyaknya tuntutan yang derasnya minta ampun soal pendidikan yang berkualitas dan anak bangsa yang mumpuni ilmu dan akhlak.

Temanku guru itu, dengan lantang di depan pemangku kekuasaan negeri dan kota dimana dia berdiam menjadi guru, meneriakkan tanpa lelah : hidup guru! Dia tanpa sadar, memberikan nafas yang sangat kuat kepada ribuan bahkan jutaan guru yang masih tertindas. Dia tidak hanya membangun komunitas di ruang sempit, tetapi menggerakkan sebuah nilai universal akan perjuangan melawan penindasan yang masih bercokol, atas guru. Guru, Selamat Ultah…!!! (Penulis adalah jurnalis Siantar Simalungun)

11 November 2008

Sulaiman Sinaga : Dari Tigaras Meretas Impian

Ditulis Tigor Munthe

Sosoknya sederhana namun energik. Selalu tampil komunikatif dalam menghadapi siapa saja yang menjadi teman bicara atau diskusi. Perjalanan karirnya di dunia politik dan dunia usaha telah mengajarkannya banyak hal dalam berkomunikasi, baik komunikasi politik ataupun komunikasi bisnis yang sejak lama sudah digelutinya. Itu sebabnya, kalau diajak diskusi, selain menguasai materi juga pasti akan menularkan hal baru. Isi argumentasinya kerap penuh kejutan dan sentakan. Menawarkan solusi merupakan kata kuncinya, setiap kali ada sebuah isu krusial yang tengah diperdebatkan. Dan itu merupakan garam penyedap ala khasnya. Tidak monoton dan sarat ledakan.

Pria kelahiran Kota Siantar 55 tahun silam itu, sekilas terkesan garang. Perawakannya yang sedikit bongsor menyiratkan energi besar. Energi yang kelak digelontorkan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat di ranah politik. Suaranya besar dan keras, pula mencirikan tekadnya sebagai putra Tigaras, putra Simalungun yang komit dan keras hati unuk menegakkan cita-cita perjuangan.

Mengawali karir politik di Golkar Kota Siantar, pria pemilik tiga radio swasta terkenal di Sumatera Utara ini, terbilang cukup disegani. Masuk dalam jajaran Golkar Siantar bukanlah perkara gampang dan mudah. Diposting dalam jajaran elit sudah barang tentu kualitas dan kemapanan seseorang sangat dipersyaratkan. Setidaknya hal itu bisa diukur dari pengalaman organisasi yang sudah dimasuki. Modal dasar itu kemudian menjadi pemicu-pemicu lanjutan atas eksistensi-nya sebagai politisi yang dihormati dan didengar para kader Golkar dan politisi lainnya di Kota Siantar.

Loyalitas dan dedikasi yang tinggi serta dibarengi rasa cinta besar terhadap partai yang memberinya banyak pelajaran politik dan menmperjuangkan aspirasi masyarakat itu, sangat teruji. Karena tidak sedikit partai baru yang tumbuh menawari dirinya. Tetapi semua itu ditolak.

Hal itu kemudian berbuah, ketika periode 1999-2004 silam, sosok ini duduk menjadi anggota legislatif. Karakter politiknya yang memang berciri keras dan tidak kenal kompromi dengan penyimpangan, membuatnya dikenal vokal ketika menjadi wakil rakyat. Persoalan–persoalan menyangkut kepentingan maasyarakat luas dibantu dan diperjuangkan.

Konsern dan empati yang tinggi, sejatinya sudah lama tertanam. Dan itu menjadi modal kuat dalam bergerak di ranah politik yang sarat dengan kepentingan dan vested. Peristiwa kebakaran Pasar Dwikora Parluasan pada tahun 2000 silam, membuktikan bagaimana sosoknya sangat cepat menangkap sinyal kegelisahan orang-orang di sekitarnya. Dengan sigap dia mengambil peran sebagai ketua, berupaya mengkoordinir bantuan moril dan materil pemulihan bagi ribuan pedagang yang tertimpa musibah kebakaran.

Politik Pemulihan Rakyat

Pemulihan ketika itu tidak berhenti pada penyembuhan temporer, tetapi berkelanjutan sampai memberikan penguatan hingga pulihnya kondisi pedagang dan Pasar Dwikora secara fisik dan ekonomi. Posisi tawarnya yang kuat dan dekat dengan rakyat, kemudian menjadi aset energi dalam membangkitkan mata fokus dan perhatian pemerintah ketika itu, yang dipaksa untuk cepat dan tepat menyelamatkan pedagang dan Pasar Dwikora. Dan dalam waktu dua tahun, salah satu pasar tradisional terbesar itu benar-benar pulih sedia kala.

Benar, konsep pemulihan itu setidaknya menjadi sejarah, ilmu atau pola yang kelak digunakan untuk ‘memulihkan’ rakyat. Siapapun tahu, rakyat kekinian belum sembuh. Masih menjalani proses transisi pasca runtuhnya rezim orde baru. Rezim yang menyisakan busa-busa pembangunan. Rezim yang disebut mengukir sederetan prestasi ekonomi dan pembangunan, tetapi keropos karena ternyata itu cuma kulit luar. Sejatinya rakyat masih miskin, sangat miskin bahkan.

Itu makanya, sosok ini berani mendeklarasikan diri masuk dalam kancah politik. Dia sadar, hanya ranah politik yang bisa menjadi instrumen baginya untuk menjawab skema pemulihan rakyat. Politik ternyata menawarkan konsep yang komprehensif, tidak terbatas dan mampu menjangkau aspek-aspek kehidupan lain, termasuk dunia bisnis yang selama ini menjadi akar dan basis keluarga.

Bisnis angkutan yang dirajut keluarga melalui Fa. Laut Tawar, merupakan sebuah jati diri sekaligus analogi politik sederhana. Pergerakan hidup yang dinamis tak ubahnya roda kendaraan, selalu mendatangkan gairah perubahan. Dimana kemudian semangat perputaran roda itu mengilhami dirinya.

Meretas pemulihan rakyat itu, diawali dengan memasuki bahkan mewarnai sederatan organisasi. Komunitas yang dibangun kemudian menjadi sarana ampuh mengasah simpati dan empati terhadap orang lain. Organisasi merupakan rumah pengglembengan diri sebelum menerjunkan diri dalam ranah politik yang sesungguhnya.

Maka tidak heran, melihat rumah politiknya selama ini yakni Partai Golkar dikendalikan elit yang tidak lagi sehaluan dalam konteks urusan rakyat, dia memastikan keluar dan itu ditunjukkan dengan sikap tegas untuk keluar dari legislatif yang dinilainya sudah dikotori dengan kepentingan sesat dan sesaat dari elit tertentu. Baginya, lebih baik berhenti dari aktifitas politik, ketimbang harus melacurkan diri dengan para oportunis yang tidak memiliki konsep pemulihan rakyat.

Di masa vakum, sempat ada godaan-godaan partai baru, sosok ini tidak bergeming. Namun kecintaannya kepada partai berlatar kuning itu, akhirnya sedikit luruh, ketika Pemilu 2004 lalu sempat mencoba menyalurkan kegelisahannya melalui salah satu partai pecahan Golkar, namun tetap hal itu tetap tidak bisa menghantarnya ke rumah rakyat.

Proses pencarian rumah organisasi yang kelak menjadi rumah pemulihan rakyat terus dilakukan. Pilihan politisi tampaknya lebih menonjol, kendati pilihan bisnis tidak pernah berhenti. Meski bisnis radionya Citra Anak Siantar (CAS) Group terus berkibar yang terlihat melaluiperluasan jenis usaha, yakni tidak hanya berkutat dalam segmen komunikasi, tetapi sudah merambah pasar entertainment berupa pendirian Event Organizer (EO) serta berupa penyedia jasa kontraktor, tetapi hari-hari sosok ini lebih kentara dengan ranah politik.

Fakta kasat mata, salah satu segmen acara di radio miliknya, sengaja memberikan ruang diskusi rutin menyangkut ihwal isu kerakyatan, pemerintahan, politik, hukum, sosial budaya dan lain sebagainya. Tema sentralnya adalah konsep pemberian ruang aspirasi rakyat untuk bersinggungan secara elegan. Selain itu, rubrik yang diberi KUPAS itu adalah sarana politik rakyat. Politik yang jernih tanpa intevensi elit atau pemangku kepentingan, karena memang dia dirajik dengan segaja menghadirkan pembicara dari kalangan jurnalis yang berkelas. Bahkan dalam ruang dan rubrik itu, secara khusus ada diskusi yang mengupas habis soal-soal Pemilu dan wara-wirinya.

Pergulatan dan pergelutan dunia politiknya akhirnya kemudian berlabuh di partai yang saat ini dihuni Persiden Susilo Bambang Yudoyono. Putusan untuk mengkayuh perjuangan lewat pintu partai yang sudah masuk dalam jajaran electoral treshold pada Pemilu 2004 itu, sesungguhnya bukan putusan anyar. Sejak awal, partai berlambang bintang lima itu sudah lama mengincar dan mengendus sosoknya. Itu makanya, begitu tawaran untuk masuk dalam kepengurusan di Kabupaten Simalungun, namanya masuk dalam jajaran elit yakni sebagai Wakil Ketua DPC Bidang Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi Partai Demokrat Kabupaten Simalungun periode 2005-2010.

Menggagas Pemekaran Simalungun

Sadar bila proses pensejahteraan rakyat terutama Kabupaten Simalungun dengan jumlah penduduk mencapai 800 ribu jiwa yang tersebar di hampir 31 kecamatan memerlukan satu upaya yang cukup keras, sosok ini kemudian membangun sebuah wacana kencang adanya pemekaran wilayah.

Wacana itu dilayangkan, mengingat selain wilayah kabupaten yang sangat luas, juga merujuk taraf kehidupan rakyat di Kabupaten Simalungun tidak mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa kepemimpinan kepala daerah.

Wacana itu lalu bergulir deras menjadi aksi. Dengan menggalang kekuatan media yang ada di wilayah ini, melalui Koalisi Media Untuk Pemekaran Kabupaten Simalungun, CAS Gorup sebagai fasilitator dan sosok ini sebagai motor mendorong pemekaran Kabupaten Simalungun pada Tahun 2007 secara gencar. Gerakan pemekaran sebelumnya sudah dimainkan Panitia Pemrakarsa Pemekaran Kabupaten Simalungun yang dikoordinir oleh tokoh Simalungun Leo Djamariah Damanik pada tahun 2001. Tapi terkesan mati suri, mati muda.

Sebelum upaya itu benar-benar mati dan dikubur, sosok ini bersama tokoh Simalungun lainnya, Marim Purba, Sarmedi Purba, Iskandar Sinaga dan sederetan jurnalis handal Siantar Simalungun mendukung gerakan penderasan pemekaran.

Kendati upaya itu sejauh ini belum membuahkan hasil, namun berkat gerakan dan manuver di tengah derasnya penolakan yang justru datang dari sebagian warga Kabupaten Simalungun, setidaknya upaya pemekaran Kabupaten Simalungun sudah berada di tangan DPR RI. Tinggal lagi bagaimana legislator periode mendatang bisa mengegolkan itu.

Tak heran, dalam jargon politiknya menyongsong Pemilu 2009, sosok ini menjual isu pemekaran Kabupaten Simalungun. Baginya, agenda ini adalah milik rakyat dan impian rakyat. Impian guna mendekatkan sejahtera dan makmur untuk rakyat, melalui kehadiran pemerintah yang dekat dan memiliki kepedulian memulihkan rakyat.


08 November 2008

Andai Obama WNI

Oleh Indra J Piliang

Mimpi Barack Hussein Obama melanda mimpi sejumlah anak-anak muda Indonesia. Mereka berharap Obama- Obama made in Indonesia lahir dan hadir.Apakah mimpi itu ketinggian? Tidak. Tanpa perlu mimpi serupa, sebetulnya Obama adalah made in Indonesia. Dalam dirinya menyebar kandungan gizi sejumlah makanan Indonesia.Ingatannya yang sekarang juga tentu berisikan sejumlah memori tentang negeri yang disinggahinya ketika mulai mengeja dunia. Jadi agak keliru kalau kita menyebut Obama bukan fenomena Indonesia.

Tetapi mengklaim itu secara serampangan juga akan memunculkan persoalan ketika status kewarganegaraannya adalah penduduk Amerika Serikat.Pertanyaan spekulatif layak diajukan untuk membongkar lagi cara berpikir kita tentang politik, demokrasi dan ide-ide besar yang disampaikan dalam pidato kemenangan Obama. Apa itu?

Andaikan Obama adalah warga negara Indonesia, alias memilih kewarganegaraan ayah tirinya, lalu menempuh pendidikan yang sama di Indonesia dan mancanegara, akankah dia bisa dipilih menjadi presiden Republik Indonesia?

Tentu banyak cara untuk menjawab pertanyaan itu.Yang terpenting adalah sekalipun Indonesia tidak menganut paham ”orang Indonesia asli”dalam konstitusinya untuk menjadi presiden,tetap saja secara politik terdapat impuls ”kepurbaan politik” itu. Impuls itu muncul dari proses pendidikan politik yang keliru yang dilakukan oleh kalangan elite politik. Orisinalitas diletakkan pada pangkal sebuah klaim yang sulit diterima secara biologis,bahwa seseorang harus putra asli sebuah daerah untuk menjadi kepala daerah atau harus berasal dari suku terbesar di Indonesia untuk menjadi presiden.
***

Kepurbaan berpikir itulah yang harus diberantas sampai habis.Kalau tidak,Indonesia tetap terjerat dengan imajinasi yang keliru tentang status kewarganegaraan seseorang. Ketika salah satu partai politik mencalonkan mantan warga negara asing (WNA) sebagai calon anggota DPR, seorang wartawan bertanya kepada saya,”Apakah dia tidak mewakili kepentingan asing?”

Dengan nada sinis saya justru katakan bahwa justru ada warga ”pribumi” yang lebih menanamkan agenda-agenda asing ketimbang mantan WNA itu.Sebagian dari kita masih juga percaya pada teori-teori konspirasi, betapa kegagalan kita dalam sejumlah bidang kehidupan adalah akibat pengaruh kepentingan asing itu.

Karena itu juga pertanyaan apakah Obama akan dipilih menjadi presiden Republik Indonesia sudah terjawab. Jangankan dipilih,bahkan untuk dicalonkan saja barangkali masih merupakan mimpi.Akar popularitas dalam dunia politik lebih banyak dibangun dalam paradigma lama, betapa anak seorang pahlawan nasional akan lebih tepat mewakili kepentingan politik nasional.

Seseorang yang berkulit hitam dan berambut keriting adalah ”makhluk asing”dalam dunia politik Indonesia.Masih butuh waktu lama untuk mencalonkan seorang warga negara Indonesia yang berasal dari Flores atau Papua untuk jabatan presiden dan wakil presiden. Padahal, dalam perjalanan saya, terdapat sejumlah anak-anak Papua dan Flores yang betul-betul pintar, berkepribadian baik, serta berkarakter Indonesia yang bisa menjadi tokoh- tokoh nasional yang baik.

Namun, hanya karena mereka berkulit lebih gelap dan beragama yang bukan agama mayoritas, sulit berharap kalau orang-orang brilian itu akan masuk dalam kompetisi politik. Di beberapa daerah pemilihan, kita juga masih melihat bagaimana sentimen ”asli” dan ”tidak asli” dijadikan sebagai senjata untuk menjatuhkan seorang calon kepala daerah, calon anggota legislatif atau juga untuk jabatan presiden dan wakil presiden.

Maka, jangan kaget kalau terlalu banyak orang cerdas di Indonesia yang justru menemukan rumahnya di luar Indonesia. Mereka menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan multinasional, menjadi tenaga pengajar di universitas terkemuka, juga menjadi pemimpin di bidangnya justru bukan di negara asalnya. Seorang senior saya di sekolah menengah,SMA 2 Pariaman, kini menjadi dosen di sebuah universitas bergengsi di Belanda, setelah ditolak di universitas-universitas dalam negeri.

Kepandaian seseorang menjadi hilang hanya karena sistem rekrutmen para tenaga pengajar waktu itu masih mengandalkan nepotisme, kolusi, dan korupsi.
***

Rakyat Indonesia menunjukkan rasa syukur yang tinggi atas terpilihnya Obama. Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan apatisme terus diluapkan untuk proses pemilu dalam negeri. Seakan tidak ada lagi para pemimpin yang mampu menjadi harapan untuk memperbaiki kehidupan, terutama ekonomi, yang sulit.

Kalaupun ada, tokoh-tokoh itu dari sisi popularitas dianggap kalah dengan calon-calon lain yang memiliki dana kampanye besar.Idealnya,optimisme atas masa depan Amerika juga dicangkokkan kepada masa depan Indonesia melalui proses Pemilu 2009 yang sedang berlangsung. Untuk tidak kehilangan lagi sosoksosok seperti Obama, sudah menjadi kewajiban bagi seluruh kekuatan politik guna mendata lagi orang-orang Indonesia yang terbaik, di mana pun mereka berada.

Sistem politik harus diperbaiki agar bisa menerima orangorang yang dianggap belum berpengalaman itu.Mereka layak dipanggil pulang, seperti dulu BJ Habibie dipulangkan. Tentu kepulangan mereka disiapkan dengan penyediaan fasilitas yang memadai,bukan diharuskan untuk bekerja di banyak tempat, mencari sesuap nasi, lalu kehilangan kecerdasan individual,karenaterlalusibukdengan honor yang satu ke honor yang lain.

Pemilu 2009 juga patut didesain untuk menemukan kembali keindonesiaan itu. Orang-orang dari kelompok yang kecil secara minoritas bisa diajukan sebagai alternatif pemimpin nasional, sembari disandingkan dengan stok pemimpin yang sudah tersedia.Saya yakin sekali bahwa ada satu dan dua orang Indonesia, entah tinggal di Indonesia atau di mancanegara, yang memiliki kemampuan untuk memberikan inspirasi kepada seluruh warga negara Indonesia, bahkan dunia.

Makanan yang pernah masuk ke perut Obama ketika menetap di Indonesia pasti lebih banyak dikonsumsi oleh orang-orang itu. Parade dari orang-orang terbaik inilah yang akan memengaruhi harapan orang atas masa depan politik di Indonesia dan atas masa depan Indonesia itu sendiri.Jangan sampai oligarki politik justru menutupi peluang bagi munculnya orang-orang semacam Obama.

Tinggal sekarang bagaimana kita mencari dan menemukan orangorang itu, sebagai bagian dari ijtihad dan terobosan politik, siapa pun dan partai manapun yang melakukannya. Hingga,suatu hari nanti, orang-orang seperti Obama lebih memilih untuk mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia, ketimbang di negara asal ibunya itu.Andai saja.(*)


Nafas Politik Taufik Kiemas

Oleh Indra Jaya Piliang, Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Dalam setahun terakhir ini, PDIP menjadi partai yang meraih posisi puncak dalam setiap survei yang diadakan oleh Lembaga Survei Indonesia, Indo Barometer dan lembaga lain. Kemampuan PDIP mempertahankan popularit. asnya itu tidak terlepas dari strategi yang diambil untuk menjadi partai oposisi di tingkat nasional. Pasca-kenaikan BBM, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyalip Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden pilihan. Kekecewaan kepada SBY menyebabkan pemilih mengalihkan suara ke Megawati Dari sejumlah pilkada, PDIP juga mampu memenangkan calon-calon yang diusung, terutama pada level gubernur dan wakil gubernur. Terlihat sekali PDIP telah mempersiapkan diri dengan baik guna menjalankan roda pemerintahan, setelah pada periode 1999-2004 terkepung dengan kue kekuasaan yang membesar, namun tidak memiliki sumberdaya manusia yang tangguh. Bisa dikatakan PDIP dalam periode 2004-2009 melakukan strategi “daerah mengepung pusat” dengan cara memenangkan pilkada demi pilkada, sembari menebar sumberdaya manusia yang baik di level bupati, walikota dan gubernur. Lalu, darimana kekuatan PDIP itu? Maghnet kekuasaan PDIP masih terletak pada pilar Soekarnoisme, termasuk juga anak-anak Soekarno. Namun, maghnet itu bisa bermakna lain, kalau tidak dikendalikan dengan telaten. Dari sinilah muncul nama Taufik Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri dan sekaligus menantu Soekarno. Taufik yang sejak muda adalah pengagum dan pembela Soekarno ini telah melewati usia matang, yakni 64 tahun. Dalam usia itu, ia sudah melewati zaman-zaman keemasan Soekarno, ketertindasan Soekarno, sampai kepada kebangkitan kembali trah Soekarnoisme.