30 Desember 2008

Refleksi Jurnalis Siantar-Simalungun

SIANTAR-METRO; Hari ini, Senin (29/12) bertempat di Taman Bunga, seluruh jurnalis dan pekerja pers se-Siantar Simalungun akan melaksanakan refleksi terhadap perannya selama setahun. Tema yang akan dibahas antara lain, tentang fenomena kehidupan pers,dan jurnalis dewasa ini, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia jurnalis itu sendiri. Hal ini diungkapkan Tigor Munthe, ketua Panitia perhelatan kepada METRO, Minggu (28/12). Dia mengatakan, alasan utama, yang dijadikan sebagai modal awal untuk melaksanakan acara refleksi ini, adalah kenyaaan yang terjadi pada dunia pers dewasa ini, yang telah banyak melahirkan berbagai implikasi didalam kehidupan masyarakat luas. Yang mana, salahsatu dari implikasi itu adalah maraknya bentuk penindasan, dan pemberangusan terhadap para pekerja pers, yang kritis berhadapan dengan birokrasi yang korup, budaya anarkis Masyarakat, Aksi refresif lembaga serta bentuk-bentuk destruktif lainnya.
Tigor mencontohkan, ada beberapa kasus kekerasan, yang telah dialami oleh insane pers Siantar Simalungun, semala Tahun 2008. kasus tersebut antara lain, kekerasan yang dilakukan orang-orang tak bertanggung jawab terhadap Samsudin Harahap, dan Jansendi Purba, pembungkaman media oleh instansi pemerintah.
Dalam acara tersebut, akan hadir narasumber yang cukup punya nama di dunia jurnalis Sumatera Utara yakni Bersihar Lubis yang juga Pemimpin Redaksi salahsatu surat kabar terbitan Medan.
Melalui acara ini, kata Tigor, diharapkan akan tumbuh kesadaran dalam jiwa seluruh insan pers, untuk menyadari betapa perlunya melakukan perlawana terhadap segala bentuk penindasan, dan pengekangan yang dialamai insan pers. (mag-07)

19 Desember 2008

Mental Dewasa Menyambut Pemilu 2009

Kasdin Sihotang

Keributan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), menjadi fenomena yang menonjol akhir-akhir ini. Dari sejumlah pilkada selama ini, sangat sedikit yang berjalan dengan mulus. Lebih banyak kegiatan demokrasi itu ditandai dengan konflik, bahkan disertai dengan tindakan anarkis.

Pertanyaan yang dapat diajukan, sikap apa yang terlihat dalam maraknya konflik dalam pilkada tersebut? Satu hal yang jelas, konflik yang ditandai dengan sikap anarkis dan tindakan kekerasan menjadi sebuah tanda bahwa dalam berdemokrasi kedewasaan belum menjadi mental masyarakat dan elite politik. Dengan kata lain, sebagian besar
masyarakat dan elite politik kita belum mampu menunjukkan kematangan diri dalam
rupakan satu instrumen yang sedang diupayakan untuk menumbuhkan demokrasi. Itu berarti kegagalan pilkada merupakan hambatan untuk membangun demokrasi. Pelanggengan konflik justru akan membangunkan adagium Thomas Hobbes berbunyi homo homini lupus dalam masyarakat. Dendam berkepanjangan akan menjadi bagian dari kehidupan berpolitik. Situasi seperti ini jelas tidak kondusif untuk perwujudan demokrasi.
Perlunya kedewasaan

Membangun demokrasi yang sehat dan berbobot dalam politik kita membutuhkan kedewasaan. Sikap ini justru menjadi modal sosial yang sangat penting. Sejumlah keunggulan akan didapatkan dengan mengembangkan sikap dewasa dalam politik. Pertama, kemampuan menggunakan nalar sehat. Sebagaimana sudah disinggung di atas demokrasi tidak bisa berkembang dalam irasionalitas. Demokrasi hanya bisa berkembang secara sehat ketika rasionalitas menjadi titik pijak. Itu berarti argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi titik tolak untuk perjuangan demokratis.

Dengan kata lain, dasar untuk memperjuangkan kebenaran adalah nalar, bukan emosi atau tangan besi. Argumen-argumen rasional tentu memiliki ukuran yang objektif. Ukuran kebenaran sebuah perjuangan dalam konteks politik dilihat dari sifat universalnya, yakni dapat diterima semua pihak yang terlibat di dalamnya sebagai sesuatu yang benar.

Sebagaimana pernah dikatakan Immanuel Kant, seorang filsuf politik dari Jerman, salah satu kebenaran dari rasionalitas adalah isinya dapat diterima oleh siapapun. Inilah yang disebutnya sebagai masuk akal. Artinya, apa yang diupayakan itu adalah sesuatu yang konkrit, dan bukan sebuah utopia. Dengan demikian perjuangan politik akan dapat diterima kalau itu memang sungguh-sungguh memiliki rasionalitas yang memadai. Dan tentunya adalah sikap dewasa pula untuk berani menerima kenyataan seperti ini dalam panggung politik.

Kedua, keberanian untuk menerima kekalahan. Ini merupakan implementasi dari butir pertama. Dalam demokrasi harus disadari bahwa dalam kompetisi selalu ada pihak yang kalah dan pihak yang menang sesuai dengan prosedural objektif. Tanda kedewasaan di sini terlihat dalam hal kesediaan pihak yang kalah menerima kekalahan dan pihak yang menang mengapresiasi pihak yang kalah dalam kompetisi yang secara objektif rasional dan prosedural. Kecuali tentunya kalau melanggar prinsip objektivitas dan prosedural. Dalam hal ini tentu sikap kritis perlu dihidupkan. Namun kualitas cara mengkritisi seharusnya juga menunjukkan sikap kedewasaaan, yakni sopan dan santun serta elegan.

Ketiga, kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara damai. Sekali lagi meminjam Immanuel Kant, lewat bukunya Perpetual Peace tidak ada perdamaian abadi tanpa ada keberanian untuk mengupayakan penyelesaian masalah. Dalam demokrasi memang nilai-nilai dalam win-win solution perlu dijadikan sebagai jalan keluar sebuah masalah. Kemampuan untuk menjalankan hal ini tentu merupakan tanda dari kedewasaan dalam demokrasi.

Keempat, kemampuan untuk menerima norma-norma hukum. Salah satu pilar demokrasi adalah rule of law. Jalannya demokrasi justru tergantung dari pengakuan terhadap aturan main. Kemampuan untuk mengikuti aturan main secara konsisten dan konsekuen merupakan salah satu tanda kedewasaan dalam berdemokrasi. Orang yang tidak mau berjalan dalam rel rule of law justru mengancam esensi demokrasi.
Kelima, kemampuan mengaku perbedaan baik bersifat personal maupun bersifat kolektif yang secara objektif dan rasional dapat diterima. Sebagaimana ditegaskan oleh Jonathan Sack dalam The Dignity of Differences (2002) perbedaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia dalam kebersamaan.

Itu berarti tidak akan ada manusia yang identik dan sama di dunia ini. Yang ada adalah keunikan setiap pribadi.Dan ini merupakan kekayaan yang paling berharga dalam eksistensi manusia. Justru karena keunikan itulah manusia memerlukan yang lain. Seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, ada bersama menjadi keharusan untuk mengakui keunikan itu. Dalam demokrasi pengakuan ini tentunya menjadi tanda kedewasaan. Artinya orang yang dewasa akan mampu menerima perbedaan bahkan berusaha untuk memelihata perbedaan, bukan justru sebaliknya. Sikap penyeragaman merupakan sikap yang berlawanan dengan sikap dewasa dalam berdemokrasi.

Menyongsong pesta demokrasi 2009, menurut hemat penulis nilai-nilai yang tertuang dalam sikap dewasa di atas merupakan tuntutan mutlak. Sudah saatnya kita mau belajar dari Hilary Clinton dan McCain yang sangat sportif dan elegan menyikapi kekalahan, dan tentunya dari Barak Obama yang sangat respek terhadap lawan-lawannya. Tokoh-tokoh ini telah menujukkan kepada kita bahwa bersikap dewasa dalam politik membuat demokrasi menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan dan mengharukan, karena di dalamnya nilai-nilai ketulusan, kerendahan hati serta fairness menjadi pijakan.

Penulis adalah dosen Filsafat Ekonomi dan staf inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta.

Sumber : Suara Pembaruan

Iklan Politik Bukan Obat Mujarab

Oleh Tjipta Lesmana

“Mengubah perilaku politik seseorang bukan urusan mudah. Teori Ajzbein mengajarkan bahwa perilaku individu sesungguhnya dipengaruhi oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), sedang sikap dipengaruhi oleh keyakinan (belief). Anda harus terlebih dahulu bisa menghancurkan keyakinan A tentang objek X, sebelum bisa mengubah sikap A terhadap X. Selama keyakinan si A terhadap X sangat kuat, 1.000 kali siraman iklan politik pun mustahil mampu mengubah perilakunya terhadap X.” (Tjipta Lesmana)


Get known first, before you go politics. Begitu kata seorang politisi kawakan dari Amerika. Itulah sebabnya pemilu dan kampanye politik menjadi dua fenomena yang tidak bisa dipisahkan, khususnya pada era perpolitikan modern. Melalui iklan di media massa sang calon "menjual" dirinya kepada publik agar publik mengetahui siapa sesungguhnya dia. Jika masyarakat belum kenal, bagaimana Anda bisa menjadi bupati, gubernur, atau anggota legislatif, apalagi presiden?

Iklan politik juga bertujuan agar rakyat mengetahui dan mempercayai visi dan misi kandidat. "Jika saya terpilih, saya berjanji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sekian persen, menurunkan pengangguran sekian persen," ucap seorang "bakal calon (balon) capres" kita. "Balon" lain berteriak: "Bumi kita kaya. Apa saja ada di bumi kita. Tapi, mengapa rakyatnya miskin dan sengsara? Karena salah urus oleh mereka yang berkuasa!"

Secara eksplisit, ia menyerang ketidakbecusan para pemimpin mengelola kekayaan alam kita Namun, secara implisit, ia sebenarnya juga menuduh bahwa para pemimpin yang berkuasa sekarang korup, hanya memikirkan kepentingan pribadinya.
"Kenapa pupuk tidak ada? Karena pemerintah tidak mau dengar masukan kita!" Politisi yang bicara seperti ini sedang berusaha memikat kaum petani yang kini sedang kesulitan untuk mendapatkan pupuk, sehingga mereka melancarkan aksi unjuk rasa.
Kampanye dengan media massa tidak murah. Di Jakarta, misalnya, satu spot di televisi berdurasi 30 detik, paling murah Rp 20 juta. Untuk talk show selama satu jam seorang politisi minimal harus mengeluarkan Rp 1,5 miliar. Iklan politik di media cetak juga mahal. Sebuah koran nasional bergengsi mematok tarif Rp 80 juta untuk satu halaman penuh hitam-putih. Jika iklan muncul dalam warna, tarifnya Rp 150 juta. "Iklan kuping" berwarna di halaman satu lebih mahal lagi karena sifatnya yang eye-catching: bisa mencapai Rp 100 juta untuk ukuran kecil saja.

Pemilihan Presiden Amerika 2008 tercatat menghabiskan biaya iklan paling besar dalam sejarah Amerika: 43 persen lebih besar dibandingkan iklan politik 2004. Diperkirakan seluruh kontestan, secara kumulatif, telah menghabiskan dana sebesar US$ 4,5 miliar untuk kampanye politik! Media televisi paling laris. Sekitar 51,3 persen dari total biaya iklan disedot oleh televisi. Demikian data yang dirilis oleh PQ Media dari Stamford, Connecticut.

Media massa memang panen besar setiap kali pemilu. Namun, pada waktu yang sama, pengeluaran media untuk meliput kampanye kandidat juga meningkat tajam. Di Indonesia, jika ada kandidat kampanye di suatu kota, tim suksesnya akan mengundang berbagai media dan seluruh biaya otomatis ditanggung oleh tim sukses. Bahkan wartawannya juga mendapat "amplop". Hal ini tidak berlaku untuk media Amerika. Demi mempertahankan netralitas dan martabatnya, media menanggung sendiri setiap sen yang dikeluarkan ketika mengikuti rombongan kandidat berkampanye.

Total jenderal, seluruh jaringan televisi di AS dikabarkan menghabiskan belanja US$ 9,6 juta untuk meliput kampanye kubu Obama dan US$ 4,4 juta pada kubu McCaine. CBS mengeluarkan US$ 1,2 juta untuk mengikuti rombongan Obama, tapi hanya US$ 222.000 untuk meliput kampanye McCaine.

Makin dekat ke Hari-H, kampanye politik semakin gencar. Obama, misalnya, bisa berkampanye di empat negara bagian hanya dalam sehari. Ini berarti, pengeluaran pun semakin berlipat. Obama dan McCaine bertarung habis-habisan seminggu sebelum hari pencoblosan, 4 November 2008. Untuk penduduk di Philadelphia saja, kubu Obama, secara total, telah menghujani spot sebanyak 978 kali!

Dua Kategori

Kampanye politik, secara teoritis, digolongkan dalam dua kategori: negatif dan positif. Sesuai namanya, kampanye negatif berisikan kritik, caci-maki dan tohokan terhadap lawan. Lawan -khususnya incumbent- digambarkan gagal total mengangkat harkat dan martabat bangsa. Maka, ia tidak layak dipilih kembali. Kampanye positif lebih fokus pada penonjolan who he is dan apa saja yang sudah dicapainya, selama ini.
Kampanye negatif, intinya, berfokus pada tema "membangiktkan rasa takut" atau berupa ancaman di pihak rakyat. Martabat Amerika di dunia internasional akan semakin tenggelam jika McCaine terpilih, kata Obama. Kehidupan akan kian susah, jika Obama terpilih, sebab dia hendak menaikkan pajak. Dalam jargon komunikasi, disebut fear-arousing communication.

Menurut Wisconsin Advertising Program, 63 persen kampanye iklan Obama bernada negatif, sedang McCaine 79 persen. Dari tanggal 28 September hingga 4 Oktober 2008 saja, 100 persen kampanye iklan McCaine dikategorikan negatif; di pihak Obama hanya 34 persen. Jelas, semakin "kepepet" posisi McCaine semakin menyerang sifat kampanye yang dilancarkannya.

Dan efektivitasnya? Sejarah perpolitikan di Amerika membuktikan bahwa fear-arousing communication, apalagi black campaign, tidak efektif dalam pemilu.
Kecuali itu, kampanye politik di media seringkali menyesatkan. Hingga September 2008 sebagian besar media massa di Amerika terkesan di belakang McCaine. Mereka terus memublikasikan iklan calon ini. Belakangan, baru diketahui bahwa iklan-iklan itu kebanyakan gratis, semata-mata sebagai cermin ketakutan media jika Obama yang kulit hitam akan terpilih sebagai presiden Amerika.

Di Indonesia, seorang anak muda yang mengklaim mau jadi presiden terus membombardir publik dengan iklan politik, khususnya di sebuah stasiun televisi. Kok banyak duit dia? Usut punya usut, sebagian iklan itu gratis, sebab si pemilik stasiun TV mempunyai motif politik tertentu dengan layanannya itu. Ada lagi klaim bahwa popularitas seorang "balon presiden" meningkat tajam karena kampanye yang agresif di media massa. Klaim seperti itu, menurut saya, amat spekulatif sifatnya. Hendaknya kita jangan terlalu percaya pada jajak pendapat, sebab jajak pendapat, tidak jarang, dibuat "atas order" pihak tertentu.

Mengubah perilaku politik seseorang bukan urusan mudah. Teori Ajzbein mengajarkan bahwa perilaku individu sesungguhnya dipengaruhi oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), sedang sikap dipengaruhi oleh keyakinan (belief). Anda harus terlebih dahulu bisa menghancurkan keyakinan A tentang objek X, sebelum bisa mengubah sikap A terhadap X. Selama keyakinan si A terhadap X sangat kuat, 1.000 kali siraman iklan politik pun mustahil mampu mengubah perilakunya terhadap X.
Jadi, iklan politik bukan obat mujarab. Iklan penting, namun yang paling menentukan adalah kualitas (termasuk kapabilitas intelektual), integritas, dan moralitas si calon!

Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Politik, penulis buku Dari Soekarno sampai SBY: Kolusi dan Lobi Politik Para Penguasa (November 2008).

Sumber : Suara Pembaruan

05 Desember 2008

Jurnalis

"Good journalists never retire ; they just drop dead" (Strait Times)
Wartawan-wartawan yang baik tidak pernah mengundurkan diri ; mereka hanya jatuh mati.

01 Desember 2008

'Das Sein' dan 'Das Sollen' Refleksi tentang Sebuah Eksekusi

Mirifica e-news (http://www.mirifica.net)
02 Oktober 2006 10:18

Sebenarnya cukup mengherankan bahwa ungkapan Jerman das Sein dan das Sollen banyak dipakai di Indonesia. Terutama generasi tua kerap kali suka menggunakan ungkapan ini. Dan perlu diakui, pemakaiannya selalu tepat dan sesuai dengan artinya.
Muncul pertanyaan, dari mana asalnya "benda asing" ini? Bagaimana bisa terjadi kata-kata Jerman ini "kesasar" dalam konversasi antara penutur bahasa Indonesia? Hipotesis pribadi saya adalah bahwa hal itu berasal dari pidato-pidato Presiden Sukarno.

Presiden pertama kita mengerti beberapa bahasa dan ia senang membaca. Selaku orator yang pandai. Ia memanfaatkan hasil bacaannya dalam pidato-pidatonya. Kemungkinan besar ia juga memakai ungkapan Jerman tersebut dan masyarakat merasa terkesan, sehingga sampai membekas dalam konversasi umum.

Apakah artinya ungkapan Jerman ini? Das Sein berarti "kenyataan", "keadaan factual". Das Sollen berarti "norma moral" atau "yang seharusnya dilakukan". Pasangan kata Jerman ini sering dipakai dalam konteks bahwa das Sein bertolak belakang dengan das Sollen. Sudah jelas apa yang harus dilakukan, tetapi dalam kenyataan tidak dilakukan juga. Sebuah kesenjangan menganga antara das Sein dan das Sollen.

Supremasi Hukum?

Menjelang eksekusi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, ketiga terpidana mati dalam kasus Poso, ungkapan Jerman tadi sering timbul lagi dalam ingatan saya. Pemerintah berulang kali menekankan bahwa proses hukum sudah berjalan sampai titik terakhirnya. Semua upaya hukum yang tersedia sudah dijalankan. Sekarang proses hukum itu sudah final dan masyarakat tinggal menerimanya saja. Supremasi hukum telah terwujud. Eksekusi terpidana mati merupakan konsekuensi dari hidup di negara hukum.

Memang benar, argumentasi ini tepat sekali dan amat bagus. Hanya saja, ada kekurangan fatal bahwa semuanya itu berlaku sebatas das Sollen saja. Karena sistem hukum menurut kodratnya mewujudkan keadilan, memang seharusnya hasil proses hukum dapat diterima oleh semua pihak. Apapun yang akan terjadi, penegakan keadilan harus dilaksanakan. Dari hukum Kekaisaran Roma, kita telah mewarisi prinsip dasar fiat justitia, ruat coelum, "hendaklah keadilan ditegakkan, meski langit runtuh". Proses hukum sebagai penegakan keadilan adalah sesuatu yang mutlak. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Seharusnya memang begitu. Namun demikian, kenyataannya bagaimana? Bagaimana das Sein?

Masyarakat umum yang tergantung pada informasi media massa saja, tentu tidak tahu bagaimana harus menilai kontroversi tentang salah tidaknya ketiga terpidana mati ini. Tetapi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah dan sekitarnya sangat aktif dalam mencari kebenaran. Mereka yang mengerti segala seluk-beluk kasus ini, yakin betul bahwa Tibo dan kedua temannya tidak bersalah.

Orang-orang malang ini dijadikan kambing hitam melalui sederetan langkah hukum yang kompleks dan sarat intrik. Mereka hanya petani kecil, buta huruf, pendatang yang tidak langsung terlibat dalam komunitas-komunitas yang bertikai dalam konflik Poso III tahun 2000. Misalnya, para rohaniawan yang mendampingi ketiga terpidana mati itu yakin seratus persen bahwa tangan Tibo dkk tidak pernah berdarah. Jadi, yang disebut proses hukum itu diliputi ketidakadilan luar biasa besar.

Diskusi menjelang eksekusi sering didominasi oleh argumentasi melawan hukum mati pada umumnya. Namun, dengan itu inti masalahnya menjadi kurang terfokus. Memang benar, perdebatan tentang layaknya tidaknya dipertahankan hukuman mati di zaman modern ini harus dilanjutkan. Tetapi masalah tentang Tibo dkk adalah lebih fundamental lagi; apakah seluruh proses pengadilan berjalan dengan adil atau tidak? Proses pengadilan tidak adil apapun (bukan saja yang berakhir dengan hukuman mati)? merupakan suatu ketidakberesan moral yang besar dan menjatuhkan martabat hukum dengan cara fatal.

Dicopot Oleh Tuhan

Di antara para pejabat negara, hanya Kepala Polda Sulteng, Brigjen Pol Oegroseno berani menyatakan dengan jelas bahwa "kasus Tibo dkk, ada banyak kejanggalan, mulai dari proses penangkapan, pemeriksaan, dan pengadilan". Ia berpendapat bahwa eksekusi tidak boleh dilakukan dan menganjurkan agar proses hukum Tibo dkk dibuka kembali. Sebelumnya ia sudah berulang kali menekankan bahwa kasus kerusuhan Poso diliputi banyak misteri dan ia melihat sebagai tugasnya bekerja keras untuk mengungkap misteri-misteri ini.

Namun, justru Kapolda yang baru 11 bulan bertugas di Sulteng itu dipindahkan ke Jakarta. Oleh pihak Polri langsung dibantah bahwa pergantian ini berkaitan dengan kasus Tibo dkk. Dan kita dapat mengerti bahwa Oegroseno sendiri tidak ada pilihan lain daripada mengatakan hal yang sama kepada wartawan (Suara Pembaruan, 1/9).

Tetapi, siapa akan percaya omongan kamuflase itu sudah kita kenal sejak Orde Baru. Kecurigaan menjadi lebih besar lagi, bila kita lihat Kapolda baru begitu kooperatif dalam mempersiapkan eksekusi. Karena itu pergantian Oegroseno ini hanya menambah misteri baru pada begitu banyak misteri yang sudah ada di sekitar kasus-kasus kerusuhan Poso.

Ketika sudah diganti sebagai Kapolda Sulteng, Oegroseno masih sempat ikut dalam dialog yang diadakan di Hotel Palu Golden pada 2 September 2006. Di situ ia mengulangi lagi pandangannya mengenai ketidakberesan proses hukum yang dialami oleh Tibo dkk. Menurut orang yang hadir, pada kesempatan itu ia mengatakan juga "saya lebih senang dicopot oleh Kapolri daripada dicopot oleh Tuhan". Kalau begitu, rupanya pada Oegroseno ini das Sein masih seiring dengan das Sollen. Ia tidak bersedia mengorbankan tuntutan keadilan dan hati nurani kepada kepentingan lain apapun.

Dalam era reformasi, salah satu agenda pembaruan yang dianggap amat penting adalah menyehatkan sistem hukum kita. Dalam keadaan sekarang, pelaksanaan hukum tidak mempunyai kredibilitas sama sekali dan hal itu menciptakan suatu situasi yang sangat serius, pada taraf nasional maupun dalam forum internasional. Seandainya pemerintah giat mencari jalan untuk membuka kembali proses pengadilan Tibo dkk, tidak perlu dikhawatirkan citra hukum akan tercoreng lagi.

Keadaan hukum kita hampir tidak bisa lebih buruk lagi. Sebaliknya, seandainya pemerintah bersedia membuka pintu untuk meninjau kembali proses pengadilan ini, dunia akan mengakui bahwa akhirnya pemerintah serius dalam menyehatkan sistem hukum.

Kerap kali sudah diajukan usul, seperti membentuk Tim Pencari Fakta atau Komisi Independen yang akan mengusut seluruh kasus kerusuhan Poso sampai ke akar-akarnya. Dalam Tim atau Komisi macam itu sebaiknya ditambah juga unsur luar negeri.

Di Finlandia, Norwegia atau negara lain yang sudah berjasa dalam upaya serupa itu pasti ada hakim terpandang yang sudah pensiunan dan bersedia untuk membantu kita. Dengan itu kita tidak mengobrol independensi kita, tapi justru membuka diri secara tulus untuk memulihkan sistem hukum dengan meyakinkan. Yang sampai sekarang disebut "mempertahankan supremasi hukum" hanya mengakibatkan kepercayaan pada hukum di Indonesia terpuruk lebih dalam lagi sampai titik nadirnya. Pemerintah SBY-JK tidak bisa cuci tangan, seolah- olah tidak bertanggungjawab.

K Bertens  --  Penulis adalah anggota staf Pusat Pengembangan Etika Universitas Atmajaya

Adam Malik Berkata

Dikutip dari Tulisan Sabam Siagian-Suara Pembaruan

Dalam buku memoarnya Mengabdi Republik Jilid III: Angkatan Pembangunan, Adam Malik bercerita tentang pengalaman yang amat berkesan bagi dia, yakni pada saat kunjungannya yang pertama sebagai Wakil Presiden ke daerah Jawa Timur, Juli 1978. Pada spatbord sebuah Colt dekat Songgoriri dia baca tulisan: "Apa yang kau mau, apa yang kau rindu, pasti jadi, asal kau mau".

Malamnya dia renungkan makna kata-kata sederhana itu. Bung Adam menulis: "....(kata-kata itu) menunjukkan sikap mental yang tegas dan dinamis, dan selama masih ada semangat yang menggerakkan tangan untuk mencoretkan gambaran dinamika batin yang bunyinya semacam itu, saya yakin rakyat kita tidak kehilangan arah untuk maju".

24 November 2008

Preman Politik Juga Harus Disikat

Oleh : Tigor Munthe

Begitu Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) naik
tahta tertinggi di Mabes Polri, dia langsung geber
aksi. Sikat preman dan premanisme ditabuh sejak 2
November 2008 di 5 Polda.
Hasilnya? Fantastis! Kurang lebih hanya dua minggu
lebih ribuan preman digaruk. Angka yang dirilis Mabes
Polri : 8.507 dijaring, 846 diantaranya ditahan dan
7.5661 dibina.

Angka itu diperkirakan akan membengkak jika sejumlah
Polda lainnya di Indonesia digerakkan dengan Operasi
Penegakan Hukum Berantas Preman. Apalagi, dalam waktu
dekat Polri juga gelar operasi serupa, khusus untuk
preman berdasi.

Yang pasti, mendadak aksi operasi Polri ini menggema
dan dinilai langkah terpuji dalam menjaga dan
memelihara keamanan sipil. Karena memang diyakini
preman dan premanisme merupakan salah satu ‘sektor’
penyumbang terbesar kriminalitas.

Preman yang berasal dari kata Belanda, Vrijman yang
berarti orang bebas atau versi Kamus Besar Bahasa
Indonesia, menyebut preman itu adalah orang jahat,
memang patut disikat habis.

Namun, mucul sebuah gugahan, kalau tidak bisa disebut
gugatan. Preman, yang sosoknya selalu berkeliaran di
terminal-terminal bus, pasar-pasar tradisional, pusat
pertokoan modern, atau dimana saja yang menjadi sentra
manusia melakukan aktifitas transaksi ekonomi, adalah
preman yang kasat mata.

Secara fisik, mudah mengidentifikasi mereka;
penampilan acak dan seram, sarat tato di beberapa
bagian tubuh, mata selalu melotot, suka membentak, dan
ciri kasar lainnya.

Lalu, preman yang tidak kasat mata, apa juga bisa
disikat? Preman yang tidak kasat mata? Betul, preman
jenis itu secara fisik memiliki ciri yang berbeda
dengan preman kasat mata. Lebih halus, bahkan lebih
necis, rapi, parlente, elegan bahkan tidak jarang
memiliki wawasan dan pengetahuan berkelas tidak
ubahnya kaum intelektual yang bercokol di ranah
akademis. Persamaannya ada pada pola atau modus
kerjanya ; main paksa bahkan main rampas hak-hak orang
lain. Tidak mau tahu dengan rugi yang diderita orang
lain.

Lantas, preman seperti ini ada dimana? Ada
dimana-mana. Lumayan banyak berkeliaran di birokrasi,
institusi peradilan bahkan di lembaga resmi sekelas
legislatif. Untuk yang beroperasi di birokrasi,
lazimnya mencari ‘makan’ proyek besutan pemerintah.

Umumnya, mereka bermain dan ‘berkeliaran’ di luar
sistim, kendati bisa merangsek ke dalam sistim. Bisa
saja berkedok pemborong atau rekanan. Berbekal
perusahaan yang dipinjam dari kiri kanan, kelompok ini
melakukan aksi leluasa meraup proyek dengan cara tidak
kalah beda dengan ciri main ancam, main paksa dan main
rampas.

Atau, kelompok yang berwara-wiri di lembaga peradilan
dan lembaga hukum lainnya. Jahitan kolaborasi dengan
para penegak hukum utuk meraup untung, merupakan
santapan informasi yang sudah deras kuat mengalir, tak
ubahnya angin yang sulit dijaring.

Preman Politik

Yang lebih hebat, di legislatif, preman jenis ini
bukan menjadi pemain pinggiran, tetapi sebagai pemain
utama. Resmi menerima tahbisan dari negara sebagai
’anggota dewan yang terhormat’.

Bah, kelakuan mereka ini bahkan dibayar dengan mahal
oleh negara. Negara yang melegitimasi aksi menjadi
preman sekaligus gelar wakil rakyat. Tidak bermaksud
menyamaratakan, tetapi mayoritas mereka ini, sebut
saja Preman Politik, memang menjalankan aktifitas
tidak ubahnya preman. Bedanya, kalau preman di
terminal atau pasar penampilan sangar, maka yang satu
ini necis dan memang intelektual.

Pijakan dasar sebutan Preman Politik terhadap sejumlah
anggota dewan yang terhormat itu, adalah ketika mereka
ternyata memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan
rakyat apakah menderita atau merana. Sikap asli muncul
manakala sederetan fasilitas disuguhkan negara, apakah
gaji atau tunjangan yang besar, maupun hak-hak
privilese lainnya, yakni perilaku konsumtif sebagai
imbangan jabatan yang memang sedari mula dianggap
prestise, bukan amanah! Maka mulailah mereka rakus,
dan selalu kekurangan yang kemudian dirangkaikan
dengan aksi premanisme bergaya politis dan
intelektual.

Modusnya beragam. Tetapi tidak akan jauh-jauh dari
pemanfaatan instrumen fungsi dan tugas ;
pembuatan/pengawasan aturan, pembuatan/pengawasan
anggaran dan pengawasan atau kontrol kinerja
eksekutif.

Kekuatan yang terkandung dalam tiga pilar fungsi itu
digelontorkan. Dilesakkan ke eksekutif. Pembahasan
APBD di daerah setiap tahun misalnya, eksekutif
diwajibkan menyerahkan draft penyusunan APBD ke
legislatif agar dikaji, dipelajari atau dikoreksi Tim
Anggaran Legislatif sebelum nantinya diketukpalukan
untuk dilaksanakan.

Dalam sekat ini, aksi premanisme tumbuh subur.
Legislator periode lalu dan kini mempertontonkan itu.
Ada paksa dan ancam yang bertebaran, jika eksekutif
tidak mengakomodir item-item kemauan mereka.

Bisa saja kemauan itu berupa proyek fisik, jabatan,
dana segar, yang sudah disiapkan dan disusupkan ke
draft versi eksekutif. Kelak proyek-proyek itu menjadi
jatah atau bagian dari Preman Politik yang berdasi dan
bersafari itu. Yang pasti, kelompok ini main paksa,
main serobot bahkan main ancam jika tidak diokekan
proyeknya. Ancaman sederhananya; bisa saja akan
mencoret beberapa item proyek yang dinilai basah atau
juga menolak pengesahan draft APBD. Preman tidak?!

Ah, itu cuma sekelumit. Lainnya? Adalah politisi yang
tidak mau tahu dengan urusan dan jeritan kepentingan
masyarakat, politisi yang memang sangat doyan
melakukan pembelaan dan persetubuhan dengan pihak
eksukutif yang meski menerapkan kebijakan salah,
politisi yang tidak pernah turun ke tengah-tengah
masyarakat, guna menggali empati, simpati, dan
aspirasi. Lagi, banyak lagi ciri-ciri. Yang pasti,
identifikasinya adalah amoral dan apolitis.

Polisi = Masyarakat

Jika menilik rencana polisi yang akan menyikat preman
termasuk yang berdasi, yakni yang kerap beroperasi
mengejar proyek-proyek di dinas-dinas pemerintahan dan
lembaga resmi lainnya, hal itu patut diapresiasi.
Polisi bahkan menurut rencana akan melibatkan sejumlah
instansi lain melakukan pengawasan ketika terjadi
proses lelang atau tender proyek di instansi
pemerintahan. Polisi dengan perannya tidak akan
membiarkan para preman berdasi alias preman proyek itu
menggerogoti dan merusak dunia usaha, meminggirkan
para pelaku usaha yang sebenarnya.

Sikap itu, idealnya patut ditiru oleh masyarakat
terutama dalam menyambut Pemilu 2009 mendatang.
Ratusan bahkan ribuan calon legislatif atau caleg
sudah mendaftar untuk berlomba menjadi wakil rakyat,
guna beraksi selama lima tahun dengan jabatan politis
dan mulia yang disandangnya kelak.

Tidak ubahnya dengan tugas dan fungsi polisi,
masyarakat harus berdiri mengawasi proses ‘tender
politik’ yang akan terjadi nanti. Dipastkan, para
caleg, akan berkejaran menyodorkan ragam isi-nya, yang
terbaik dan yang teryahud dalam segala urusan
menentaskan segala urusan, yang bernama proyek
kerakyatan.

Pengawasan dimaksud adalah sebuah gagasan perburuan,
dimana nantinya akan ada sebuah note book, apakah
isi-nya para caleg adalah preman atau tidak. Dan itu
kelak sebagai modal dalam menentukan sikap politik
ketika sudah berada di lokasi sakral bernama Tempat
Pemungutan Suara atau TPS.

Jika polisi bisa mengeksekusi dengan menciduk langsung
preman, masyarakat juga bisa menciduk, meski bukan
secara fisik, tetapi secara pilihan politik. Menangkap
para preman politik dilakukan dengan memenjarakan
ideologi-ideologi negatif mereka, agar tidak kadung
berbaur dengan ideologi-ideologi politisi murni.
Betul, selain preman di terminal atau di pasar harus
bersihkan, maka preman politik di legislatif juga
harus disikat! (Penulis adalah jurnalis tinggal di
Siantar)

GURU…!!! (untuk temanku)

Oleh Tigor Munthe


Aku punya teman seorang guru, guru honorer di salah satu sekolah negeri. Orangnya cerdas, loyal dan fokus dengan pekerjaannya. Sulit mencari orang seperti dia, mau menjadi guru honorer di jaman sekarang. Karena untuk menjadi guru honorer, dia harus rela dengan honor cekak dan di bawah standard. Padahal, tuntutan hidup terus menggelinding, dan itu berlaku di atas tuntutan tugas bernama : kualitas.
Tidak mengenal lelah, temanku itu lalu mencoba membangun sebuah komunitas yang diharapkan bisa menjadi wadah diskusi dan pencerdasan para guru, kelak juga sebagai mesin pendobrak penzoliman atas guru. Fakta hari ini, guru tidak pernah sejahtera dalam arti sesungguhnya. Meski negara dan pemerintah membuat aturan indah dalam Sisdiknas atau UU soal Guru dan Dosen.

Energi temanku itu, tidak berhenti hanya pada pembentukan komunitas guru yang masih tertindas. Dengan semangat mudanya dia mencoba membuat tulisan-tulisan berupa opini di koran-koran. Tulisan tentang guru dan segala soalnya. Memanfaatkan ruang publik yang disediakan media cetak lokal atau media elektronik lokal, dia terus hembuskan nafas perjuangan para guru yang masih tertindas. Dia buka fakta, guru masih belum diapresiasi di negeri ini dan di kotanya tempat berdiam dan menjadi guru honorer.

Dia pernah cerita, honor yang dia terima sebulannya hanya kisaran Rp400.000-Rp500.000. Sedih? Pasti, karena dengan nilai sebesar itu sangat sulit bagi dia untuk sekadar mengisi perutnya untuk sarapan tiap pagi sebelum berdiri di depan kelas, memuntahkan isi kepala dan isi hatinya ke para anak bangsa. Konon lagi, bila dia harus membeli koran untuk sekadar menambah isi kepalanya akan dunia yang saat ini terjadi, konon lagi untuk membeli buku sekadar menambah kekayaan wawasannya, konon lagi untuk….

Lalu, kenapa dia bisa eksis hingga hari ini tetap berdiri di depan kelas? Guru itu adalah pengajar banyak orang. Dia banyak menyimpan energi untuk memboboti orang, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Potensi energi itu kemudian dipakai temanku itu. Dia pasti sudah boboti dirinya, sebelum memboboti anak bangsa. Dia tahu apa yang harus dilakukan, sebelum orang diberi tahu.

Betul, dia temanku itu adalah manusia biasa. Kerap terujar dari mulutnya, keluhan dan resahan. Soal honornya, status honorernya, sistim yang membungkamnya, atau penindasan atas guru yang masih berlangsung.

Untungnya, itu cuma sebatas itu. Tidak pada langkah dan sikap permanen. Dia terus berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, berdiri di depan kelas dan menjadi guru atas semua anak bangsa. Dia mengaku tidak pernah bercerita di depan kelas, soal dapurnya yang kerap tidak mengepul, soal kontrakan rumahnya yang sudah menunggak, soal istri yang kerap makan sekadaranya tanpa menikmat gizi seadanya. Dia hanya bercerita soal sebuah ilmu dan pengetahuan, soal disiplin, moralitas dan etika, serta nilai-nilai adiluhung lainnya.

Sesekali, dia bersama komunitasnya mencoba turun ke jalan. Menumpahkan soal-soal yang sumbat soal guru. Dia meradang ke politisi dan pemerintah. Memuntahkan isi kepala dan isi hati yang terakumulasi : nasib pendidikan anak bangsa dan bangsa ini, jangan diserahi kepada guru yang lapar di depan kelas.

Meski dia kerap tidak didengar, dia tidak pernah berhenti berteriak, sebagaimana dia tidak pernah berhenti mencerdaskan anak bangsa di kelas. Sebab bagi dia, bukan soal didengar atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana dunia tahu jika guru masih lapar dan miskin.

Dia selalu bercerita, mengaku guru masih berkutat di soal klasik. Dia bahkan sangat kecewa, solidaritas sesama guru dalam memecah soal klasik itu, belum terintegrasi bahkan cenderung terseret pada rasa takut dan rasa tidak percaya diri, bahwa akan bisa keluar dari balutan menyesakkan itu. Sikap diam dan membiarkan saja, kalah dan mencari alasan pembenaran, seakan menjadi sampah awal yang harus dia singkirkan dari memori dan kultur guru, sebelum akhirnya tiba pada tuntutan substansial sejatinya.

Tuntutan, Apa itu?

Dia lalu kemukakan apa yang menjadi tuntutan guru saat ini. Apakah guru honorer, guru swasta atau guru PNS, yakni penghargaan dalam arti yang luas, tidak harafiah.Guru tidak sepenuhnya menadahkan tangan untuk urusan gaji semata, apalagi fasilitas lainnya.

Dia bilang, penghargaan itu memiliki makna kuat dan mendalam. Dalam penghargaan ada nilai humanistik dan nilai politis. Humanistik, memandang guru adalah nilai tertinggi sebagai mahluk berkontribusi, kerap mengabaikan diri demi memanusiakan manusia. Lalu politis, adalah nilai pengakuan keberadaan atas perannya menjadikan begitu banyak orang menjadi ‘manusia’ yang seutuhnya.

Itu maka kata dia, negara atau pemerintah sebagai instrumen tertinggi sangat bertanggungjawab terhadap kehadiran guru, apakah di dalam kelas atau di dalam notkah bernama pendidikan.

Bila kedua nilai itu berpendar secara wajar, maka tidak ada lagi guru yang hanya akan menerima gaji Rp400.000-Rp500.000 di awal bulan. Tidak ada lagi guru yang harus menjadi guru di banyak sekolah, mengejar setoran layaknya sopir angkutan yang harus ugal-ugalan di tengah jalan raya yang banyak menyimpan lobang dan rambu jeratan bahkan terancam tabrakan.

Lalu, karena temanku itu tidak mau kedua nilai itu hanya menjadi bantal dalam selimut mimpi, dia memberi arti ulang tahun guru yang jatuh 25 November dengan melakukan kontemplasi. Dia ajak komunitasnya melakukan aksi pikir ulang dan aksi turun jalan. Agar tidak sekadar menjadi korban kepikunan negara atau pemerintah, bahwa guru bukan peminta-minta atau pengemis diantara banyaknya tuntutan yang derasnya minta ampun soal pendidikan yang berkualitas dan anak bangsa yang mumpuni ilmu dan akhlak.

Temanku guru itu, dengan lantang di depan pemangku kekuasaan negeri dan kota dimana dia berdiam menjadi guru, meneriakkan tanpa lelah : hidup guru! Dia tanpa sadar, memberikan nafas yang sangat kuat kepada ribuan bahkan jutaan guru yang masih tertindas. Dia tidak hanya membangun komunitas di ruang sempit, tetapi menggerakkan sebuah nilai universal akan perjuangan melawan penindasan yang masih bercokol, atas guru. Guru, Selamat Ultah…!!! (Penulis adalah jurnalis Siantar Simalungun)

11 November 2008

Sulaiman Sinaga : Dari Tigaras Meretas Impian

Ditulis Tigor Munthe

Sosoknya sederhana namun energik. Selalu tampil komunikatif dalam menghadapi siapa saja yang menjadi teman bicara atau diskusi. Perjalanan karirnya di dunia politik dan dunia usaha telah mengajarkannya banyak hal dalam berkomunikasi, baik komunikasi politik ataupun komunikasi bisnis yang sejak lama sudah digelutinya. Itu sebabnya, kalau diajak diskusi, selain menguasai materi juga pasti akan menularkan hal baru. Isi argumentasinya kerap penuh kejutan dan sentakan. Menawarkan solusi merupakan kata kuncinya, setiap kali ada sebuah isu krusial yang tengah diperdebatkan. Dan itu merupakan garam penyedap ala khasnya. Tidak monoton dan sarat ledakan.

Pria kelahiran Kota Siantar 55 tahun silam itu, sekilas terkesan garang. Perawakannya yang sedikit bongsor menyiratkan energi besar. Energi yang kelak digelontorkan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat di ranah politik. Suaranya besar dan keras, pula mencirikan tekadnya sebagai putra Tigaras, putra Simalungun yang komit dan keras hati unuk menegakkan cita-cita perjuangan.

Mengawali karir politik di Golkar Kota Siantar, pria pemilik tiga radio swasta terkenal di Sumatera Utara ini, terbilang cukup disegani. Masuk dalam jajaran Golkar Siantar bukanlah perkara gampang dan mudah. Diposting dalam jajaran elit sudah barang tentu kualitas dan kemapanan seseorang sangat dipersyaratkan. Setidaknya hal itu bisa diukur dari pengalaman organisasi yang sudah dimasuki. Modal dasar itu kemudian menjadi pemicu-pemicu lanjutan atas eksistensi-nya sebagai politisi yang dihormati dan didengar para kader Golkar dan politisi lainnya di Kota Siantar.

Loyalitas dan dedikasi yang tinggi serta dibarengi rasa cinta besar terhadap partai yang memberinya banyak pelajaran politik dan menmperjuangkan aspirasi masyarakat itu, sangat teruji. Karena tidak sedikit partai baru yang tumbuh menawari dirinya. Tetapi semua itu ditolak.

Hal itu kemudian berbuah, ketika periode 1999-2004 silam, sosok ini duduk menjadi anggota legislatif. Karakter politiknya yang memang berciri keras dan tidak kenal kompromi dengan penyimpangan, membuatnya dikenal vokal ketika menjadi wakil rakyat. Persoalan–persoalan menyangkut kepentingan maasyarakat luas dibantu dan diperjuangkan.

Konsern dan empati yang tinggi, sejatinya sudah lama tertanam. Dan itu menjadi modal kuat dalam bergerak di ranah politik yang sarat dengan kepentingan dan vested. Peristiwa kebakaran Pasar Dwikora Parluasan pada tahun 2000 silam, membuktikan bagaimana sosoknya sangat cepat menangkap sinyal kegelisahan orang-orang di sekitarnya. Dengan sigap dia mengambil peran sebagai ketua, berupaya mengkoordinir bantuan moril dan materil pemulihan bagi ribuan pedagang yang tertimpa musibah kebakaran.

Politik Pemulihan Rakyat

Pemulihan ketika itu tidak berhenti pada penyembuhan temporer, tetapi berkelanjutan sampai memberikan penguatan hingga pulihnya kondisi pedagang dan Pasar Dwikora secara fisik dan ekonomi. Posisi tawarnya yang kuat dan dekat dengan rakyat, kemudian menjadi aset energi dalam membangkitkan mata fokus dan perhatian pemerintah ketika itu, yang dipaksa untuk cepat dan tepat menyelamatkan pedagang dan Pasar Dwikora. Dan dalam waktu dua tahun, salah satu pasar tradisional terbesar itu benar-benar pulih sedia kala.

Benar, konsep pemulihan itu setidaknya menjadi sejarah, ilmu atau pola yang kelak digunakan untuk ‘memulihkan’ rakyat. Siapapun tahu, rakyat kekinian belum sembuh. Masih menjalani proses transisi pasca runtuhnya rezim orde baru. Rezim yang menyisakan busa-busa pembangunan. Rezim yang disebut mengukir sederetan prestasi ekonomi dan pembangunan, tetapi keropos karena ternyata itu cuma kulit luar. Sejatinya rakyat masih miskin, sangat miskin bahkan.

Itu makanya, sosok ini berani mendeklarasikan diri masuk dalam kancah politik. Dia sadar, hanya ranah politik yang bisa menjadi instrumen baginya untuk menjawab skema pemulihan rakyat. Politik ternyata menawarkan konsep yang komprehensif, tidak terbatas dan mampu menjangkau aspek-aspek kehidupan lain, termasuk dunia bisnis yang selama ini menjadi akar dan basis keluarga.

Bisnis angkutan yang dirajut keluarga melalui Fa. Laut Tawar, merupakan sebuah jati diri sekaligus analogi politik sederhana. Pergerakan hidup yang dinamis tak ubahnya roda kendaraan, selalu mendatangkan gairah perubahan. Dimana kemudian semangat perputaran roda itu mengilhami dirinya.

Meretas pemulihan rakyat itu, diawali dengan memasuki bahkan mewarnai sederatan organisasi. Komunitas yang dibangun kemudian menjadi sarana ampuh mengasah simpati dan empati terhadap orang lain. Organisasi merupakan rumah pengglembengan diri sebelum menerjunkan diri dalam ranah politik yang sesungguhnya.

Maka tidak heran, melihat rumah politiknya selama ini yakni Partai Golkar dikendalikan elit yang tidak lagi sehaluan dalam konteks urusan rakyat, dia memastikan keluar dan itu ditunjukkan dengan sikap tegas untuk keluar dari legislatif yang dinilainya sudah dikotori dengan kepentingan sesat dan sesaat dari elit tertentu. Baginya, lebih baik berhenti dari aktifitas politik, ketimbang harus melacurkan diri dengan para oportunis yang tidak memiliki konsep pemulihan rakyat.

Di masa vakum, sempat ada godaan-godaan partai baru, sosok ini tidak bergeming. Namun kecintaannya kepada partai berlatar kuning itu, akhirnya sedikit luruh, ketika Pemilu 2004 lalu sempat mencoba menyalurkan kegelisahannya melalui salah satu partai pecahan Golkar, namun tetap hal itu tetap tidak bisa menghantarnya ke rumah rakyat.

Proses pencarian rumah organisasi yang kelak menjadi rumah pemulihan rakyat terus dilakukan. Pilihan politisi tampaknya lebih menonjol, kendati pilihan bisnis tidak pernah berhenti. Meski bisnis radionya Citra Anak Siantar (CAS) Group terus berkibar yang terlihat melaluiperluasan jenis usaha, yakni tidak hanya berkutat dalam segmen komunikasi, tetapi sudah merambah pasar entertainment berupa pendirian Event Organizer (EO) serta berupa penyedia jasa kontraktor, tetapi hari-hari sosok ini lebih kentara dengan ranah politik.

Fakta kasat mata, salah satu segmen acara di radio miliknya, sengaja memberikan ruang diskusi rutin menyangkut ihwal isu kerakyatan, pemerintahan, politik, hukum, sosial budaya dan lain sebagainya. Tema sentralnya adalah konsep pemberian ruang aspirasi rakyat untuk bersinggungan secara elegan. Selain itu, rubrik yang diberi KUPAS itu adalah sarana politik rakyat. Politik yang jernih tanpa intevensi elit atau pemangku kepentingan, karena memang dia dirajik dengan segaja menghadirkan pembicara dari kalangan jurnalis yang berkelas. Bahkan dalam ruang dan rubrik itu, secara khusus ada diskusi yang mengupas habis soal-soal Pemilu dan wara-wirinya.

Pergulatan dan pergelutan dunia politiknya akhirnya kemudian berlabuh di partai yang saat ini dihuni Persiden Susilo Bambang Yudoyono. Putusan untuk mengkayuh perjuangan lewat pintu partai yang sudah masuk dalam jajaran electoral treshold pada Pemilu 2004 itu, sesungguhnya bukan putusan anyar. Sejak awal, partai berlambang bintang lima itu sudah lama mengincar dan mengendus sosoknya. Itu makanya, begitu tawaran untuk masuk dalam kepengurusan di Kabupaten Simalungun, namanya masuk dalam jajaran elit yakni sebagai Wakil Ketua DPC Bidang Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi Partai Demokrat Kabupaten Simalungun periode 2005-2010.

Menggagas Pemekaran Simalungun

Sadar bila proses pensejahteraan rakyat terutama Kabupaten Simalungun dengan jumlah penduduk mencapai 800 ribu jiwa yang tersebar di hampir 31 kecamatan memerlukan satu upaya yang cukup keras, sosok ini kemudian membangun sebuah wacana kencang adanya pemekaran wilayah.

Wacana itu dilayangkan, mengingat selain wilayah kabupaten yang sangat luas, juga merujuk taraf kehidupan rakyat di Kabupaten Simalungun tidak mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa kepemimpinan kepala daerah.

Wacana itu lalu bergulir deras menjadi aksi. Dengan menggalang kekuatan media yang ada di wilayah ini, melalui Koalisi Media Untuk Pemekaran Kabupaten Simalungun, CAS Gorup sebagai fasilitator dan sosok ini sebagai motor mendorong pemekaran Kabupaten Simalungun pada Tahun 2007 secara gencar. Gerakan pemekaran sebelumnya sudah dimainkan Panitia Pemrakarsa Pemekaran Kabupaten Simalungun yang dikoordinir oleh tokoh Simalungun Leo Djamariah Damanik pada tahun 2001. Tapi terkesan mati suri, mati muda.

Sebelum upaya itu benar-benar mati dan dikubur, sosok ini bersama tokoh Simalungun lainnya, Marim Purba, Sarmedi Purba, Iskandar Sinaga dan sederetan jurnalis handal Siantar Simalungun mendukung gerakan penderasan pemekaran.

Kendati upaya itu sejauh ini belum membuahkan hasil, namun berkat gerakan dan manuver di tengah derasnya penolakan yang justru datang dari sebagian warga Kabupaten Simalungun, setidaknya upaya pemekaran Kabupaten Simalungun sudah berada di tangan DPR RI. Tinggal lagi bagaimana legislator periode mendatang bisa mengegolkan itu.

Tak heran, dalam jargon politiknya menyongsong Pemilu 2009, sosok ini menjual isu pemekaran Kabupaten Simalungun. Baginya, agenda ini adalah milik rakyat dan impian rakyat. Impian guna mendekatkan sejahtera dan makmur untuk rakyat, melalui kehadiran pemerintah yang dekat dan memiliki kepedulian memulihkan rakyat.


08 November 2008

Andai Obama WNI

Oleh Indra J Piliang

Mimpi Barack Hussein Obama melanda mimpi sejumlah anak-anak muda Indonesia. Mereka berharap Obama- Obama made in Indonesia lahir dan hadir.Apakah mimpi itu ketinggian? Tidak. Tanpa perlu mimpi serupa, sebetulnya Obama adalah made in Indonesia. Dalam dirinya menyebar kandungan gizi sejumlah makanan Indonesia.Ingatannya yang sekarang juga tentu berisikan sejumlah memori tentang negeri yang disinggahinya ketika mulai mengeja dunia. Jadi agak keliru kalau kita menyebut Obama bukan fenomena Indonesia.

Tetapi mengklaim itu secara serampangan juga akan memunculkan persoalan ketika status kewarganegaraannya adalah penduduk Amerika Serikat.Pertanyaan spekulatif layak diajukan untuk membongkar lagi cara berpikir kita tentang politik, demokrasi dan ide-ide besar yang disampaikan dalam pidato kemenangan Obama. Apa itu?

Andaikan Obama adalah warga negara Indonesia, alias memilih kewarganegaraan ayah tirinya, lalu menempuh pendidikan yang sama di Indonesia dan mancanegara, akankah dia bisa dipilih menjadi presiden Republik Indonesia?

Tentu banyak cara untuk menjawab pertanyaan itu.Yang terpenting adalah sekalipun Indonesia tidak menganut paham ”orang Indonesia asli”dalam konstitusinya untuk menjadi presiden,tetap saja secara politik terdapat impuls ”kepurbaan politik” itu. Impuls itu muncul dari proses pendidikan politik yang keliru yang dilakukan oleh kalangan elite politik. Orisinalitas diletakkan pada pangkal sebuah klaim yang sulit diterima secara biologis,bahwa seseorang harus putra asli sebuah daerah untuk menjadi kepala daerah atau harus berasal dari suku terbesar di Indonesia untuk menjadi presiden.
***

Kepurbaan berpikir itulah yang harus diberantas sampai habis.Kalau tidak,Indonesia tetap terjerat dengan imajinasi yang keliru tentang status kewarganegaraan seseorang. Ketika salah satu partai politik mencalonkan mantan warga negara asing (WNA) sebagai calon anggota DPR, seorang wartawan bertanya kepada saya,”Apakah dia tidak mewakili kepentingan asing?”

Dengan nada sinis saya justru katakan bahwa justru ada warga ”pribumi” yang lebih menanamkan agenda-agenda asing ketimbang mantan WNA itu.Sebagian dari kita masih juga percaya pada teori-teori konspirasi, betapa kegagalan kita dalam sejumlah bidang kehidupan adalah akibat pengaruh kepentingan asing itu.

Karena itu juga pertanyaan apakah Obama akan dipilih menjadi presiden Republik Indonesia sudah terjawab. Jangankan dipilih,bahkan untuk dicalonkan saja barangkali masih merupakan mimpi.Akar popularitas dalam dunia politik lebih banyak dibangun dalam paradigma lama, betapa anak seorang pahlawan nasional akan lebih tepat mewakili kepentingan politik nasional.

