24 November 2008

GURU…!!! (untuk temanku)

Oleh Tigor Munthe


Aku punya teman seorang guru, guru honorer di salah satu sekolah negeri. Orangnya cerdas, loyal dan fokus dengan pekerjaannya. Sulit mencari orang seperti dia, mau menjadi guru honorer di jaman sekarang. Karena untuk menjadi guru honorer, dia harus rela dengan honor cekak dan di bawah standard. Padahal, tuntutan hidup terus menggelinding, dan itu berlaku di atas tuntutan tugas bernama : kualitas.
Tidak mengenal lelah, temanku itu lalu mencoba membangun sebuah komunitas yang diharapkan bisa menjadi wadah diskusi dan pencerdasan para guru, kelak juga sebagai mesin pendobrak penzoliman atas guru. Fakta hari ini, guru tidak pernah sejahtera dalam arti sesungguhnya. Meski negara dan pemerintah membuat aturan indah dalam Sisdiknas atau UU soal Guru dan Dosen.

Energi temanku itu, tidak berhenti hanya pada pembentukan komunitas guru yang masih tertindas. Dengan semangat mudanya dia mencoba membuat tulisan-tulisan berupa opini di koran-koran. Tulisan tentang guru dan segala soalnya. Memanfaatkan ruang publik yang disediakan media cetak lokal atau media elektronik lokal, dia terus hembuskan nafas perjuangan para guru yang masih tertindas. Dia buka fakta, guru masih belum diapresiasi di negeri ini dan di kotanya tempat berdiam dan menjadi guru honorer.

Dia pernah cerita, honor yang dia terima sebulannya hanya kisaran Rp400.000-Rp500.000. Sedih? Pasti, karena dengan nilai sebesar itu sangat sulit bagi dia untuk sekadar mengisi perutnya untuk sarapan tiap pagi sebelum berdiri di depan kelas, memuntahkan isi kepala dan isi hatinya ke para anak bangsa. Konon lagi, bila dia harus membeli koran untuk sekadar menambah isi kepalanya akan dunia yang saat ini terjadi, konon lagi untuk membeli buku sekadar menambah kekayaan wawasannya, konon lagi untuk….

Lalu, kenapa dia bisa eksis hingga hari ini tetap berdiri di depan kelas? Guru itu adalah pengajar banyak orang. Dia banyak menyimpan energi untuk memboboti orang, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Potensi energi itu kemudian dipakai temanku itu. Dia pasti sudah boboti dirinya, sebelum memboboti anak bangsa. Dia tahu apa yang harus dilakukan, sebelum orang diberi tahu.

Betul, dia temanku itu adalah manusia biasa. Kerap terujar dari mulutnya, keluhan dan resahan. Soal honornya, status honorernya, sistim yang membungkamnya, atau penindasan atas guru yang masih berlangsung.

Untungnya, itu cuma sebatas itu. Tidak pada langkah dan sikap permanen. Dia terus berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, berdiri di depan kelas dan menjadi guru atas semua anak bangsa. Dia mengaku tidak pernah bercerita di depan kelas, soal dapurnya yang kerap tidak mengepul, soal kontrakan rumahnya yang sudah menunggak, soal istri yang kerap makan sekadaranya tanpa menikmat gizi seadanya. Dia hanya bercerita soal sebuah ilmu dan pengetahuan, soal disiplin, moralitas dan etika, serta nilai-nilai adiluhung lainnya.

Sesekali, dia bersama komunitasnya mencoba turun ke jalan. Menumpahkan soal-soal yang sumbat soal guru. Dia meradang ke politisi dan pemerintah. Memuntahkan isi kepala dan isi hati yang terakumulasi : nasib pendidikan anak bangsa dan bangsa ini, jangan diserahi kepada guru yang lapar di depan kelas.

Meski dia kerap tidak didengar, dia tidak pernah berhenti berteriak, sebagaimana dia tidak pernah berhenti mencerdaskan anak bangsa di kelas. Sebab bagi dia, bukan soal didengar atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana dunia tahu jika guru masih lapar dan miskin.

Dia selalu bercerita, mengaku guru masih berkutat di soal klasik. Dia bahkan sangat kecewa, solidaritas sesama guru dalam memecah soal klasik itu, belum terintegrasi bahkan cenderung terseret pada rasa takut dan rasa tidak percaya diri, bahwa akan bisa keluar dari balutan menyesakkan itu. Sikap diam dan membiarkan saja, kalah dan mencari alasan pembenaran, seakan menjadi sampah awal yang harus dia singkirkan dari memori dan kultur guru, sebelum akhirnya tiba pada tuntutan substansial sejatinya.

Tuntutan, Apa itu?

Dia lalu kemukakan apa yang menjadi tuntutan guru saat ini. Apakah guru honorer, guru swasta atau guru PNS, yakni penghargaan dalam arti yang luas, tidak harafiah.Guru tidak sepenuhnya menadahkan tangan untuk urusan gaji semata, apalagi fasilitas lainnya.

Dia bilang, penghargaan itu memiliki makna kuat dan mendalam. Dalam penghargaan ada nilai humanistik dan nilai politis. Humanistik, memandang guru adalah nilai tertinggi sebagai mahluk berkontribusi, kerap mengabaikan diri demi memanusiakan manusia. Lalu politis, adalah nilai pengakuan keberadaan atas perannya menjadikan begitu banyak orang menjadi ‘manusia’ yang seutuhnya.

Itu maka kata dia, negara atau pemerintah sebagai instrumen tertinggi sangat bertanggungjawab terhadap kehadiran guru, apakah di dalam kelas atau di dalam notkah bernama pendidikan.

Bila kedua nilai itu berpendar secara wajar, maka tidak ada lagi guru yang hanya akan menerima gaji Rp400.000-Rp500.000 di awal bulan. Tidak ada lagi guru yang harus menjadi guru di banyak sekolah, mengejar setoran layaknya sopir angkutan yang harus ugal-ugalan di tengah jalan raya yang banyak menyimpan lobang dan rambu jeratan bahkan terancam tabrakan.

Lalu, karena temanku itu tidak mau kedua nilai itu hanya menjadi bantal dalam selimut mimpi, dia memberi arti ulang tahun guru yang jatuh 25 November dengan melakukan kontemplasi. Dia ajak komunitasnya melakukan aksi pikir ulang dan aksi turun jalan. Agar tidak sekadar menjadi korban kepikunan negara atau pemerintah, bahwa guru bukan peminta-minta atau pengemis diantara banyaknya tuntutan yang derasnya minta ampun soal pendidikan yang berkualitas dan anak bangsa yang mumpuni ilmu dan akhlak.

Temanku guru itu, dengan lantang di depan pemangku kekuasaan negeri dan kota dimana dia berdiam menjadi guru, meneriakkan tanpa lelah : hidup guru! Dia tanpa sadar, memberikan nafas yang sangat kuat kepada ribuan bahkan jutaan guru yang masih tertindas. Dia tidak hanya membangun komunitas di ruang sempit, tetapi menggerakkan sebuah nilai universal akan perjuangan melawan penindasan yang masih bercokol, atas guru. Guru, Selamat Ultah…!!! (Penulis adalah jurnalis Siantar Simalungun)

Tidak ada komentar: