21 Desember 2009

SEPUTAR OKNUM POLISI RAMPAS KAMERA WARTAWAN

Selasa, 08 Desember 2009

AJI Medan Minta Kapolres Lakukan Penindakan

TARUTUNG-METRO; Terkait aksi perampasan kamera seorang wartawan salah satu harian lokal di Tapanuli Utara (Taput), yang dilakukan oleh seorang oknum polisi anggota Polres Taput bermarga Simanjuntak, Kapolres Taput, AKBP J Didiek DP SH menegaskan akan mengusut kebenaran peristiwa tersebut dan akan menindak tegas anggota polisi tersebut.

Hal itu diutarakan Didiek saat ditemui sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Senin (7/12). "Hal ini bertujuan untuk membuat titik jerah kepada oknum polisi itu dan agar tidak terulang kembali kepada wartawan lainnya. Mudah-mudahan hal ini tidak terulang kembali," kata Didiek sembari menyampaikan permohonan maaf kepada Ckosmas Tambunan, wartawan yang menjadi korban dari ulah oknum polisi tersebut.
Sementara anggota Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Medan, Tigor Munthe mengungkapkan, jika benar pernyataan oknum polisi tersebut melakukan perampasan kamera dan bahkan dengan mengeluarkan kata; "Kau baru wartawan daerah Tapanuli Utara, sedangkan wartawan Medanpun sudah sering saya tumbuki. Jadi mulai sekarang kau harus belajar tata keramah atau belajar permisi kepada saya kepada Ckosmas.

Maka sudah sepatutnya, oknum polisi tersebut dilaporkan oleh rekan wartawan tersebut ke atasannya bahkan dilaporkan secara resmi ke Polres Tapanuli Utara, karena selain sudah menghina dan mengancam pekerja pers, dia juga sangat melanggar UU Pers yang memberikan kebebasan kepada pekerja pers untuk melakukan tugasnya.

"Kita juga perlu tahu, kebenaran sang polisi pernah menumbuki (memukuli) wartawan Medan atau wartawan yang dia sebutkan tersebut, apakah memang semudah itu dan oknum polisi tersebut tidak mendapat ganjaran atau hukuman apapun.

Ini juga patut diperhatikan oleh Kapolres Tapanuli Utara, agar segera menyikapi perilaku bawahannya yang sudah tidak lagi memiliki etika dan sikap yang benar dalam menjalankan tugas sebagai pengayom masyarakat apalgi di tengah institusi polisi saat ini tengah dalam sorotan tajam oleh publik nasional.

"Sebagai sesama pekerja pers, kita sangat terpukul dengan cara arogan dan penuh intimidasi yang dilakukan oknum polisi di atas, dan kita berharap teman-teman pers di Tapanuli Utara agar menangkap kejadian rekan tersebut untuk kemudian diarahkan agar membuat sikap tegas dan jelas untuk membawa persoalan itu ke ranah hukum," pungkasnya.

Aksi perampasan kamera yang dilakukan oknum polisi tersebut terjadi pada Minggu (6/12) pukul 01.00 Wib dini hari. Saat itu Ckosmas Tambunan kebetulan meliput suatu kejadian pertengkaran antara sopir mobil angkutan jurusan Medan Tarutung dengan sopir tangki pertamina. Dan tiba-tiba kameranya dirampas oknum polisi. Diduga oknum polisi tersebut tidak terima diambil fotonya saat kejadian tersebut. (cos)


25 April 2009

Kabag Humas Pemko Siantar Hambat Tugas Wartawan

Medan Bisnis-Siantar


Acara syukuran Kadis Pendidikan dan Pengajaran Kota Siantar, Drs Sulung Sialagan, di Wisma Tama Jalan Sisingamangaraja Pematang Siantar, pekan lalu, ternyata berbuntut panjang. Kali ini bukan sebatas seputar rumor kampanye terselubung dalam acara tersebut, melainkan keberatan pihak Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persiapan kota itu yang menilai kabag humas pemko setempat, Julham Situmorang, menghambat tugas wartawan yang hendak melakukan peliputan.

Tak tanggung, Ketua AJI Persiapan Kota Siantar, Tigor Munthe, mendesak aparat kepolisian segera memanggil dan memeriksa Julham dan seorang warga sipil, Yusuf Simanjuntak alias Ladon, yang ikut menghalangi tugas wartawan. Apalagi, dua korbannya telah mengadukan kasus tersebut ke Mapolresta Pematang Siantar.
“Kontributor Trans TV, Andi Siahaan dan wartawan harian Metro 24 Jam, Fredy Siahaan, dihalangi Julham dan Ladon saat hendak meliput kegiatan yang diisukan dijadikan ajang kampanye terselubung Walikota RE Siahaan,” tegasnya, beberapa waktu lalu di Siantar.

Tigor menilai, aksi penghadangan tugas jurnalis itu telah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yakni pasal 4 ayat 2 yang berbunyi: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran,” serta ayat 3 berbunyi: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Akibat pelanggaran tersebut, keduanya bisa diancam pidana penjara maksimal dua tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000, sesuai pasal 18 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pihaknya menanti respon dan tindakan aparat kepolisian dalam menuntaskan kasus tersebut, sehingga kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Sekadar mengingatkan, akhir pekan lalu kedua korban membuat pengaduan resmi secara terpisah atas adanya upaya menghalangi tugas jurnalis pada Kamis (2/2) di Wisma Tama. Keduanya melakukan peliputan karena mendengar adanya informasi kampanye terselubung yang diduga dilakukan Kadis Dikjar Siantar karena mengarahkan para peserta, terdiri dari kepala sekolah dan PNS untuk memilih Partai Demokrat dalam Pemilu 2009. Pertemuan ini juga dihadiri Walikota Ir RE Siahaan, yang juga sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Kota Pematang Siantar. (medanbisnis/udin)

Bah, Cuma 6 Korsinya?

Oleh : Tigor Munthe

Pemilu Legislatif 2009 sudah memasuki tahapan rekapitulasi penghitungan suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Di Kota Siantar, meski tahapan ini sedikit terseok, diwarnai protes dan keributan ketika proses berlangsung di kantor KPU Kota Siantar Jalan Porsea, hampir bisa dipastikan akan tuntas. Selanjutnya KPU akan melakukan tahapan lanjutan termasuk berupa penetapan perolehan suara dan kursi partai politik peserta Pemilu 2009 di Kota Siantar
Kendati belum masuk ke fase itu, namun perolehan suara dan kursi masing-masing partai politik yang kemudian diproyeksikan menduduki Parlemen Siantar lima tahun ke depan sudah tergambar dengan jelas.

Sejumlah partai politik ‘besar’ di Kota Siantar mendominasi kursi-kursi yang akan diduduki para figure calon legislative mereka, diantaranya Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Amanah Nasional (PAN).

Partai Demokrat hampir pasti meloloskan enam caleg-nya, yakni 2 orang dari daerah pemilihan satu yang meliputi Siantar Marihat, Siantar Selatan dan Siantar Timur, lalu 3 orang dari daerah pemilihan dua meliputi Siantar Barat dan Siantar Utara, dan terakhir 1 orang dari daerah pemilihan tiga meliputi Siantar Martoba dan Siantar Sitalasari.

PDIP dan PAN, masing-masing meraih 3 kursi. Kedua partai itu mengutus masing-masing 1 orang dari tiga daerah pemilihan yang ada. Sementara Partai Golkar hanya mendapat dua kursi yakni di daerah pemilihan satu dan dua.

Partai berbasis agama, PDS dan PKS masing-masing kebagian dua kursi. Pendatang baru Partai Pemuda Indonesia (PPI) dan Partai Hanura sukses masing-masing mendulang dua kursi. Selanjutnya, Partai PIB, PPRN, Partai Buruh, Partai Persatuan Daerah (PPD), PMB, PBR, Partai Patriot Pancasila, dan PNBK mencaplok satu kursi.

Melihat kondisi itu, ada beberapa hal yang menarik yakni rontoknya beberapa ‘partai politik besar’ di Kota Siantar. PDIP misalnya, jika Pemilu 2004 partai pimpinan Lingga Napitupulu ini meraih 6 kursi, maka kali ini moncong putih kehilangan kursi sebanyak 50 persen.

Ada dugaan, suara partai ini tergerus oleh kadernya yang pindah partai dan bertarung di tiga daerah pemilihan yang ada. Hulman Sitorus (PPI) dan Muktar Tarigan (PBR) di daerah pemilihan satu, Alosius Sihite (PPI) di daerah pemilihan dua dan Daud Simanjuntak (PPIB) di daerah pemilihan tiga.

Terus, Partai Golkar jika Pemilu 2004 masih mampu meraih 3 kursi, kali ini kursi mereka hilang dari daerah pemilihan tiga. PDS, bernasib sama yakni hanya mampu mempertahankan dua dari tiga kursi yang mereka raih Pemilu 2004. Yang unik, dua kader partai yang duduk merupakan istri dan putra dari seorang Tuan Takur alias T Sidabalok, Ketua Bapilu PDS Kota Siantar. PDS kehilangan kursi dari daerah pemilihan tiga.

Sedangkan PAN ‘jalan di tempat’, raihan kali ini sama dengan Pemilu 2004 silam yakni tiga kursi. Diketahui, ketua DPD PAN Kota Siantar adalah Wakil Walikota Imal Raya Harahap.