Seseorang yang berkulit hitam dan berambut keriting adalah ”makhluk asing”dalam dunia politik Indonesia.Masih butuh waktu lama untuk mencalonkan seorang warga negara Indonesia yang berasal dari Flores atau Papua untuk jabatan presiden dan wakil presiden. Padahal, dalam perjalanan saya, terdapat sejumlah anak-anak Papua dan Flores yang betul-betul pintar, berkepribadian baik, serta berkarakter Indonesia yang bisa menjadi tokoh- tokoh nasional yang baik.

Namun, hanya karena mereka berkulit lebih gelap dan beragama yang bukan agama mayoritas, sulit berharap kalau orang-orang brilian itu akan masuk dalam kompetisi politik. Di beberapa daerah pemilihan, kita juga masih melihat bagaimana sentimen ”asli” dan ”tidak asli” dijadikan sebagai senjata untuk menjatuhkan seorang calon kepala daerah, calon anggota legislatif atau juga untuk jabatan presiden dan wakil presiden.

Maka, jangan kaget kalau terlalu banyak orang cerdas di Indonesia yang justru menemukan rumahnya di luar Indonesia. Mereka menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan multinasional, menjadi tenaga pengajar di universitas terkemuka, juga menjadi pemimpin di bidangnya justru bukan di negara asalnya. Seorang senior saya di sekolah menengah,SMA 2 Pariaman, kini menjadi dosen di sebuah universitas bergengsi di Belanda, setelah ditolak di universitas-universitas dalam negeri.

Kepandaian seseorang menjadi hilang hanya karena sistem rekrutmen para tenaga pengajar waktu itu masih mengandalkan nepotisme, kolusi, dan korupsi.
***

Rakyat Indonesia menunjukkan rasa syukur yang tinggi atas terpilihnya Obama. Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan apatisme terus diluapkan untuk proses pemilu dalam negeri. Seakan tidak ada lagi para pemimpin yang mampu menjadi harapan untuk memperbaiki kehidupan, terutama ekonomi, yang sulit.

Kalaupun ada, tokoh-tokoh itu dari sisi popularitas dianggap kalah dengan calon-calon lain yang memiliki dana kampanye besar.Idealnya,optimisme atas masa depan Amerika juga dicangkokkan kepada masa depan Indonesia melalui proses Pemilu 2009 yang sedang berlangsung. Untuk tidak kehilangan lagi sosoksosok seperti Obama, sudah menjadi kewajiban bagi seluruh kekuatan politik guna mendata lagi orang-orang Indonesia yang terbaik, di mana pun mereka berada.

Sistem politik harus diperbaiki agar bisa menerima orangorang yang dianggap belum berpengalaman itu.Mereka layak dipanggil pulang, seperti dulu BJ Habibie dipulangkan. Tentu kepulangan mereka disiapkan dengan penyediaan fasilitas yang memadai,bukan diharuskan untuk bekerja di banyak tempat, mencari sesuap nasi, lalu kehilangan kecerdasan individual,karenaterlalusibukdengan honor yang satu ke honor yang lain.

Pemilu 2009 juga patut didesain untuk menemukan kembali keindonesiaan itu. Orang-orang dari kelompok yang kecil secara minoritas bisa diajukan sebagai alternatif pemimpin nasional, sembari disandingkan dengan stok pemimpin yang sudah tersedia.Saya yakin sekali bahwa ada satu dan dua orang Indonesia, entah tinggal di Indonesia atau di mancanegara, yang memiliki kemampuan untuk memberikan inspirasi kepada seluruh warga negara Indonesia, bahkan dunia.

Makanan yang pernah masuk ke perut Obama ketika menetap di Indonesia pasti lebih banyak dikonsumsi oleh orang-orang itu. Parade dari orang-orang terbaik inilah yang akan memengaruhi harapan orang atas masa depan politik di Indonesia dan atas masa depan Indonesia itu sendiri.Jangan sampai oligarki politik justru menutupi peluang bagi munculnya orang-orang semacam Obama.

Tinggal sekarang bagaimana kita mencari dan menemukan orangorang itu, sebagai bagian dari ijtihad dan terobosan politik, siapa pun dan partai manapun yang melakukannya. Hingga,suatu hari nanti, orang-orang seperti Obama lebih memilih untuk mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia, ketimbang di negara asal ibunya itu.Andai saja.(*)


Nafas Politik Taufik Kiemas

Oleh Indra Jaya Piliang, Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Dalam setahun terakhir ini, PDIP menjadi partai yang meraih posisi puncak dalam setiap survei yang diadakan oleh Lembaga Survei Indonesia, Indo Barometer dan lembaga lain. Kemampuan PDIP mempertahankan popularit. asnya itu tidak terlepas dari strategi yang diambil untuk menjadi partai oposisi di tingkat nasional. Pasca-kenaikan BBM, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyalip Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden pilihan. Kekecewaan kepada SBY menyebabkan pemilih mengalihkan suara ke Megawati Dari sejumlah pilkada, PDIP juga mampu memenangkan calon-calon yang diusung, terutama pada level gubernur dan wakil gubernur. Terlihat sekali PDIP telah mempersiapkan diri dengan baik guna menjalankan roda pemerintahan, setelah pada periode 1999-2004 terkepung dengan kue kekuasaan yang membesar, namun tidak memiliki sumberdaya manusia yang tangguh. Bisa dikatakan PDIP dalam periode 2004-2009 melakukan strategi “daerah mengepung pusat” dengan cara memenangkan pilkada demi pilkada, sembari menebar sumberdaya manusia yang baik di level bupati, walikota dan gubernur. Lalu, darimana kekuatan PDIP itu? Maghnet kekuasaan PDIP masih terletak pada pilar Soekarnoisme, termasuk juga anak-anak Soekarno. Namun, maghnet itu bisa bermakna lain, kalau tidak dikendalikan dengan telaten. Dari sinilah muncul nama Taufik Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri dan sekaligus menantu Soekarno. Taufik yang sejak muda adalah pengagum dan pembela Soekarno ini telah melewati usia matang, yakni 64 tahun. Dalam usia itu, ia sudah melewati zaman-zaman keemasan Soekarno, ketertindasan Soekarno, sampai kepada kebangkitan kembali trah Soekarnoisme.

27 Oktober 2008

Saksikan Drama 19 CPNSGate

Oleh Tigor Munthe

Drama kasus CPNSGate Pemko Siantar bisa jadi merangkak ke frame anti klimaks di tangan Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono. Dalam gelar perkara di markasnya Jalan Sudirman Siantar, Jumat (24/10/2008), polisi menepis sangkaan banyak orang kalau Wali Kota RE Siahaan sudah menjadi ‘pesakitan’ tersangka. Sebenarnya sangkaan itu beralasan, karena wali kota sangat dominan berperan melahirkan CPNSGate 2005. Sebagai bidan, wali kota memberikan jalan terhadap 19 orang untuk bisa memiliki alat legitimasi sebagai anak birokrasi. Dia pakai rahim Panitia Seleksi yang sejak semula sudah dibuahi oleh zat bernama kolusi korupsi dan nepotisme.

Malang benar, anak-anak birokrasi itu (19 orang CPNS) sepanjang hari harus menggunakan jubah ‘haram’ karena ulah persetubuhan gelap yang tidak pernah sesungguhnya mereka harapkan menjadi ‘ibu kandung’ mereka.

Simak saja beberan demi beberan sang penyidik kasus Aiptu Sawal Siregar ketika menjadi presentator gelar perkara. Di hadapan puluhan wartawan dan aktifis LSM, dia malah urai satu per satu apa cikal bakal kasus. Sejak dari proses rekrutan hingga modus kejahatan.

Poin menarik sekaligus krusial ialah : sesuai analisis yuridis penyidik, RE Siahaan sebagai Penanggungjawab, Tagor Batubara sebagai Ketua Panitia, Morris Silalahi sebagai Sekretaris Panitia dan Tanjung Sijabat, mantan Kepala BKD, telah melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi pasal 5, 21 dan 22 yaitu melakukan perbuatan yang menguntungkan diri keluarga dan kroninya, serta mengakibatkan kerugian orang lain serta negara.

Mereka dengan seenaknya, tak ubahnya Pemko adalah miliknya, mengatur anak dan kerabatnya bisa lulus menjadi CPNS 2005 meski kalah dan tidak ikut ujian.

Kira-kira begini dia skenario drama CPNSGate yang dipresentasikan polisi di hadapan gelar perkara : RE Siahaan setuju 19 nama ilegal itu diusuli ke Menpan untuk diterbitkan SK oleh BKN, Morris Silalahi mengemis ke Tagor Batubara agar borunya ikut dalam daftar 19, Tagor Batubara oke saja sepanjang bosnya tidak keberatan, asal anaknya juga gol dan Tanjung Sijabat tahu jika ada 10 jatah periode sebelumnya yang lowong, maka borunya bisa saja ditumpangkan di daftar 19 itu.

Variabel merugikan orang lain, melakukan permufakatan, melawan dan melanggar hukum, klop sudah! Nah, lho polisi hanya sebut satu tersangka, Morris Silalahi. Lalu dua lainnya, berikut Tagor Batubara sudah duluan ke alam nirwana, tidak tegas disebut sebagai apa. Kalau cuma saksi, barangkali itu sudah pasti. Tapi sebagai tersangka polisi masih bimbang atau sama sekali tidak berani? Entahlah…

Tapi kalau menurut polisi, kekurangan fakta. Pengakuan seorang Morris Silalahi semata tidak kukuh untuk memberikan label tersangka pada bosnya RE Siahaan. Sayang (untung?) Tagor Batubara keburu permisi menghadap Sang Pencipta. Padahal, pengakuan dari dia sangat dibutuhkan untuk membidik ‘Presiden Siantar’ itu.

Katanya, polisi belum angkat tangan. Mereka tetap saja bekerja untuk memenuhi ‘selera’ publik atau siapa saja yang berkeinginan agar ‘sang sutradara’ drama CPNSGate masuk dalam kursi pesakitan atau demi memuasi rasa haus dan lapar akan tegaknya keadilan di Negeri Siantar ini.

Karena toh, polisi berharap pelimpahan berita acara perkara (BAP) atas nama tersangka Moris Silalahi ke jaksa boleh menjadi entry point penguakan keterlibatan sang sutradara, yang sesungguhnya sudah ada. Barangkali polisi butuh suara dan jari telunjuk lain, selain suara dan jari Morris Silalahi yang mengarah ke Jalan Merdeka di Balai Kota atau Markas Kekuasaan di Jalan MH Sitorus.

Itu makanya, jurus pamungkas bernama ijin pemeriksaan dari Presiden RI siap digelontorkan jika jaksa meminta. Polisi sudah gelar perkara di Mabes Polri pada 27 Agustus 2008. Saat itu dipimpin Kepala Biro Analis Bareskrim Mabes Polri di Jakarta.

Kesimpulan dari gelar perkara, Polres Simalungun diberi petunjuk untuk mengajukan berkas perkara ke kejaksaan dengan tersangka Kepala BKD Drs Morris Silalahi. Untuk selanjutnya, Polres Simalungun menunggu petunjuk dari kejaksaan.

Itupun, toh saja publik tersentak kaget dengan analisis yuridis polisi. Jika memang sudah memenuhi unsur, kenapa polisi tidak tulis saja tambahan gelar tersangka itu, untuk Tanjung Sijabat atau RE Siahaan misalnya. Ah, analisis yuridis bisa jadi adalah zat mati. Dia menjadi zat hidup jika sudah disuapi energi yang bisa jadi adalah fakta, bukti atau saksi yang punya nyali bernyanyi di pengadilan nanti.

Orang lalu bertanya, ada apa dengan polisi? Apakah menerapkan azas kehati-hatian? Apalagi yang mau ditahbiskan dengan gelar baru sebagai tersangka adalah pejabat nomor satu di Negeri Siantar? Maybe yes, maybe not!

Betul, gelar perkara yang disajikan polisi adalah gerak langkah maju. Patut diapresiasi dan layak disanjung, karena baru pertama kali terjadi. Bahkan menurut Kapolres Rudi Hartono, untuk jajaran Polres di Sumut, Polres Simalungun yang berani unjuk gigi dengan ciri transparansi ini.

Tetapi, tetap saja ada gumpalan tersembunyi yang patut diklarifikasi, semoga itu bukan alat justifikasi atas kemandekan polisi mengejar bukti. Katakanlah, dengan agenda gelar perkara, publik lalu oke dan sepakat saja kalau RE Siahaan tidak usah lagi jadi tersangka, cukup jadi saksi. Karena seperti kata polisi, dibutuhkan dua pengakuan, dan itu tidak akan didapat dari (maaf) orang yang sudah mati. Lalu berharap ada pengakuan RE Siahaan di pengadilan, apa iya mau mengaku sendiri? Apa iya dari para panitia lain yang merupakan anak buahnya?

Tapi yah, optimisme polisi yang berjanji akan terus mengejar fakta-fakta segar, selayaknya memang dibungkus dan diamini. Sikap kritis dari semua pihak, apakah pelapor, politisi, wartawan, warga atau siapa saja yang mau hukum ditegakkan di Negeri Siantar ini sejatinya menjadi energi polisi. Selamat mencari bukti-bukti demi tegakknya keadilan di kota ini. Ditunggu!

25 Oktober 2008

TNI dan Pemilu 2009

Oleh : Christofel Nalenan
(Manajer Riset Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

Pasal 318 Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD telah menegaskan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih pada Pemilu 2009. Dimasukkannya pasal ini telah mengakomodir keinginan dari masyarakat sipil dan juga para anggota TNI sendiri yang melalui survei yang dilakukan mabes TNI September tahun lalu menyatakan belum ingin menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Namun tidak memilihnya para anggota TNI pada Pemilu 2009 tidak berarti menjamin sepenuhnya bahwa TNI tidak akan terlibat atau dilibatkan dalam politik pada Pemilu 2009.


Sepak Terjang Purnawirawan

Kompas (4/8/2008) memberitakan bagaimana keterlibatan para purnawirawan TNI masuk ke dalam Partai Politik peserta Pemilu 2009, ada yang menjadi pendiri, ada juga yang direkrut masuk ke dalam kepengurusan. Posisi para purnawirawan tersebut semuanya pada pos-pos penting yang menentukan dalam tubuh partai, dan nama-nama mereka dapat ditemukan hampir secara merata di seluruh partai, baik itu di partai kecil atau partai besar, di partai yang baru mengikuti pemilu atau pun di partai lama. Fadli Zon salah seorang pemimpin partai dari kalangan sipil dengan jujur mengatakan mengapa di dalam partainya banyak terlibat para purnawirawan TNI, menurutnya selain karena lemahnya kaderisasi kepemimpinan di tubuh sipil, keterlibatan TNI juga dikarenakan para purnawirawan tersebut memiliki kekuatan jejaring dan pengalaman teritorial. Hal tersebut lah yang sebenarnya mengkhawatirkan, jejaring para purnawirawan yang rata-rata berpangkat Jenderal itu, sangat rentan dan bisa jadi melibatkan anggota TNI aktif yang berada pada struktur teritorial TNI. Pemanfaatan tersebut bukan hanya kepada orang tetapi juga pada fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh komando teritorial TNI, seperti kendaraan militer, gedung, lapangan dan sebagainya. Apalagi dalam militer Indonesia terdapat budaya bahwa Komandan selain dianggap pimpinan juga dianggap bapak oleh para anak buah. Menampik permintaan dari mantan komandan mungkin bisa dimaklumi tapi dari seorang bapak, dalam budaya timur, hal tersebut adalah sebuah dosa besar.


Keikutsertan para purnawirawan militer di negara-negara demokratis sebenarnya adalah sebuah hal yang wajar dan itu sama sekali tidak mengganggu sistem supremasi sipil, namun keterlibatan militer dalam politik di sejarah Indonesia terlalu dalam dan masif. Oleh karena itu kekhawatiran bahwa keterlibatan para purnawirawan TNI ke dalam politik dengan masuk menjadi anggota partai peserta pemilu 2009 akan menyeret kembali TNI pada politik sangat lah beralasan. Cara yang paling baik untuk mencegah terseretnya kembali TNI ke dalam politik adalah dengan pengawasan yang seksama oleh kelompok masyarakat sipil khususnya di daerah-daerah di mana bisa saja terjadi mobilisasi sumber daya Komando Teritorial untuk kepentingan pemilu. Selain itu hal yang paling pokok agar tidak terbentuk lagi kekhawatiran publik akan terseretnya TNI pada politik praktis adalah segera diselesaikannya agenda reformasi TNI yang jalan di tempat sejak disahkannya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.


Agenda Reformasi yang belum selesai

Hal yang agak mengherankan sekaligus menyedihkan menurut saya, ketika pasca disahkannya UU. No 34, reformasi TNI seakan-akan sudah selesai, padahal sebenarnya undang-undang yang sangat reformis tersebut dan juga bersama dengan UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah awal dari terjadinya reformasi TNI secara menyeluruh.


Masih sangat banyak agenda reformasi yang belum diselesaikan, dari segi regulasi masih ada sekitar 12 undang-undang lagi yang harus dibuat, antara lain undang-undang Peradilan Militer dan undang-undang Komponen Cadangan. Sementara soal bisnis militer, pemerintah bertindak sangat hati-hati dan tidak sungguh-sungguh, pemerintah saat ini membenahi bisnis militer sekadar agar tidak melanggar amanat pasal 76 UU No.34. Satu hal lagi yang paling mendasar dari agenda reformasi TNI sebenarnya adalah transformasi Postur Pertahanan Indonesia, khususnya mengenai struktur pertahanan, yaitu sistem komando teritorial.


Sistem komando teritorial memiliki cukup banyak kelemahan. Dari segi pertahanan, sistem komando teritorial adalah sistem pertahanan untuk mempertahankan daratan padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan wilayah lautan sebesar 62 % dari seluruh total wilayah, di mana separuhnya adalah zona ekonomi eksklusif. Selain itu pada masa damai, seperti saat ini, sistem pertahanan komando teritorial sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik terutama menjelang diadakannya pemilu.


Pemilu 2009 sebagai Pemilu terakhir

Pemilu 2009 harus menjadi pemilu terakhir di mana publik masih memperdebatkan tentang peran politik TNI, oleh karena itu antara tahun 2009 dan 2014 agenda reformasi TNI harus benar-benar dituntaskan. Harapan cukup besar untuk menyelesaikan agenda yang sangat penting tersebut diamanatkan kepada para anggota legislatif dan Presiden terpilih nantinya. Kelompok masyarakat sipil dari sekarang harus secara sungguh-sungguh memasukkan juga pada materi pendidikan pemilihnya mengenai persoalan reformasi TNI, agar masyarakat memilih para calon anggota legislatif dan Presiden yang konsern terhadap agenda tersebut. Pengalaman pada Pemilu 2004 para anggota legislatif dan Presiden yang terpilih bukan orang-orang yang cukup peduli dengan agenda tersebut.


Agenda reformasi TNI adalah agenda yang sangat penting, karena agenda itu sebenarnya juga sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. TNI yang profesional yang tidak berbisnis dan berpolitik akan bisa menjaga keamanan bangsa ini secara komprehensif, di antaranya mampu menjaga para nelayannya saat mencari ikan di wilayah Indonesia dan mengusir nelayan asing ketika beroperasi ilegal di lautan Indonesia. Dirgahayu TNI.



JPRR: Benahi Sistem Pendaftaran Pemilih

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menegaskan harus ada evaluasi yang mendasar terhadap sistem pendaftaran pemilih yang selama ini dilakukan pada pelaksanaan Pilkada. Sebab sistem pendaftaran berjenjang yang berlaku selama ini terbukti tidak efektif dan tidak efisien.

"Untuk itu, perlu evaluasi dan membenahi mekanisme pendaftaran pemilih Pilkada guna menghindari kacaunya proses pendaftaran pemilih Pilkada. Seharusnya wewenang pendaftaran pemilih diberikan kepada pihak KPUD atau dibentuk Panitia Pendaftaran Pemilih yang memiliki petugas hingga tingkat RT," ungkap Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow saat diskusi bertajuk "Evaluasi Pilkada 2007: Hasil Pemantauan JPPR" di Jakarta, Jumat (11/1).

Jeirry menilai sistem pendaftaran pemilih selama ini tidak berjalan dengan baik. Dinas Kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) yang seharusnya bertugas melakukan validasi data penduduk biasanya tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Seringkali, Daftar Pemilih Sementara (DPS) tidak disosialisasikan kepada warga dan kalaupun disosialisasikan waktunya sangat singkat (tiga hari).

Ia menyebutkan, dari 38 pilkada tersebut, setidaknya 87 persen persoalan pendaftaran pemilih yang paling mencolok, kemudian politik uang (64 persen) dan "black campaign" atau kampanye hitam yang menjelekkan saingan ada 73 persen.

Jeirry menambahkan, permasalahan lain adalah sejumlah kekurangan tersebut seperti pihak KPUD masih bersikap tidak transparan dalam proses pendaftaran calon kepala daerah dan masih lemah melakukan pendidikan pemilih di masyarakat.

Dalam kesempatan sama, Peneliti dari Pusat Pengkajian Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli mengingatkan, jangan sampai pemilihan umum secara langsung ditarik, meskipun masih ada kekurangan dan sejumlah kelemahan.

Menurut Lili, pilkada langsung memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama jika pasangan calon yang terpilih melaksanakan janji-janjinya seperti memberikan pendidikan dan pengobatan gratis.

Berbeda dengan JPPR, Lili melihat bahwa KPUD dan Panwas tidak independen dalam pilkada. Bahkan, ada sejumlah KPUD yang pandai membaca "arah angin kemenangan" dan biasanya KPUD akan lebih banyak memihak pada pasangan calon yang dikehendaki. Lili mengatakan, di kalangan elit atau para kandidat, tidak ada tradisi untuk bisa menerima kekalahan. Ketika tahu mereka akan kalah, maka mereka mencari dan melakukan apa pun berusaha untuk melakukan perubahan itu.

Untuk netralitas birokrasi, baik JPPR maupun Lili melihat bahwa birokrasi di tingkatan lokal seringkali terlibat dalam politik praktis pada pelaksanaan pilkada.
Sementara anggota Fraksi PDI Peruangan (FPDIP) DPR RI, Aria Bima berharap agar pelaksanaan Pilkada ke depan bisa diperbaiki termasuk memperbaiki aspek regulasinya, dan penyelenggaranya yaitu KPU/KPUD.

Aria Bima juga sependapat untuk mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang berat kepada para birokrasi yang tidak netral.

Sumber : www.jurnalnasional.com


21 Oktober 2008

Politik Panci

Oleh Tigor Munthe

Aku terpaksa meminjam kalimat ini : “Siapapun tahu panci kalau dipukul bunyinya kedomprengan. Tidak ada nada dasar yang cocok. Seorang pemimpin yang terlalu banyak bicara dan terlalu kuatir akan citra, tetapi ia tidak cakap menyelesaikan panci

Kalimat itu merupakan salah satu rangkaian tulisan Sukardi Rinakit dalam bukunya Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare). Jalinan kalimat itu mendadak sontak mengusik, manakala melongok kondisi yang terjadi di Kota Siantar.”

Pemilu 2004 terpilihlah 30 anggota DPRD Siantar dan Pilkada Siantar 2005 terlantiklah Walikota/Wakil Walikota pilihan rakyat. Lalu ada satu fakta politik, sejak dua institusi politik produk zaman reformasi itu hadir, bahwa kondisi Kota Siantar secara makro tidaklah mengalami pertumbuhan memadai dalam segala aspek.

Mau bukti? Menyangkut pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan jumlah penduduk berkisar kurang lebih 250 ribu jiwa ini, tidak tampak nyata.

Peningkatan dan perluasan infrastruktur salah sasar. Contohnya, pembukaan jalan tembus Sutomo-Pane atau pembukaan jalan lingkar luar ( Outer Ring Road ) yang menelan dana milyaran rupiah, secara ekonomi hanya menguntungkan segelintir pihak. Ironis, pembangunan fisik seperti jalan yang seharusnya di daerah pinggiran, ternyata belum tersentuh secara menyeluruh. Praktek tambal sulam masih terus berjalan di sejumlah ruas jalan pusaran inti kota .

Vulgar bisa disaksikan, bagaimana sesungguhnya pengelolaan sektor transportasi tidak tepat. Laju pertambahan jumlah kendaraan (angkutan kota , mopen) dan ijin trayek, tidak berbanding lurus dengan kualitas dan kapasitas jalan yang tersedia. Akibatnya, selain merugikan rakyat dengan sulitnya akses jalan, juga memunculkan persaingan tidak sehat di kalangan penggiat transportasi, baik sesama pengusaha angkutan, awak angkutan dengan pengusaha atau sesama awak angkutan yang mengebut mengejar setoran dan uang makan.

Ada lagi, industri kecil atau koperasi sebagai salah satu tulang punggung penggerak ekonomi rakyat ternyata stagnan. Banyak pengrajin tenun ulos di sentra-sentra industri rumah tangga masih tertindas secara modal sehingga sulit mengembangkan usaha. Dorongan pendirian koperasi di kalangan pengrajin ini, dalam rangka membantu pergerakan usaha pula tampak tidak ada.

Yang lebih miris adalah, para pedagang kecil atau PKL (Pedagang Kaki Lima) yang terkonsentrasi di pasar tradisional Pasar Horas dan Pasar Dwikora, selain berkutat dengan terbatasnya modal usaha juga masih terhempas secara politik dengan adanya kebijakan penggusuran tanpa solusi lokasi.

Lalu, dalam tataran manajemen pemerintahan tampak terjadi booming tenaga honorer. Sulit mendeteksi, honorer-honorer itu berfungsi efisien dan efektif mendukung roda pemerintahan. Kuat dugaan, mereka justru menjadi beban karena menggemukkan organ-organ kerja yang ada.

Pola rekrutmen pejabat masih berlaku pola like or dislike. Peran Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) dalam menentukan seseorang layak didudukkan dalam jabatan dinas, badan, bagian dst, bisa jadi tereliminasi oleh referensi subyektif seorang kepala daerah. Faktor kualitas dan kemampuan dibuat di urutan kesekian kali. Paling mutakhir adalah suksesi Direktur RSUD Dokter Djasamen Saragih, yang kemudian menuai kisruh.

Pelaksanaan prinsip Pemerintahan Yang Bersih dan Pemerintahan Yang Baik belum berlangsung sesuai rel. Karena eksekutif ternyata masih sangat mudah terjebak pada praktek korup dalam urusan anggaran. Ada juga rekrutmen Pegawai Negeri Sipil melalui pintu Seleksi CPNS masih dinodai curang yang kemudian berujung pada proses hukum. Banyak lagi.

Jujur, semua itu bisa berlaku karena memang elit kita, politisi di legislatif dan pemangku kekuasaan eksekutif sangat melekat menggunakan Politik Panci. Mengutip penggalan kata milik Sukardi Rinakit di atas, panci jika dipukul suaranya tidak jelas dan dompreng. Politisi kita di kota ini harus diakui barangkali masih sebatas analogi panci. Banyak bicara. Ribut janji ketika mencalonkan diri sebagai calon legislatif dan ketika mencalon sebagai kepala daerah.

Sayangnya apa yang ‘diributkanya’ ketika berhadapan dengan rakyat, ternyata memang semua tidak substansif, cenderung manipulatif yang tujuan dan targetnya guna meraup dukungan suara minimal untuk duduk sebagai punggawa legislatif dan eksekutif.

Lihatlah, bagaimana walikota dengan rencana menjual atau meruislag SMA Negeri 4 kepada investor, yang katanya bermuara pada pemajuan pendidikan serta penumbuhan sektor usaha di lokasi yang nantinya eks gedung dan lahan salah satu SMA favorite itu. Itukah salah satu janji ketika menebar visi misi Pilkada silam?

Gugatannya, apakah rencana menggadaikan SMA Negeri 4 kepada siapa saja, benar-benar menjamin upaya peningkatan pendapatan pedagang lemah atau kecil, jika kelak lokasi SMA Negeri 4 dijadikan sarana publik modern? Atau meningkatnya kualitas pendidikan akibat pertambahan jumlah gedung sekolah baru nantinya?

Tengoklah juga, aksi DPRD melengserkan Walikota/ Wakil Walikota dengan dalih pelanggaran hukum dan undang-undang. Jujur, apakah ini bagian dari program yang diributkan sejak awal di hadapan rakyat? Terlebih melihat wakil rakyat (parpol/pribadi) itu menggunakan segala potensi dan memaksakan ketentuan yang ada? Sungguhkah langkah politik itu memang merupakan pintu masuk mensejahterakan rakyat?

Tapi memang realitas politik yang terpampang, hanya panci kosong dan ketika dipukul suaranya kedomprengan. Ribut soal berbagai hal, tetapi tidak menyelesaikan soal apapun! Yang ada hanya ribut-ribut politik tidak menentu.

Bukan cuma itu, lihatlah ulah mereka, akibat perseteruan politik dua kubu, terhempas sudah komunikasi politik kelembagaan. Ya itu tadi, sama-sama ribut dengan pukulan panci masing-masing. Tidak lagi saling mendengar. Itu makanya fakta terakhir, sampai-sampai pembahasan Perubahan APBD atau jangan-jangan pembahasan APBD ke depan tidak terbayangkan akan dilakukan. Karena sudaah saling diam-diaman.

Betul, Politik Panci yang asal bunyi, dompreng, keras tapi tanpa harmoni nada serta tidak enak didengar, tidak memberi makna apapun terhadap kepentingan rakyat secara langsung. Tapi jangan silap, akibat dua kubu yang menerapkan politik model ini, bisa dipastikan ke depan rakyat tidak akan mau mendengar apalagi percaya mereka, karena ribut tak karu-karuan, tak ubahnya panci!

(Penulis adalah Jurnalis yang bekerja di CAS FM Siantar Simalungun)


16 Oktober 2008

Horor Pungli Honorer

Oleh Tigor Munthe

Bisa jadi Pemda, katakanlah Pemko Siantar dan Pemkab Simalungun saat ini merupakan zona horor untuk warga yang tidak berduit, dalam perebutan lahan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2008. Ada keseraman yang tampil terampil dalam pola pungutan-pungutan yang mendirikan bulu kuduk, sebab menebarkan tanduk-tanduk yang besar dan runcing.

Aroma hitam berbau busuk, bergeliat manakala sajian rekrutmen CPNS 2008 menggelontor memberi peluang kepada generasi bangsa ini untuk ikut berbakti melalui jubah coklat dan hijau tua. Aroma itu sesungguhnya adalah cerita basi yang sudah berkali terjadi. Pungutan liar adalah sosok horor yang selalu menghantui warga, apalagi angka-angka yang mengguyur tidaklah ringan dan mudah diraih.

Tahun masa orde baru, orang masuk PNS memang bayar utuh. Itu maka hanya anak dan keturunan berduit dan berada-lah yang mampu menjadi PNS. Kini, kala zaman menggaungkan ruang kompetisi dalam segala hal dan aksi, ternyata tidak sepenuhnya terjadi. Toh, di sela semangat dan roh kompetisi, tetap tersaji praktek-praktek pungli.

Santer, media massa di Siantar Simalungun menggali dan menelusuri di awal Oktober 2008, terkuak beberan fakta dan informasi, Pemko Siantar dan Pemkab Simalungun berlaku tak ubahnya petugas lapangan, menebar aksi pungli terhadap para tenaga honorer yang terbuai dan kepingin lewat untuk menuju serta menjadi CPNS 2008.

Tidak tanggung-tanggung, menurut estimasi salah satu koran lokal di Siantar Simalungun, Pemko dan Pemkab itu meraup laba alias “profit” hasil menarik uang dari ratusan tenaga honorer itu hingga mencapai Rp2 Milyar! Pemko setelah berkeringat kutip Rp405 Juta dan Pemkab setelah lembur mengutip, dapat Rp1,4 Milyar.

Hasil telusuran, dengar sana-dengar sini, setiap tenaga honorer dimintai uang Rp3,5-Rp5 Juta, untuk bisa namanya dikirim ke pemerintah atasan agar diikutkan dalam rekrutmen CPNS 2008. Dan lazimnya, ketika hal itu akan dipertanyakan kepada para pejabat yang berwenang, jawabnya mudah ditebak. Akan menolak mengiyakan dan menolak dituding melakukan kutipan. Mereka maunya, tahu sendiri tanpa perlu di tahu siapa-siapa.

Gejala memanfaatkan kepolosan para tenaga honorer, yang memang terus menggengam impian dan harapan kelak bisa sebagai PNS, sungguh dilakukan segelintir orang yang memang diyakini didukung sistem yang berada di sekitarnya. Rekrutmen CPNS setiap tahun tidak ubahnya lahan subur mendatangkan uang dalam limpahan wah, meraihnya tanpa harus berlelah di bawah guyuran hujan dan sengatan matahari.

Sialnya, perilaku itu datang dari para elit birokrasi yang bercokol dalam gelimang honor dan tunjangan berlebih. Sangat kontras dengan realitas para tenaga honorer yang rata-rata adalah anak atau keturunan keluarga yang tidak berkelas secara ekonomi, kalau tidak bisa disebut dari keluarga miskin. Meminjam bahasa Alinafiah Simbolon dari LSM Government Monitoring (GOMO), rata-rata tenaga honorer adalah dari kaum eknomi ngos-ngosan. Untuk bayar ongkos naik angkutan ke kantor barangkali, honornya juga tersedot habis, konon lagi membayar jutaan buat sogokan.

Uang Rp3,5 Juta bukanlah daun yang dikutip dari jalanan atau dari taman kota yang siapa saja bisa meraihnya. Uang “sekecil” itu, bisa saja diperas dari semua potensi yang ada : dipinjam dari tetangga atau rentenir dengan bunga mencekik, hasil jualan warisan atau membongkar tabungan orangtua yang sudah pensiun.

Misteri Honorer Siantar

Sekali lagi, rekrutmen CPNS 2008 bisa jadi adalah ladang empuk raih untung. Dicapai tanpa lelah keringat di bawah sengat matahari dan dirogoh tanpa menggigil di guyuran hujan deras. Cukup dengan buka tarif dan akses kekuasaan yang dibangun, semua bisa digapai. Jujur saja, praktek pungli dalam rekrutmen CPNS sejak awal sudah distarting praktek serupa kala rekrutmen tenaga honorer, terutama di Pemko Siantar.

Anggota DPRD Siantar Grace Christane via media massa lokal yang ada pernah sebut, untuk rekrutmen tenaga honorer Pemko juga sudah pasang angka. Dan itu dilakukan di kala pemerintah pusat sudah memberi sinyal pasti kepada seluruh daerah, bahwa sejak 2005 tidak ada lagi rekrutan tenaga honorer. Pemerintah tegaskan itu dengan PP Nomor 48 Tahun 2005.

Tapi dengan lihai dan cerdik, Pemko bisa saja pantang untuk hands-up, konon katanya untuk urusan merogoh duit dari jalur gelap. Pintu tenaga honorer tetap dibuka lebar-lebar, dan tentu tarif karcis untuk masuk juga dipasang. Modusnya , SK para tenaga honorer dibuat tanggal, bulan dan tahun mundur. Meski masa kerja rekrutan adalah 2006 ke atas. Benar tidaknya, memang harus dibuktikan kendati itu bisa dirasakan semua mata di daerah ini.

Lalu, berapa ril-nya honorer di Pemko Siantar? Ini juga dalam rangka menghitung angka yang masuk ke kantong pribadi elit kekuasaan dalam soal keruk-mengkeruk duit, selain angka yang sudah diungkap belakangan ini. Atau juga menghitung seberapa besar nilai kejahatan di jalur ini? Entahlah. Tapi betul, jangankan warga kota, anggota DPRD saja tidak tahu persisnya, karena memang penuh misteri, cuma Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemko Siantar saja yang tahu.

Jika yang mau diberangkatkan ke CPNS sejak 2005 ada sekitar 1260 orang dengan rincian pada 2005 ada 451 orang, pada 2006 sebanyak 429 orang, dan 2007 sebanyak 130 orang. Terus tahun 2008 ini deg-degan 126 orang dan 2009 menunggu giliran diantar ke gerbang CPNS sebanyak 124 orang.

Tapi tunggu dulu, itu yang katanya sudah masuk data base. Lalu yang belum masuk ke entah data base yang mana, masih menunggu di seputaran kursi-kursi mimpi yang bertebaran di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Banyak lagi, bahkan ratusan atau ribuan menurut sejumlah kalangan. Lho, itu mau dikemanakan lagi?

Apa yang berlaku di Pemko Siantar memang cukup menakjubkan. Terjadi praktek booming tenaga honorer yang konon alokasinya masih harus digugat mau dikemanakan. Tapi inti dari semua itu, selain harus pelongo dengan realita angka dan mau kemana, tapi juga patut diperangahkan, berapa duit lahir dari setiap SK yang muncul dari rahim ilegal itu? Ah, hendaknya ini juga dihitung ulang. Kerukannya ternyata bisa jadi lebih dahsyat! (Penulis adalah Jurnalis di Siantar Simalungun)






Pukul Wartawan, Ketua OKP Dipolisikan

Tigor : Kita Mengutuk Tindkana Kekerasan

SIMALUNGUN-METRO

Aniaya wartawan ketua salahsatu OKP (Organisasi Kepemudaan) di Kabupaten Simalungun dilaporkan ke Polres Simalungun, Rabu (15/10). Laporan tersebut terlampir dengan No Pol: LP/407/X/2008/Simal, 15 Oktober 2008 atas nama Jansendi Purba (24), wartawan METRO SIANTAR.

Peristiwa pemukulan tersebut terjadi Selasa (14/10), sekira pukul 11.30 WIB, di Jalan Asahan tepatnya di Mara Service, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun. Saat itu korban hendak melakukan konfirmasi seputar permasalahan DAK di SD Negeri 091368 Saribu Dolok.

Menurut keterangan korban, kronologis kejadian tersebut berawal ketika ia dan DS janjian bertemu di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Sesampainya di TKP, korban lalu duduk di sebelah saksi Gatta Jerry berhadapan dengan DS yang telah lebih dulu berada di tempat tersebut.

Begitu korban duduk, DS kemudian bertanya kepada Gatta Jerry tentang wartawan yang menulis berita permasalahan DAK di SDN 091368 Saribu Dolok, yang di dalamnya menyebutkan kalau DS adalah kepala tukang di sekolah tersebut. Lalu Gata menunjukkan ke arah korban.

Tapa diduga-duga, DS lalu berdiri dan langsung menampar pipi sebelah kanan korban. Beruntung Gatta Jerry langsung memegangi tangan DS, sehingga aksi brutal tersebut tidak sampai lebih jauh.

Setelah menampar korban, DS lalu berbicara dengan temannya dan kemudian pergi dari TKP dengan mengenderai mobil Taff GT warna merah.

Menurut Gatta Jerry, yang mengetahui persis kejadian tersebut, banyak karyawannya dan warga yang melihat persitiwa pemukulan itu.

Dijelaskannya, kejadian itu berawal dari pemberitaan di METRO SIANTAR mengenai bangunan SDN 091368 Saribu Dolok yang mendapat kucuruan DAK, yang dituding menyalahi aturan yang ditetapkan. Karena diberitakan, DS yang disebut oleh KCD Kecamatan Silimakuta, Sarman Purba, sebagai kepala tukang di sekolah tersebut, langsung emosi dan menampar wajah korban.

DS yang dikonfirmasi METRO, melalui telepon selulernya, membantah kalau dirinya menampar korban. DS juga mengatakan jika korban telah minta maaf kepadanya, sehingga dirinya berpikir masalah telah selesai.

Setelah menerima pengadua korban, pihak kepolisian Polres Simalungun melalui Kepala SPK, IPDA Manaek S Ritongga SH, langsung melakukan olah TKP.

Kapolres Simalungun, AKBP Rudi Hartono SH SIk ketika dikonfirmasi METRO, Rabu (15/10) malam, terkait laporan korban, mengaku akan mengecek laporan korban. "Jika ada dan terbukti bersalah, kita akan tindak tegas sesuai hukum yang berlaku. Siapun dia yang melakukan perbuatan pidana," tegas mantan Kasat I Dir Reskrim Poldasu ini.

Sementara itu, Tigor Munthe, anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independent) Kota Medan, mengutuk keras pemukulan yang dilakukan DS terhadap wartawan. Aji juga sangat mendukung tindakan korban yang melaporkan kasus tersebut ke kantor polisi. "Kami berharap polisi segera mengusut kasus pemukulan tersebut. Kami juga meminta oknum ketua OKP tersebut ditangkap dan diproses sesuai hokum yang berlaku," tegas Tigor.(Mag-06/mag-07)





15 Oktober 2008

Panwaslih Siantar Temukan 11 Dugaan Pelanggaran





Sejak kampanye Pilgubsu dimulai pada 30 Maret 2008 sampai 12 April 2008, Panwaslih (Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur Sumatera Utara) Pematangsiantar, menemukan 11 dugaan pelanggaran. Demikian dikatakan anggota Panwaslih Pematangsiantar divisi pelaporan, Syamsul Bahri Nasution didampingi Ketua Panwaslih Tigor Munthe di kantornya, Minggu (13/4).

Ke-11 dugaan pelanggaran itu, berdasarkan laporan masyarakat dan temuan instrumen Panwaslih Pematangsiantar sendiri. Dari 11 dugaan pelanggaran itu, ada beberapa pelanggaran masuk dalam kategori pelanggaran berat. Karena menggunakan fasilitas negara berupa mobil dinas PDAM Tirta Uli Pematangsiantar, mobil dinas DPRD Pematangsiantar dan keterlibatan oknum PNS dalam mendukung kegiatan kampanye salah satu pasangan calon.

Menurut Nasution, mobil dinas PDAM itu diketahui Panwaslih berdasarkan laporan pengaduan masyarakat. Di mana dalam pengaduannya, mobil dinas PDAM itu ditempeli dengan tanda gambar salah satu pasangan calon. Sedangkan mobil dinas dewan itu didapati berada di lokasi kampanye. Namun sayang, Nasution tidak mengizinkan nama-nama oknum yang menjadi pelaku penggunaan fasilitas negara itu, untuk dipublikasikan melalui media. Alasannya, dugaan pelanggaran itu masih menjadi temuan, dan belum diproses di tingkat pengkajian dan pleno.

Sedangkan keterlibatan PNS dalam mendukung kegiatan kampanye, diketahui Panwaslih berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemberitaan beberapa media massa yang dijadikan alas bukti dugaan pelanggaran. Oknum PNS itu, katanya turut serta dalam kampanye di Medan.

Saat ini, temuan itu masih diproses. Di mana, Panwaslih saat ini sedang melakukan pemanggilan saksi-saksi untuk dimintai keterangannya. Dikatakan, ada saksi palapor sedang melakukan pengumpulan data-data yang otentik terkait pengaduannya. Karenanya, Panwaslih pun memahami akan hal itu. Namun, meski demikian, Panwaslih berjanji akan mengumumkan hasil temuan itu, dalam waktu 4 hari ke depan.

Sementara itu Ketua Panwaslih Pematangsiantar Tigor Munthe mengimbau kepada seluruh tim pemenangan pasangan calon Gubsu dan calon Wagubsu agar mematuhi aturan selama masa tenang. Untuk itu, Tigor mengingatkan tim pemenangan agar membersihakan masing masing atribut (tanda gambar maupun alat peraga) calon yang mereka usung.

Bila pembersihan tanda gambar atau atribut cagubsu/cawagubsu tidak juga dibersihkan selama massa tenang, Panwaslih Pematangsiantar akan melakukan tindakan. Karena itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam proses tahapan Pilgubsu. Untuk menjaga hal itu terjadi, Panwaslih telah menyurati seluruh tim kampanye masing masing pasangan calon.

M Gunawan Purba | Global | Pematangsiantar

Sumber: Harian Global

Hampir Semua Kadis, Kabag, Camat, dan Lurah di Siantar Jadi TS RE Siahaan

Hampir Semua Kadis, Kabag, Camat, dan Lurah di Siantar Jadi TS RE Siahaan
Asisten II Pemko Ucapkan Slogan RE Siahaan Dalam Rapat Resmi

SIANTAR-SK: Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu mengatakan belum dibahasnya APBD 2008 akibat hampir semua kadis, kabag, camat, dan lurah di Pemko Siantar menjadi tim sukses (TS)-nya RE Siahaan yang maju menjadi salah satu cagubsu. Menurutnya pernyataan ini tidak asal-asalan, karena dia pernah jumpa salah satu kadis di Harianboho sedang melakukan sosialisasi cagubsu RE Siahaan.

Pernyataan Lingga ini terkait ucapan Asisten II Pemko Siantar M Akhir Harahap yang mengucapkan slogan salah satu cagubsu dalam sebuah pertemuan resmi di Ruang Data Pemko Siantar, Selasa (25/3). Ucapan M Akhir tersebut kontan mengundang protes berbagai kalangan karena ucapan tersebut jelas keberpihakan pada salah satu cagubsu padahal sebagai PNS, M Akhir seharusnya netral.

Waktu itu, M Akhir mewakili Walikota Siantar RE Siahaan menutup pertemuan kesepakatan damai tim kampanye masing-masing cagubsu yang diselenggarakan oleh desk Pilkada. Tepat di akhir sambutannya, M Akhir mengucapkan ‘PASS’ dilanjutkan dengan kalimat ”Assalamualaikum wr.wb”. Siapapun tahu, PASS merupakan slogan kampanye pasangan RE Siahaan-Suherdi.

Ucapan PASS tersebut sontak membuat kaget para peserta yang hadir saat itu seperti Ketua DPRD Siantar Lingga Napitupulu, Ketua Panwaslih Siantar Tigor Munthe, Ketua KPU Siantar Poltak Simaremare, tim kampanye pasangan cagubsu kota Pematangsiantar, serta dari pihak Polresta dan TNI.

Bahkan setelah rapat bubar suasana sempat sedikit tegang dan menjadi bahan pembicaraan sebagian peserta.

Ketua DPRD Lingga Napitupulu menilai M Akhir perlu minum jus jengkol karena dia menambah-nambahi ucapan yang tidak dimengerti orang. “Sikapnya bertolak belakang dengan hati nuraninya,” jelas Lingga.

Dia mengatakan sebenarnya di rumah M Akhir sangat banyak terpasang gambar salah satu cagubsu yakni Tri Ben.

“Karena dia tahu betul Tri Ben menjadi idolanya, mudah-mudahan dia tidak dipecat,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Panwasalih Tigor Munthe sangat menyayangkan pernyataan Asisten II tersebut. Menurutnya tindakan PNS atau pejabat pemerintah dengan menyebutkan kalimat slogan cagubsu, telah melanggar ketentuan dan berlebihan.
“Saya minta PNS jangan terlibat menjadi TS dan harus netral dalam Pilgubsu ini,” terangnya.

Menurut Tigor sesuai dengan surat edaran Menpan No: SE/08.A/M.PAN/5/2005 tanggal 2 Mei 2005 mengenai Netralisasi PNS dalam Pilkada, dalam pasal 2 ayat a – c disebutkan larangan PNS terlibat mendukung calon, menggunakan fasilitas yang berkaitan dengan jabatannya, dan membuat tindakan atau merugikan calon.

“Kita sayangkan PNS mencoba membuat statement seperti itu terindikasi mendukung salah satu calon,” ujarnya.

Secara terpisah M Akhir yang coba dikonfirmasi melalui Short Message Service (SMS) terkait ucapannya, sampai berita ini diterbitkan tidak ada jawaban. (jansen)



Surat Cuti RE Siahaan Sudah Keluar

Gubernur Sumatera Utara Drs Rudolf M Pardede, melalui SK nya nomor 800/1280.K/2008, memberi izin cuti kepada Ir RE Siahaan selaku Walikota Pematangsiantar yang akan melaksanakan kampanye Pilgubsu, sehubungan dengan pencalonannya sebagai cagubsu.

Demikian dikatakan Kabag Tapem (Tata Pemerintahan) Pemko Pematangsiantar Hendro Pasaribu Kamis (27/3) di ruang kerjanya kepada wartawan.

Cuti Ir RE Siahaan itu berlaku sejak 30 Maret 2008 sampai dengan 12 April 2008. Di mana dengan cuti itu, segala sesuatunya yang berhubungan dengan urusan Ir RE Siahaan telah diluar tanggungan negara. Penetapan surat cuti itu, ditetapkan Gubsu (Gubernur Sumatera Utara) pada 18 Maret yang lalu.

Menurut Hendro Pasaribu, sesuai dengan diktum yang tercantum di dalam SK cuti bagi Walikota Pematangsiantar yang diterima Pemko Pematangsiantar, menyebutkan, bila cuti kampanye bagi Ir RE Siahaan berakhir, maka jabatannya sebagai Walikota Pematangsiantar akan kembali dengan sendirinya secara otomatis. “SK ini tidak perlu dicabut, bila telah selesai cuti maka akan kembali lagi,” ujar Hendro Pasaribu sambil menunjukkan SK Gubsu tersebut. Dalam diktum itu disebutkan, setelah selesai menjalankan cuti, pejabat negara tersebut kembali menjalankan tugas.

Tentang pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, Hendro berpendapat, pemerintah atasan tidak akan menghunjuk pelaksana tugas Walikota Pematangsiantar. “Sebab, walikota bukan berhalangan tetap, namun hanya cuti sementara,” ucap Hendro Pasaribu. Untuk itu kata Hendro, untuk menjalankan roda pemerintahan di Pemko Pematangsiantar akan dilakukan oleh Wakil Walikota Pematangsiantar.

Tidak Gunakan Fasilitas Negara

Selama cuti di luar tanggungan negara, Ketua Panwaslih (Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur Sumatera Utara) Kota Pematangsiantar, Tigor Munthe mengingatkan Ir RE Siahaan sebagai salah satu Cagubsu, agar melepas segala fasilitas dan atribut negara yang ada pada dirinya selama sebagai Walikota Pematangsiantar.

Adapun fasilitas yang tidak dibenarkan dipakai Ir RE Siahaan berupa seluruh fasilitas negara yang diberikan kepadanya ketika menjadi Walikota Pematangsiantar. Di antaranya, Ir RE Siahaan dilarang menggunakan ajudan yang selama ini selalu mendampingi dirinya. Untuk itu, Tigor Munthe meminta ajudan Walikota selama ini, seperti Bayu Andre Tampubolon dan yang lainnya, agar tidak terlibat dalam proses kampanye cagubsu Ir RE Siahaan. Apalagi sampa ikut serta sebagai tim pemenangan ataupun tim sukses. Karena ajudan itu merupakan PNS yang sikapnya harus netral di dalam setiap proses pilkada. Sedangkan mengenai fasilitas rumah dinas, ketua Panwaslih Pematangsiantar tersebut mengatakan, rumah dinas Walikota masih bisa ditempati oleh Ir RE Siahaan. Namun, di rumah dinas itu, tidak diperbolehkan menjadi tempat mobilitas kampanye atau pun sejenisnya.

Bila aturan itu tidak diindahkan cagubsu maupun ajudan yang berasal dari PNS, maka Panwaslih Kota Pematangsiantar akan selalu siap memprosesnya, sesuai dengan surat edaran Menpan nomor SE/08.A/M. PAN/5/2005, tentang netralitas PNS dalam pilkada.

Untuk mengawasi itu semua, Tigor Munthe berharap peranan masyarakat Kota Pematangsiantar. Di mana laporan-laporan dari masyarakat itu agar dilengkapi dengan bukti bukti yang kuat dan dilaporkan secara resmi di Panwaslih. “Bila demikian akan kita tindaklanjuti,” ujar Tigor Munthe.

Sehubungan dengan cuti Ir RE Siahaan sebagai Walikota Pematangsiantar, Tigor Munthe mengatakan, kalau Panwaslih Kota Pematangsiantar dan Sumatera Utara belum menerima surat izin cuti Ir RE Siahaan. Sesuai dengan PP nomor 6 tahun 2005, setiap calon yang cuti, diwajibkan memberikan surat cutinya kepada KPUD dan Panwaslih.

M Gunawan Purba | Global | Pematangsiantar




Penempelan Tanda Gambar Dinilai Bentuk Kampanye

Wednesday, 19 March 2008 01:45 WIB
Pematangsiantar, WASPADA Online

Panwaslih Pematangsiantar menyebutkan pemasangan tanda gambar pasangan calon sudah merupakan salah satu
bentuk kampanye.

"Panwaslih Pematangsiantar secara khusus sudah mengusulkan agar redaksional kumulatif aturan kampanye sesuai. Keputusan KPUD Sumut dibuang," sebut Ketua Panwaslih P. Siantar Tigor Munthe di sela rapat kerja Panwaslih tingkat
kecamatan P. Siantar di Simalungun Room Siantar Hotel Senin (17/3).

Munthe menyebutkan sesuai Keputusan KPU Nomor 07 tahun 2008, pelanggaran kampanye terjadi bila tiga unsur kampanye dilakukan secara kumulatif (serentak dan bersamaan) yakni disampaikan pasangan calon, juru kampanye dan tim kampanye, penyampaian berbagai program, visi dan misi pasangan calon dan mengajak masyarakat memilih salah satu pasangan calon. "Tidak perlu secara serentak dan bersamaan, kalau satu unsur pun dilakukan dari tiga unsur kampanye itu, sudah merupakan pelanggaran kampanye."

Menurut Munthe, usul Panwaslih Pematangsiantar yang disampaikan saat rapat kerja Panwaslih Sumut dengan Panwaslih kabupaten/kota se-Sumut bersama KPUD Sumut serta DPRD Sumut baru-baru ini sudah diakomodir Panwaslih Sumut. "Namun, faktanya hingga saat ini di mana-mana tanda gambar pasangan Cagub/Cawagub masih
bertebar, padahal belum pelaksanaan kampanye." (a14) (ags)




Penempelan Tanda Gambar Dinilai Bentuk Kampanye

Wednesday, 19 March 2008 01:45 WIB
Pematangsiantar, WASPADA Online

Panwaslih Pematangsiantar menyebutkan pemasangan tanda gambar pasangan calon sudah merupakan salah satu bentuk kampanye.

"Panwaslih Pematangsiantar secara khusus sudah mengusulkan agar redaksional kumulatif aturan kampanye sesuai Keputusan KPUD Sumut dibuang," sebut Ketua Panwaslih P. Siantar Tigor Munthe di sela rapat kerja Panwaslih tingkat kecamatan P. Siantar di Simalungun Room Siantar Hotel Senin (17/3).

Munthe menyebutkan sesuai Keputusan KPU Nomor 07 tahun 2008, pelanggaran kampanye terjadi bila tiga unsur kampanye dilakukan secara kumulatif (serentak dan bersamaan) yakni disampaikan pasangan calon, juru kampanye dan tim kampanye, penyampaian berbagai program, visi dan misi pasangan calon dan mengajak masyarakat memilih salah satu pasangan calon. "Tidak perlu secara serentak dan bersamaan, kalau satu unsur pun dilakukan dari tiga unsur kampanye itu, sudah merupakan pelanggaran kampanye."

Menurut Munthe, usul Panwaslih Pematangsiantar yang disampaikan saat rapat kerja Panwaslih Sumut dengan Panwaslih kabupaten/kota se-Sumut bersama KPUD Sumut serta DPRD Sumut baru-baru ini sudah diakomodir Panwaslih Sumut. "Namun, faktanya hingga saat ini di mana-mana tanda gambar pasangan Cagub/Cawagub masih bertebar, padahal belum pelaksanaan kampanye." (a14) (ags)