24 November 2008

Preman Politik Juga Harus Disikat

Oleh : Tigor Munthe

Begitu Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) naik
tahta tertinggi di Mabes Polri, dia langsung geber
aksi. Sikat preman dan premanisme ditabuh sejak 2
November 2008 di 5 Polda.
Hasilnya? Fantastis! Kurang lebih hanya dua minggu
lebih ribuan preman digaruk. Angka yang dirilis Mabes
Polri : 8.507 dijaring, 846 diantaranya ditahan dan
7.5661 dibina.

Angka itu diperkirakan akan membengkak jika sejumlah
Polda lainnya di Indonesia digerakkan dengan Operasi
Penegakan Hukum Berantas Preman. Apalagi, dalam waktu
dekat Polri juga gelar operasi serupa, khusus untuk
preman berdasi.

Yang pasti, mendadak aksi operasi Polri ini menggema
dan dinilai langkah terpuji dalam menjaga dan
memelihara keamanan sipil. Karena memang diyakini
preman dan premanisme merupakan salah satu ‘sektor’
penyumbang terbesar kriminalitas.

Preman yang berasal dari kata Belanda, Vrijman yang
berarti orang bebas atau versi Kamus Besar Bahasa
Indonesia, menyebut preman itu adalah orang jahat,
memang patut disikat habis.

Namun, mucul sebuah gugahan, kalau tidak bisa disebut
gugatan. Preman, yang sosoknya selalu berkeliaran di
terminal-terminal bus, pasar-pasar tradisional, pusat
pertokoan modern, atau dimana saja yang menjadi sentra
manusia melakukan aktifitas transaksi ekonomi, adalah
preman yang kasat mata.

Secara fisik, mudah mengidentifikasi mereka;
penampilan acak dan seram, sarat tato di beberapa
bagian tubuh, mata selalu melotot, suka membentak, dan
ciri kasar lainnya.

Lalu, preman yang tidak kasat mata, apa juga bisa
disikat? Preman yang tidak kasat mata? Betul, preman
jenis itu secara fisik memiliki ciri yang berbeda
dengan preman kasat mata. Lebih halus, bahkan lebih
necis, rapi, parlente, elegan bahkan tidak jarang
memiliki wawasan dan pengetahuan berkelas tidak
ubahnya kaum intelektual yang bercokol di ranah
akademis. Persamaannya ada pada pola atau modus
kerjanya ; main paksa bahkan main rampas hak-hak orang
lain. Tidak mau tahu dengan rugi yang diderita orang
lain.

Lantas, preman seperti ini ada dimana? Ada
dimana-mana. Lumayan banyak berkeliaran di birokrasi,
institusi peradilan bahkan di lembaga resmi sekelas
legislatif. Untuk yang beroperasi di birokrasi,
lazimnya mencari ‘makan’ proyek besutan pemerintah.

Umumnya, mereka bermain dan ‘berkeliaran’ di luar
sistim, kendati bisa merangsek ke dalam sistim. Bisa
saja berkedok pemborong atau rekanan. Berbekal
perusahaan yang dipinjam dari kiri kanan, kelompok ini
melakukan aksi leluasa meraup proyek dengan cara tidak
kalah beda dengan ciri main ancam, main paksa dan main
rampas.

Atau, kelompok yang berwara-wiri di lembaga peradilan
dan lembaga hukum lainnya. Jahitan kolaborasi dengan
para penegak hukum utuk meraup untung, merupakan
santapan informasi yang sudah deras kuat mengalir, tak
ubahnya angin yang sulit dijaring.

Preman Politik

Yang lebih hebat, di legislatif, preman jenis ini
bukan menjadi pemain pinggiran, tetapi sebagai pemain
utama. Resmi menerima tahbisan dari negara sebagai
’anggota dewan yang terhormat’.

Bah, kelakuan mereka ini bahkan dibayar dengan mahal
oleh negara. Negara yang melegitimasi aksi menjadi
preman sekaligus gelar wakil rakyat. Tidak bermaksud
menyamaratakan, tetapi mayoritas mereka ini, sebut
saja Preman Politik, memang menjalankan aktifitas
tidak ubahnya preman. Bedanya, kalau preman di
terminal atau pasar penampilan sangar, maka yang satu
ini necis dan memang intelektual.

Pijakan dasar sebutan Preman Politik terhadap sejumlah
anggota dewan yang terhormat itu, adalah ketika mereka
ternyata memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan
rakyat apakah menderita atau merana. Sikap asli muncul
manakala sederetan fasilitas disuguhkan negara, apakah
gaji atau tunjangan yang besar, maupun hak-hak
privilese lainnya, yakni perilaku konsumtif sebagai
imbangan jabatan yang memang sedari mula dianggap
prestise, bukan amanah! Maka mulailah mereka rakus,
dan selalu kekurangan yang kemudian dirangkaikan
dengan aksi premanisme bergaya politis dan
intelektual.

Modusnya beragam. Tetapi tidak akan jauh-jauh dari
pemanfaatan instrumen fungsi dan tugas ;
pembuatan/pengawasan aturan, pembuatan/pengawasan
anggaran dan pengawasan atau kontrol kinerja
eksekutif.

Kekuatan yang terkandung dalam tiga pilar fungsi itu
digelontorkan. Dilesakkan ke eksekutif. Pembahasan
APBD di daerah setiap tahun misalnya, eksekutif
diwajibkan menyerahkan draft penyusunan APBD ke
legislatif agar dikaji, dipelajari atau dikoreksi Tim
Anggaran Legislatif sebelum nantinya diketukpalukan
untuk dilaksanakan.

Dalam sekat ini, aksi premanisme tumbuh subur.
Legislator periode lalu dan kini mempertontonkan itu.
Ada paksa dan ancam yang bertebaran, jika eksekutif
tidak mengakomodir item-item kemauan mereka.

Bisa saja kemauan itu berupa proyek fisik, jabatan,
dana segar, yang sudah disiapkan dan disusupkan ke
draft versi eksekutif. Kelak proyek-proyek itu menjadi
jatah atau bagian dari Preman Politik yang berdasi dan
bersafari itu. Yang pasti, kelompok ini main paksa,
main serobot bahkan main ancam jika tidak diokekan
proyeknya. Ancaman sederhananya; bisa saja akan
mencoret beberapa item proyek yang dinilai basah atau
juga menolak pengesahan draft APBD. Preman tidak?!

Ah, itu cuma sekelumit. Lainnya? Adalah politisi yang
tidak mau tahu dengan urusan dan jeritan kepentingan
masyarakat, politisi yang memang sangat doyan
melakukan pembelaan dan persetubuhan dengan pihak
eksukutif yang meski menerapkan kebijakan salah,
politisi yang tidak pernah turun ke tengah-tengah
masyarakat, guna menggali empati, simpati, dan
aspirasi. Lagi, banyak lagi ciri-ciri. Yang pasti,
identifikasinya adalah amoral dan apolitis.

Polisi = Masyarakat

Jika menilik rencana polisi yang akan menyikat preman
termasuk yang berdasi, yakni yang kerap beroperasi
mengejar proyek-proyek di dinas-dinas pemerintahan dan
lembaga resmi lainnya, hal itu patut diapresiasi.
Polisi bahkan menurut rencana akan melibatkan sejumlah
instansi lain melakukan pengawasan ketika terjadi
proses lelang atau tender proyek di instansi
pemerintahan. Polisi dengan perannya tidak akan
membiarkan para preman berdasi alias preman proyek itu
menggerogoti dan merusak dunia usaha, meminggirkan
para pelaku usaha yang sebenarnya.

Sikap itu, idealnya patut ditiru oleh masyarakat
terutama dalam menyambut Pemilu 2009 mendatang.
Ratusan bahkan ribuan calon legislatif atau caleg
sudah mendaftar untuk berlomba menjadi wakil rakyat,
guna beraksi selama lima tahun dengan jabatan politis
dan mulia yang disandangnya kelak.

Tidak ubahnya dengan tugas dan fungsi polisi,
masyarakat harus berdiri mengawasi proses ‘tender
politik’ yang akan terjadi nanti. Dipastkan, para
caleg, akan berkejaran menyodorkan ragam isi-nya, yang
terbaik dan yang teryahud dalam segala urusan
menentaskan segala urusan, yang bernama proyek
kerakyatan.

Pengawasan dimaksud adalah sebuah gagasan perburuan,
dimana nantinya akan ada sebuah note book, apakah
isi-nya para caleg adalah preman atau tidak. Dan itu
kelak sebagai modal dalam menentukan sikap politik
ketika sudah berada di lokasi sakral bernama Tempat
Pemungutan Suara atau TPS.

Jika polisi bisa mengeksekusi dengan menciduk langsung
preman, masyarakat juga bisa menciduk, meski bukan
secara fisik, tetapi secara pilihan politik. Menangkap
para preman politik dilakukan dengan memenjarakan
ideologi-ideologi negatif mereka, agar tidak kadung
berbaur dengan ideologi-ideologi politisi murni.
Betul, selain preman di terminal atau di pasar harus
bersihkan, maka preman politik di legislatif juga
harus disikat! (Penulis adalah jurnalis tinggal di
Siantar)

Tidak ada komentar: