24 Juli 2011

USI Selenggarakan Seminar & Public Hearing Pembangunan Siantar

Siantar (12/9): Universitas Simalungun (USI) Pematangsiantar yang merupakan perguruan tinggi terbesar di Kota Pematangsiantar akan memperingati ulang tahun (dies natalis) yang ke-45 pada tanggal 18 September 2010. Serangkaian kegiatan telah dan akan dilaksanakan untuk menyambut hari bersejarah tersebut.

Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, dies natalis tahun ini juga dirangkaikan dengan upacara wisuda lulusan USI tahun akademik 2009/2010. Upacara dies natalis diadakan pada hari Sabtu 18 September 2010 sementara wisuda pada hari Senin 20 September 2010. Untuk mempersiapkan segala keperluan penyambutan dan pelaksanaan kegiatan tersebut, telah dibentuk Panitia yang diketuai Drs. Hisarma Saragih,M.Hum., Pembantu Rektor I USI.

Menurut Ketua Panitia, berbagai kegiatan akan diselenggarakan menyambut perayaan dies natalis tahun ini sebagai wujud ekpresi USI yang semakin dewasa dan berpengalaman 45 tahun dalam pengelolaan perguruan tinggi. Dengan dukungan segenap sivitas akademika dan masyarakat pada umumnya, USI dapat melaksanakan tri dharma perguruan tinggi secara berimbang.

Sehingga dengan demikian USI tidak hanya melaksanakan kegiatan pengajaran, akan tetapi juga melaksanakan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Menurut Hisarma, bahwa antara USI Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun mempunyai hubungan istimewa. Tidak dapat disangkal bahwa USI berdiri tahun 1965 atas prakarsa Radjamin Poerba, SH, Bupati Simalungun saat itu dengan dukungan dari pemerintah dan berbagai komponen masyarakat kedua daerah. Jika diibaratkan USI adalah anak kandung, sehingga pantas berbakti kepada daerah ini.

Dalam kaitan ini USI akan melaksanakan Seminar dan Public Hearing Pembangunan Kota Pematangsiantar Jangka Menengah. Pada kesempatan itu ketua Panitia didampingi Ir. Jhonson A. Marbun, M.Si., sebagai koordinator pelaksanaan seminar. Jhonson Marbun menyatakan bahwa panitia sengaja memilih tema yang diambil dari motto Kota Pematangsiantar sendiri, Sapangambei Manoktok Hitei.

Menurutnya motto berarti jati diri, oleh sebab itu subjek utama membangun Kota Pematangsiantar adalah masyarakat dan pemerintah Kota Pematangsiantar sendiri. Sekaligus, sapangambei manoktok hitei adalah: sifat, ciri, kriteria dan metode yang harus diperhatikan dan diterapkan oleh subjek pembangunan Kota Pematangsiantar.

Ditambahkan, seminar dan public hearing yang akan dilaksanakan pada hari Kamis 16 September 2010, dimaksudkan untuk menghimpun, menganalisis dan merumuskan gagasan objektif pembangunan Kota Pematangsiantar dari berbagai aspek. Rumusan seminar, berupa gagasan dan aspirasi tentang pembangunan Kota Pematangsiantar jangka menengah, akan disampaikan kepada Walikota dan Ketua DPRD Pematangsiantar. Untuk itu, baik Jhonson Marbun dan Hisarma Saragih, sama-sama mengharapkan kehadiran dan partisipasi seluruh komponen masyarakat agar rumusan yang dihasilkan seminar ini lebih komprehensif.

Dalam seminar dan public hearing ini, direncanakan lima orang Narasumber yang akan menelaah tema sapangambei manoktok hitei dari berbagai aspek keahlian masing-masing. Kelima narasumber adalah Walikota Pematangsiantar, Ketua DPRD Kota Pematangsiantar, Prof. Dr. Marihot Simanullang (Dosen PPs USI – akademisi), Kristian Silitonga, S.H. (Dewan Pendidikan - Tokoh Masyarakat) dan Tigor Munthe (Aliansi Jurnalis Independen Siantar – Pemerhati).

Acara ini akan dipandu oleh Drs. Ulung Napitu, M.Si., Rektor Universitas Simalungun.

Ketua Panitia, Hisarma Saragih menambahkan dalam menyambut dies natalis tahun ini, USI telah melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Pada hari Jumat 27 Agustus 2010 dilaksanakan kegiatan kebersihan lingkungan sekitar Pasar Horas dengan mengerahkan 1.000 orang mahasiswa, dosen dan pegawai USI. Kegiatan ini didukung oleh aparat Pemerintah Kecamatan dan Kelurahan se Siantar Barat.

Pada hari yang sama, juga dilakukan penghijauan dengan menanam 1.000 pohon di wilayah Kelurahan Bah Kapul dan Bah Sorma. Untuk kegiatan ini dikerahkan 300 orang mahasiswa, Pegawai dan Dosen Fakultas Pertanian yang langsung dikoordinir Dekan, Ir. Rosmadelina Purba, M.P. Kegiatan ini juga mendapat dukungan aparat Pemerintah, khususnya dari aparat Kecamatan dan Kelurahan se Siantar Sitalasari, serta PDAM Tirta Uli.

Pada kesempatan ini, hadir dan melakukan penanaman simbolis: Rektor USI, Pembantu Rektor dan Ketua LPPM USI, beserta Sekretaris Kecamatan, para Lurah se kecamatan Siantar Sitalasari dan yang mewakili Dan Ramil Siantar Martoba. Untuk pemeliharaan pohon penghijauan tersebut, diminta kesediaan Dirut PDAM Tirta Uli untuk menyirami pohon setiap hari selama dua minggu berturut-turut.

Sebelumnya, Program Pascasarjana USI telah melaksanakan seminar nasional tentang pembangunan wilayah ditinjau dari berbagai aspek, sementara Fakultas Pertanian melaksanakan seminar kewirausahaan. Empat Fakultas lainnya telah merencanakan dan akan melaksanakan seminar dalam waktu dekat sesuai bidang kajian masing-masing. Semua itu dilaksanakan untuk memelihara tradisi ilmiah perguruan tinggi.

Panitia juga telah mengadakan kegiatan sosialisasi dan pelatihan penyusunan angka kredit untuk kenaikan jabatan fungsional dosen ke Lektor Kepala dan Guru Besar yang diikuti seluruh dosen. Kegiatan ini diadakan sehubungan dengan terjadinya berbagai perubahan peraturan dalam system. (formatnews.com)

AJI Medan Ajak Jurnalis Siantar Berserikat

PEMATANGSIANTAR - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Medan mengajak insan pers di Kota Pematangsiantar untuk berserikat. Pasalnya pekerjaan sebagai jurnalis memiliki resiko yang sangat tinggi.

Hal ini disampaikan oleh Ketua AJI Kota Medan, Rika Yoez pada acara seminar Jurnalis Berserikat, Sabtu (30/04/2011) sekitar Pukul 10.00 WIB. Seminar ini berlangsung di Parbina International Hotel, Jalan Ahmad Yani, Kota Pematangsiantar. Acara yang dihadiri oleh insan pers ini dilaksanakan AJI Persiapan Kota Pematangsiantar.

Dalam seminar Rika Yoez selaku pembicara menjelaskan secara detail mengenai profesionalisme wartawan serta realitas kehidupan insan pers. Selanjutnya Rika juga menjelaskan betapa pentingnya jurnalis untuk berserikat.

Tak sendirian, Rika Yoez juga ditemani oleh Direktur Radio CAS FM, Sulaiman Sinaga selaku pembicara. Dalam kesempatan ini, Sulaiman Sinaga yang juga menjabat sebagai anggota DPRD Simalungun memaparkan tentang perusahaan media, antara media dan bisnis.

Seminar ini pun mendapat apresiasi positif dari insan pers yang hadir dalam acara ini.

Seminar yang berakhir sekitar Pukul 12.00 WIB juga dihadiri oleh beberapa pengurus AJI Kota Medan. Diantaranya Sekretaris AJI Medan Jalaluddin Ibrahim, Agus Perdana, Tigor Munthe, serta Ketua Dewan Etik AJI Kota Medan Bambang Soed.(tribunmedan)

Pemkab Dinilai Coba Bungkam Wartawan, Beri Rp40 Ribu per Rilis Berita

KISARAN-Pemkab Asahan dinilai coba membungkam wartawan. Caranya yakni memberikan Rp40 ribu per rilis berita yang terbit. Kebijakan ini mendapat protes dari sejumlah elemen pekerja pers.

Hal ini bermula dari terbitnya SK Bupati Asahan bernomor: 160-HUMAS/2011 tentang kriteria pertanggungjawaban dan besar bantuan biaya kepada wartawan atas pemuatan rilis berita kegiatan pembangunan di Kabupaten Asahan. SK ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat edaran Humasy Setdakab Asahan bernomor 27/HUMAS/2011 tertanggal 2 Mei 2011 yang ditandatangani Kabaghumasy Pemkab Asahan Rahman Halim AP.

Dalam surat itu, Rahman Halim menegaskan, pemkab memberikan bantuan biaya sebesar Rp40 ribu untuk setiap berita yang terbit di media massa dengan mengacu kepada berbagai kriteria.
Adapun kriteria yang dimaksud di dalam surat itu antara lain, berita yang diterbitkan hanya bersumber dari rilis berita yang diterbitkan Bagian Humasy, melalui http://humas-asahan.blogspot.com/, dengan pemuatan selambat-lambatnya seminggu

Selain itu, media massa yang menerbitkan rilis wajib terdaftar di Bagian Humasy Pemkab Asahan. Wartawan yang menerima bantuan adalah wartawan yang namanya terdaftar di Bagian Humasy. Yakni inisialnya tertera pada berita, dengan sistem pencairan dana, menyerahkan fotokopi kliping berita sebanyak 2 eksemplar per tanggal 10 setiap bulannya.

Munculnya kembali kebijakan ‘membeli’ wartawan ini kontan menjadi kritikan oleh sejumlah kalangan. Gunawan misalnya. Wartawan surat kabar terbitan Medan ini mengaku kaget. Sebab pada akhir 2010 lalu, rapat antara Kabag Humasy Pemkab (masa itu dijabat Rahmad Hidayat Siregar) dan Sekretaris Inspektorat Sotarduga dengan seluruh wartawan perwakilan media massa di Asahan diputuskan, dana bantuan berita untuk wartawan ditiadakan.

“Saat itu dikatakan, dana bantuan wartawan yang dulu pernah dialokasikan di Bagian Humasy menjadi temuan BPK, karena melanggar Undang-Undang. Nah loh kenapa sekarang diakomodir lagi? Ada apa ini? Jangan-jangan ini upaya pembungkaman,” ujar Gunawan yang mengatakan, persoalan dana itu bisa berakibat negatif bagi pihak yang memberi dan menerimanya.

Senada dikatakan Tigor Munthe dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Tigor yang dihubungi kemarin, meminta Pemkab Asahan menghentikan pemberian bantuan dalam bentuk apa pun kepada wartawan, terlebih jika itu menggunakan dana APBD. Selain tidak memiliki payung hukum, kata Tigor, pemberian uang sebagai imbalan atas penerbitan berita dapat diartikan penyuapan terhadap wartawan oleh Pemkab Asahan.

“Kemungkinan besar, ini dilakukan untuk pembungkaman terhadap pers,” kata Tigor.
Wartawan dalam hal ini, sebut Tigor, bukanlah pengemis kepada penguasa. Sebab, hal tersebut sudah mengkhianati UU Pers No 40 Tahun 1999, dan kode etik wartawan yang menegaskan larangan terhadap wartawan untuk menerima bantuan materi atau apapun dari narasumber, termasuk pemerintah terkait pemberitaan.

“Wartawan harus menolak sogokan dalam bentuk apapun. Dan kita berharap upaya penyogokan terhadap wartawan dan institusi pers dihentikan,” tegas Tigor.

Terpisah, Jasa Manurung SSos, sekretaris Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Komisariat Asahan, Tanjung Balai, Batubara juga menyatakan protesnya terhadap upaya pembungkaman media oleh Pemkab Asahan dengan kedok memberikan ‘hadiah’ uang kepada wartawan atau organisasi kewartawanan.

“Andai kata benar ada dana hibah untuk organisasi profesi wartawan kita menolaknya, terlebih jika ada dana yang dialokasikan untuk IJTI. Kita menilai, ini adalah upaya pembungkaman terhadap kritik sosial yang kerap disuarakan insan pers terhadap kinerja pemerintah. Saya tegaskan sekali lagi, Pemkab tidak perlu dan jangan melakukan blunder dengan memberikan hibah uang kepada pekerja pers, termasuk organisasai, yang IJTI termasuk di dalamnya. Ini untuk mencegah dampak buruk di kemudian hari,” tegasnya.

Kabag Humasy: Itu Sifatnya Bantuan

Sementara itu, Kabaghumasy Pemkab Asahan Rahman Halim dalam sebuah perbincangan dengan wartawan beberapa waktu lalu, berdalih pengalokasian dana bantuan wartawan sebesar Rp40 ribu per rilis berita tersebut tidak menjadi masalah, karena sifatnya bantuan.

Bahkan, saat disinggung tentang rekomendasi BPK untuk meniadakan bantuan dana terhadap wartawan seperti yang tertera dalam audit BPK tahun 2009, dia mengaku, bantuan yang kali ini diberikan beda dengan yang dimaksud BPK. (metroasahan)

16 Juli 2011

Habis Koruptor, Terbitlah Gambler

oleh Tigor Munthe
Walikota Siantar Hulman Sitorus mengaku sebagai penjudi. Staf khsususnya, Eliakim Simanjuntak ketangkul main judi. Energi kedua oknum ini, walikota dan staf khususnya terkuras buat urusan judi. Jika walikota yang kadung bocor mengaku seorang penjudi tatkala dikonfirmasi sejumlah wartawan, buru-buru kemudian menggelar konfrensi pers melalui anak buahnya meluruskan penjudi yang dia maksudkan, maka staf khususnya sibuk mengurusi dan menjalani proses hukumnya di polisi yang juga tidak lama lagi masuk ke jaksa dan persidangan pengadilan.

Khalayak ramai pun takjub, bah yang kayak mananya Kota Siantar ini maka harus berseliweran di urusan judi dan penjudi. Kelakuan staf khusus walikota yang main judi kartu di kedai tuak bersama teman-temannya yang diantaranya salah seorang anggota DPRD Kota Siantar, selain memunculkan skeptisme soal kapasitasnya sebagai staf khusus, juga melahirkan keraguan besar soal moralitas staf khusus dimaksud dalam menjalankan tugas-tugasnya yang sudah dibayar dengan uang rakyat Kota Siantar.

Jangan-jangan praktek imoralitasnya sebagai pejabat publik juga menular kepada praktek-praktek kerja dalam mendukung kinerja walikota. Sebagai staf khusus, tentu dia banyak memberikan kontribusi pemikiran, ide dan gagasan kepada walikota dalam menjalankan kebijakan membangun Kota Siantar ini. Dan semua itu berlaku di atas track yang tidak normal. Karena ternyata dia dan bosnya yang walikota adalah penjudi. Kota Siantar dikelola dan dijalankan para penjudi alias gambler..!!!

Ah, tapi untunglah Kota Siantar masih dikelola penjudi. Masih lebih baik ketimbang dikelola koruptor. Kalau penjudi, paling yang dirugikan diri sendiri dan moralnya yang bejat. Tapi kalau koruptor, waduh perilaku ini masuk dalam kategori extraordinary crime alias kejahatan luar biasa. Kerusakan yang ditimbulkan koruptor teramat banyak. Sebut satu diantaranya ; uang rakyat yang sejatinya buat membangun ini itu, diembat sang koruptor dan antek-anteknya.

Di hadapan rakyat Kota Siantar, usutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini terkait dugaan korupsi hampir mencapai Rp9 milyar yang menyeret Walikota 2005-2010, RE Siahaan. Uang sebanyak itu habis kesana kemari katanya dinikmati elit kekuasaan, orang-orang di seputaran RE Siahaan dan juga sebagian anggota DPRD Kota Siantar. Ini terlihat dari hasil rekonstruksi yang digelar KPK dalam sepekan awal Juli 2011. Perilaku menikmati uang rakyat Kota Siantar itu, yang bukan haknya, boleh jadi masih lebih bejat dari pada perilaku penjudi, yang paling-paling menghabiskan gajinya atau uang dari APBD yang bisa dihitung tidak terlalu besar jumlahnya.

Sekali lagi, ketimbang Kota Siantar dikelola koruptor, masih mending dikelola penjudi. Terus, mau bilang apa lagi. Kalau mau diserukan Kota Siantar harus dikelola walikota yang bermoral, intelek, kapabel, kredibel, malah justru yang muncul adalah gambler, lalu kenapa mau ditokohi dengan voucher?

Rakyat Kota Siantar yang memilih, rakyat Kota Siantar pun harus rela menanggung resiko kotanya dikelola penjudi. Setidaknya, masih bersyukur karena periode dikelola koruptor sudah lewat dan saat ini masuk dalam tahap dikelola penjudi. Positif thinkingnya, periode mendatang Kota Siantar akan dikelola walikota yang bukan koruptor dan yang bukan gambler. Semoga bukan dikelola maling tengik atau maling ayam…he..he…. (###)

Kamis, 14 Juli 2011
Tigor Parsiajar dari Siantar...

Wartawan Juga Buruh

Oleh : Tigor Munthe
Hari buruh se dunia, kerap dinamai May Day, yang jatuh 1 Mei 2011 sudah terpapasi. Seluruh dunia memeringati momentum itu dengan beragam cara dan aksi. May Day lahir dari sikap heroik ratusan ribu pekerja atau buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886. Kala itu mereka menuntut pengurangan jam kerja dan sejumlah hak-hak buruh lainnya. Aksi itu secara massif juga terjadi di belahan dunia lainnya. Aksi dinilai berhasil menekan pemerintah di berbagai Negara. Lalu tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh se dunia, diperingati setiap tahunnya.

Dalam aksi May Day 1 Mei 2011, para buruh di Indonesia tidak mau tinggal diam. Sejumlah agenda mereka bawa dan usung buat disampaikan ke publik, sekaligus berharap disahuti para pengambil keputusan di negeri ini. Ada yang masih normative, ada pula yang terbilang baru, semisal tuntutan realisasi RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Yang menarik, dari etalase isu dan tuntutan yang dilesakkan para buruh, tercantol masih teriakan tuntutan upah dan kesejahteraan terhadap para jurnalis. Agenda ini amat kental diusung oleh organisasi pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam pernyataan sikap AJI Indonesia dan juga para pengurus AJI Kota yang tersebar di 29 kota di Indonesia, membeber ternyata urusan kesejahteraan jurnalis pun masih amat memperihatinkan.(baca www.ajiindonesia.org : Hari Buruh Sedunia 2011: Tolak Impunitas, Berikan Perlindungan dan Kesejahteraan Bagi Jurnalis).

AJI Indonesia menggarisbawahi, berdasarkan survey yang dilakukan di 16 kota, sejak Desember 2010-pertengahan Januari 2011, ternyata kesejahteraan jurnalis hingga saat ini amat rendah. Hal ini tidak lain karena pengusaha belum sepenuhnya sadar sesadar-sadarnya memberikan kesejahteraan terhadap pekerja pers.

Fakta yang ditemukan, banyak perusahaan media yang memberikan upah di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), bahkan amat banyak perusahaan media yang tidak memberikan upah kepada pekerja persnya. Hebatnya, banyak pula perusahaan media yang menjadikan wartawan/jurnalis layaknya loper alias tukang antar koran dan juga pencari oplah koran. Tidak sedikit yang menjadikan wartawan/jurnalisnya sebagai pencari iklan, dengan share fee yang lagi-lagi amat tidak adil pula itu.

Di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, jumlah wartawan/jurnalis yang diperkirakan mencapai puluhan bahkan (mungkin) mencapai seratusan, bisa dihitung berapa yang menerima upah, baik yang di bawah UMK maupun yang sudah menerima bahkan di atas UMK. Barangkali juga bisa dihitung berapa yang memang sama sekali tidak menerima upah, meski yang bersangkutan melakukan kerja-kerja jurnalistik sebagaimana disebut dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 pasal 1 ayat 4 : “wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik.”

Sayangnya, para wartawan ini yang senasib dengan ratusan bahkan ribuan wartawan lainnya di Indonesia mengalami nasib serupa : upah dan kesejahteraan mereka tidak pernah diperhatikan bahkan diberikan para pengusaha media tempat mereka bekerja.

Persoalan pengusaha media tidak memberikan upah dan kesejahteraan, sepertinya semua orang faham. Entah kenapa didiamkan begitu saja, termasuk para pekerja media itu sendiri. Melihat hasil survey AJI Indonesia, bahwa mayoritas jurnalis/wartawan menerima upah tidak layak bahkan sama sekali ada yang tidak digaji/diupah, maka menurut hemat penulis persoalan ada pada para pekerja itu sendiri. Kenapa diam dan kenapa tidak dituntut kepada pengusaha media tempatnya bekerja, layaknya para pekerja lainnya yang kerap berteriak menuntut hak-hak normatifnya?

Sesungguhnya, ada sebuah dilema atau konflik internal di kalangan pekerja pers/ media itu sendiri soal status yang dia sandang : wartawan atau jurnalis. Masih banyak wartawan/jurnalis yang mengaku bahwa mereka bukanlah buruh atau pekerja. Itu sebabnya barangkali mereka enggan untuk ikut beteriak menuntut hak-hak normatifnya.

Menarik mendengar orasi seorang teman jurnalis dari Harian Jurnal Medan, M Gunawan Purba ketika berbaur melakukan aksi bersama ratusan mahasiswa dan jurnalis di depan DPRD Pematangsiantar, Senin (2/5). “Saya heran, masih saja ada kawan-kawan jurnalis yang mengatakan kepada saya bahwa mereka bukanlah buruh. Itu sebabnya mereka enggan ikut berdemo dalam aksi May Day ini!” teriaknya mengawali orasi ketika itu.

Yah, barangkali itulah salah satu penyebab mengapa urusan upah atau kesejahteraan jurnalis/wartawan tidak tuntas-tuntas. Bisa jadi banyak juga wartawan memosisikan diri sebagai kelas ‘atas’ di atas buruh. Sehingga merasa tidak perlu berteriak menuntut upah atau hak-hak normative sebagaimana para buruh yang sering mereka liput ketika berdemo.

Tapi benarkah jurnalis atau wartawan bukan buruh? UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 2 menyebut : “tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Lalu ayat 3 : “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Merujuk pasal 1 ayat 2 dan 3 dalam undang-undang itu, wartawan atau jurnalis bisa dikategorikan sebagai orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan jasa, yakni berupa karya jurnalistik yang memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mendasar bagi masyarakat yakni informasi. Artinya, wartawan atau jurnalis adalah buruh/pekerja.

Selanjutnya, sudah tentu atas hasil pekerjaan itu, wartawan atau jurnalis patut mendapat upah atau imbalan yang sumbernya dari pihak yang memberikan pekerjaan. Pasal 1 ayat 30 dan 31 menegaskan upah dan kesejahteraan adalah hak buruh/ pekerja.

Tentu yang memberikan adalah pengusaha tempatnya bekerja. Ini juga diatur dan ditegaskan dalam ayat 4 dan 5, udang-undang yang sama. Disebutkan bahwa yang memberikan upah dan kesejahteraan itu adalah pengusaha!

Secara tegas pula, UU Pers Nomor 40 tahun 1999 pasal 10 : “perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”

Pasal ini amat mudah difahami, bahwa perusahaan media harus memberikan kesejahteraan kepada wartawan. Bicara kesejahteraan, tentu bukan cuma upah tetapi hak-hak lainnya seperti asuransi, tunjangan dan lain sebagainya. Sekali lagi yang memberikan kesejahteraan adalah perusahaan, bukan siapa-siapa!

Balik-balik ke stressing focus, sesungguhnya wartawan atau jurnalis masuk dalam kategori buruh atau pekerja yang memang harus diberikan kesejahteraannya oleh pengusaha dan perusahaan media di tempat dia bekerja. Yang bilang itu adalah undang-undang. Cukup jelas hal itu disampaikan secara inklusif.

Penulis teringat ujar Alvin Husein Nasution, Pimpinan Redaksi (Pimred) Metro Siantar Group. Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan Pimred termuda, anak Siantar Man itu di lokasi Taman Bunga atau Lapangan Merdeka depan Siantar Hotel, di pertengahan April 2011 : “Metro Siantar Group sudah memberikan upah layak kepada para pekerjanya termasuk wartawan. Bahkan, perusahaan sudah pernah membagikan hasil keuntungan perusahaan kepada wartawan.”

Ujar Alvin itu barangkali sebuah penegasan jika perusahaan mereka sudah melaksanakan UU Pers terutama pasal 10 tadi. Penulis percaya, Alvin tengah pula menegaskan bahwa jurnalis juga buruh atau pekerja yang memang hak-haknya harus dipenuhi perusahaan tempatnya bekerja. Sekali lagi, perusahaan tempatnya bekerja, bukan bupati dan walikota!

Lalu jika ada orang yang mengaku sebagai wartawan atau jurnalis, tetapi sampai sekarang tidak juga menerima upah atau kesejahteraan dari perusahaan media mereka, meski mereka cukup produktif dalam karya jurnalistiknya? Apakah mereka tetap dikategorikan sebagai buruh? Barangkali ya, buruh yang tidak mau meminta gaji dan buruh yang diam-diam saja di tengah rimba intelektualitas jurnalistiknya.

Ah, apa susahnya mengaku dan tidak usah malu-malu : jurnalis juga buruh..!

(Tigor Munthe-Parsiajar Sian Siantar)

Superstar Lokal, Dari Rap Pariaman sampai Pop Using

TEMBANG Lauk (ikan) mengalun keras dari sebuah radio yang diputar penjual ikan di Pasar Simpang Haru, Padang, Sumatera Barat. Lagu Minang penuh humor yang didendangkan penyanyi Budi Setiawan atau populer dengan nama Buset itu terdengar pas sekali dengan suasana pasar ikan tersebut di suatu pagi pada Maret lalu. Lauk bercerita tentang keseharian tukang ikan yang melayani bermacam pembeli serta impiannya memiliki pesawat terbang.

Lagu-lagu Budi memang tengah digandrungi. Lirik lagu-lagunya penuh humor dengan bumbu musik rap serta istilah-istilah gaul anak muda Pariaman, Sumatera Barat. Albumnya, berjudul Radio Si Buset, meledak di pasar. Di tengah menggilanya pembajakan, CD album itu terjual lebih dari 30 ribu keping. Ini rekor cukup fantastis buat penyanyi Minang pendatang baru, yang biasanya paling banter hanya terjual 15 ribu keping.

Budi langsung mencuri hati khalayak karena lagu-lagunya tampil beda dengan tembang Minang terbaru lainnya, yang umumnya bernada maratok (beriba hati) atawa mellow (melankolis). Selain itu, tema lagu-lagu biduan berusia 28 tahun ini dilantunkan dengan gaya rap penuh lawakan. Misalnya lagu Bato Prend (kenapa seperti itu teman). Tembang itu bertema kritik terhadap anak muda sekarang yang suka mengkonsumsi narkoba, bercelana melorot, mabuk-mabukan, dan mengganggu cewek di pasar. Dengan gaya lawakan, Budi menakut-nakuti mereka akan azab di dalam kubur berupa siksaan nan mengerikan.

Di mata para penggemarnya, Budi adalah penyanyi multitalenta. "Dia masih muda, tapi superkreatif. Mencipta lagu sendiri, membuat klip video sendiri," kata Marwan. "Ia juga pemerhati sosial. Hal-hal yang disentil dalam lagu-lagunya ada benarnya. Kalau diibaratkan, Buset itu seperti Ahmad Dhani-nya Sumatera Barat," guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Pariaman itu menambahkan.

Budi memang fenomenal. Ia bukan penyanyi yang lahir dari panggung atau festival. Ia hanya anak muda biasa yang punya hobi nongkrong dan bernyanyi dengan gitar bersama teman-temannya di depan rumah orang tuanya di Kampung Pondok, Kota Pariaman. "Kalau sudah pegang gitar, apa saja yang tampak di jalan saya jadikan lagu. Bahasanya pakai istilah-istilah anak muda yang dekat dengan saya," katanya.

Sekitar empat tahun lalu, perkenalan Budi dengan Remon Kuantan, musisi lokal di Pariaman, membawanya ke dapur rekaman Planet Record. Hingga kini Budi telah meluncurkan lima album, dan rata-rata laku di pasar. Lagu-lagunya, terutama Radio Si Buset dan Bato Prend, diputar di radio-radio dan menjadi buah bibir. Budi juga kebanjiran undangan pentas di mana-mana. Tak hanya di Sumatera Barat, tapi juga ke luar daerah, hingga Papua, bahkan ke Malaysia.

Sebagai penyanyi yang kariernya tengah berkilau, Budi mendapat penghasilan lumayan dari album-albumnya. Hanya, ia enggan menyebut angka persisnya. "Kalau albumnya meledak, saya diberi bonus, seperti sepeda motor dan uang. Cukuplah untuk menghidupi keluarga," ujarnya.

Pundi-pundinya juga bertambah dari pelbagai tawaran pentas yang datang saban pekan, mulai menjadi pengisi acara tetap di Plaza Ramayana, Bukittinggi, pesta pernikahan, hingga sunatan. Lalu, jika diundang ke luar daerah, Budi mematok tarif minimal Rp 10 juta, ditambah tiket pesawat dan akomodasi, yang ditanggung pengundang. Ia bebas menerima undangan pentas karena kontraknya dengan produser sebatas album.

Meski telah menjelma sebagai superstar baru di ranah Minang, Budi masih seperti orang biasa. Sampai saat ini, Budi tinggal di rumah kontrakan di Bukittinggi bersama istri dan seorang anaknya. Ia sedang mempersiapkan membangun rumah di Lubuk Alung, Padang Pariaman. "Jadi penyanyi ini rezeki harimau, kadang laku kadang enggak," ujarnya.

l l l
Lain Minang, lain Banyuwangi. Banyuwangi, Jawa Timur, juga memunculkan superstar lokal. Salah satunya Adistya Mayasari. Namanya meroket lewat album Kangen, yang dirilis pada 2006. Album kolaborasi Adis dengan Rogojampi Orkestra Lare Asli Banyuwangi itu terjual lebih dari 100 ribu keping. Sejak itu, biduanita 26 tahun ini kebanjiran tawaran pentas di sejumlah tempat. "Dalam satu bulan, jadwal selalu penuh," katanya.

Sedari kecil, perempuan berkulit kuning langsat ini memang gemar menyanyi. Ia mulai masuk dapur rekaman pada akhir 2001. Saat itu, Adis, yang masih duduk di kelas I sekolah menengah atas, mengikuti lomba menyanyi lagu daerah tingkat kabupaten dan menyabet juara II. Ternyata event itu dihadiri sejumlah produser lokal.

Setelah acara itu, produser Aneka Safari Record meminangnya mengisi album bertajuk Angger-angger. Setahun berikutnya, Adis diajak berkolaborasi dengan grup Patrol Orkestra Banyuwangi, kelompok musik yang memadukan musik tradisional patrol dengan elektrik. Melalui nomor hit berjudul Semebyar, nama Adis mulai dikenal dan meramaikan jagat musik Banyuwangi.

Selain penyanyi, Adis adalah pencipta lagu, terutama tembang berbahasa Using (bahasa khas Banyuwangi). Hingga kini, Adis memiliki enam album, yang hampir semuanya laris. Lima puluhan lagu ciptaannya juga laku di pasar. Soal honor, ia tak mau blak-blakan. Adis hanya menyebut, honor rekaman awalnya sekitar Rp 800 ribu, kemudian bergerak di atas Rp 1,5 juta per lagu. "Dari honor nyanyi, alhamdulillah, bisa beli beberapa meter tanah," katanya, malu-malu.

Akan halnya di tanah Batak ada superstar bernama Tongam Sirait. Albumnya, Beta Hita, sangat populer di wilayah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Album itu terjual sekitar 45 ribu kopi. Kini ia acap kali mendapat tawaran pentas. "Lagu-lagu Tongam disukai karena tidak cengeng. Ada spirit dalam lirik lagu-lagunya. Ia mengajak kita membangun kampung halaman," ujar Tigor Munthe, General Manager Radio Pelita Batak FM, di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang memutar lagu-lagu Batak.

Dari bumi Parahyangan lahir pula superstar lokal Nining Meida. Penyanyi Sunda ini berkibar sejak merilis album berjudul Kalangkang pada 1986. Nining, yang mulai masuk dapur rekaman pada usia 13 tahun, telah menghasilkan puluhan album. Ia memang sangat produktif. Dalam setahun, ibu tiga anak ini bisa empat kali melakukan rekaman album baru. Coraknya pop Sunda, dangdut, kliningan, degung, dan jaipongan. Ia memiliki rumah dan mobil, yang mengantarnya menyanyi di berbagai tempat. Kini biduanita yang awet muda itu juga menjalankan bisnis bingkisan serta hiburan lewat bendera Nining Meida Entertainment dan Promina Record di Bandung.

Selain Nining, tanah Sunda memiliki superstar yang sangat fenomenal: Darso. Penyanyi bernama lengkap Hendarso ini menjadi legenda hidup di wilayah Jawa Barat. Gaya dan penampilannya di atas pentas, yang mirip mendiang raja pop Michael Jackson, sangat memikat para penonton. Lagu-lagunya, baik dalam versi calung maupun pop Sunda, tetap digemari masyarakat sampai saat ini, terutama kalangan bawah. Lagunya yang sangat populer dan legendaris antara lain Kembang Tanjung, Panganten Anyar, Mawar Bodas, Tanjung Baru, Mega Bodas, Cucu Deui, Dadali Manting, Tanjakan Burangrang, Sarboah, Amparan Sajadah, Kabogoh Jauh, dan Cang Cing Cong.

Di dunia musik lokal, kiprah Darso terentang lebih dari empat dekade, dari 1960-an hingga sekarang. Di Bandung, dia seangkatan dengan musisi rock Deddy Stanzah dan Gito Rollies. Pria 66 tahun itu memulai karier pada 1962. Ia bergabung dengan grup Nada Karya. Setelah itu, ia masuk band Baskara dan menyanyikan lagu-lagu pop Sunda untuk mengisi RRI Bandung. Pada 1970-an, Darso ikut kelompok calung kakaknya, Uko Hendarto, sebelum akhirnya membentuk grup sendiri: Calung Darso.

Darso sangat produktif merilis album. Hingga kini sudah ratusan album ia hasilkan, dan sebagian besar mengalami booming. "Darso membawakan lagunya dengan jiwa dan sederhana," kata Miftahul Malik. "Warna vokalnya terdengar seperti suara orang pedesaan, dan lagunya mudah dicerna," ujar dosen Universitas Islam Nusantara, Bandung, yang menikmati lagu-lagu Darso sejak usia 5 tahun itu.

Dari bonus yang diberikan produsernya, Darso mempunyai rumah tipe 45 di Kampung Cirateun, Wangunsari, Lembang, Bandung Barat. Ia juga memiliki mobil Karimun kuning cerah. Bersama anaknya, Asep Darso, kini ia giat melatih anak-anak dan remaja bermain musik Sunda, khususnya calung.

Sebagai superstar lokal, Darso mematok tarif pentas bagi yang mengundangnya. Untuk pengundang kalangan menengah-atas atau perusahaan dan bank, ia memasang tarif Rp 5 juta jika tampil sendiri dan Rp 15-20 juta bila bersama kelompok musiknya. Tapi ia rela menyanyi gratis bagi warga miskin. "Saya mah cukup didoakan, enjoy saja," katanya. (tempo online 9 Mdi 2011)

Febrianti (Padang), Ika Ningtyas (Banyuwangi), Anwar Siswadi (Bandung), Soetana Monang Hasibuan (Medan)

Kadis Pasar Siantar Tuding Wartawan Teroris

Kisah tragis kembali menerpa jurnalis (wartawan). Kali ini, hanya karena gagal melakukan kerja sama antara Bank Mandiri dengan sejumlah pedagang, Plt Kadis Pasar Pematangsiantar, Serta Ulina Girsang menuding wartawan sebagai teroris.

“Aku sedih membaca berita hari ini. Kenapa masih saja ada pejabat yang ngomong sembarangan. Su­dah selayaknya pejabat seperti itu ‘dihabisi’ kariernya dari kota ini. Ka­mi (para wartawan) sedih ditu­ding sebagai teroris. Kalau ada war­ta­wan yang melakukan teror, seha­rusnya dilapor ke polisi,” ujar Fa­sili­tator AJI (Aliansi Jurnalis In­de­penden) Pematangsiantar Tigor Munthe, Rabu (11/5).

Menurut Tigor, tudingan itu dilontarkan Serta Ulina Girsang saat rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPRD Kota Pe­ma­tangsiantar, Selasa (10/5).

Jika saja ada oknum wartawan yang melakukan teror terhadap Bank Mandiri, seharusnya Plt Kadis Pasar menyebut siapa oknum wartawan itu. Sebab, wartawan di Pematang­sian­tar juga tidak setuju dengan wartawan yang memiliki perilaku menyimpang dari koridor hukum. “Dia jangan hanya me­ngum­bar tudingan tanpa membuktikannya. Sebutkan siapa ok­num wartawan itu, jika memang ada melakukan teror,” tandasnya.

Kepada Serta Ulina Girsang, Tigor meminta segera mengklarifikasi ucapan yang dilontarkannya pada rapat dengar pendapat dewan, dua hari lalu. Bila benar, Serta Ulina Girsang juga diminta untuk menyampaikan permintaan maaf di media secara terbuka.

“Walikota diminta segera men­copot jabatan Plt Kadis Pasar dari Serta Ulina Girsang,” tandas Tigor Munthe. Plt Kadis Pasar Pe­matang­siantar, Serta Ulina Girsang ke­tika dikonfirmasi mengakui, ka­lau dirinya ada menyebutkan war­ta­­wan melakukan teror terhadap Bank Mandiri. Itu ia sampaikan terkait terputusnya kerja sama a­ntara pedagang dengan Bank Man­diri.

Serta Ulina Girsang menuding wartawan melakukan teror, karena mendapat informasi dari pihak Bank Mandiri. “Pihak Bank Mandiri yang mengatakan itu kepada saya,” sebut Serta Ulina Girsang melalui hubungan telepon seluler.

M Gunawan Purba | Pematangsiantar | Jurnal Medan