Yang paling tragis adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemilu 2004 mendapat 2 kursi, bahkan salah satu kadernya menjadi unsur pimpinan yakni wakil ketua DPRD, maka Pemilu 2009 partai kabah ini tidak kebagian kursi sama sekali.

Patut pula dicatat, berdasarkan hitungan suara yang diraih figur, dari tiga puluh calon anggota DPRD Siantar produk Pemilu 2009, akan ada enam orang wajah ‘lama’ duduk yakni, Saut Simanjuntak yang sebelumnya duduk dari Partai Demokrat, meski sempat seret, bisa mendarat pakai kendaraan Partai Hanura, Zainal Purba dan Aulul Imran dari PAN, Ronald Tampubolon dari Partai Patriot Pancasila, Alosius Sihite dari PPI, dan terakhir Josmar Simanjuntak dari Golkar.

Josmar sendiri jika duduk maka dirinya memasuki fase ketiga kali menjadi anggota dewan. Sebelumnya dia duduk dari Pemilu 1999, masuk di tengah jalan hasil Pemilu 2004 dan yang ketiga ini Pemilu 2009.

Cuma Segitunya?

Dari semua catatan dan data yang terpapar hasil pesta demokrasi di Kota Siantar, yang paling menarik disimak betul adalah raihan Partai Demokrat Kota Siantar. Meski ada pertambahan satu kursi yakni menjadi enam dari lima yang diperoleh pada Pemilu 2004 silam, hal itu kemudian menjadi sorotan karena capaiannya tidak signifikan.

Mengapa begitu? Karena ada perbedaan yang sangat mencolok antara Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Siapapun tahu jika Pemilu 2004 lalu, ketika itu Demokrat di bawah kendali Saut Simanjuntak Cs sebagai partai yang baru pertama kali ikut bertarung dalam pemilu, mampu meraih lima kursi. Capaian itu terbilang fantastis dan mengejutkan peta politik Kota Siantar, di tengah infrastruktur partai yang belum begitu terbangun secara kuat dan kokoh.

Tapi bandingkan dengan kondisi Pemilu 2009, dimana Ketua DPC Partai Demokrat Kota Siantar adalah Ir RE Siahaan yang juga Walikota Siantar (incumbent). Di tengah logistik yang melimpah dan dukungan infrastruktur yang lebih siap serta sokongan citra elit pusatnya dalam hal ini SBY sebagai Ketua Dewan Pembina yang juga Presiden RI sangat dominan dalam pentas politik nasional bahkan sangat kuat dalam penerimaan masyarakat, partai ini di Kota Siantar cuma mengenyam enam kursi!

Apalagi, sudah menjadi rahasia umum, ‘segala cara’ dipergunakan oleh RE Siahaan dalam memenangkan partai ini. Sebutlah, bagaimana dia mengorganisir perangkat daerah yang berada di bawah komandonya seperti Kepala RT/RW, LPM, Lurah bahkan jajaran PNS yang kebetulan pula diutak-atik melalui penerapan Peraturan Walikota (Perwa) sebagai aplikasi PP 41 Tahun 2007 tentang Sturktur Organsisasi Daerah, dimana kemudian para PNS itu menduduki jabatan selain faktor transaksi laiknya sebuah pasar, juga dipakai sebagai semacam Tim Sukses atau TS siluman yang ikut bergerak mengegolkan ambisi ‘bosnya’.

Itu adalah rahasia umum! Ingat ulah Kadis Dikjar Surung Siallagan. Tidak lama habis dilantik, dia dengan enaknya mengajak para bawahannya yakni para kepala sekolah berkumpul di lokasi Wisma Tama, dengan dalih merayakan pengangkatanya sebagai kadis baru. Namun di lokasi itu dia malah ‘berkampanye’ mengajak agar para anak buahnya yang nota bene PNS membirukan (Partai Demokrat-red) Kota Siantar. Gambaran jika pejabat daerah ikut mengayun mesin memenangkan partai bos-nya terwakili dari perilaku Surung Siallagan, dasar nekad!

Tidak cuma itu, sejumlah program nasional yang memang dicurigai sebagai ajang kampanye terselubung incumbent menjelang Pemilu 2009, dikucurkan. Tengoklah, pemberian beras miskin atau raskin dan bantuan PNPM di kecamatan dan kelurahan, dimana itu kemudian ‘dimanfaatkan’ oleh awak partai bintang lima ini menggunakannya sebagai ajang mendulang simpati meraih kursi.

Tapi apakah itu terbukti ampuh dan sakti? Salah seorang rekan wartawan senior di Kota Siantar, Moris Rajagukguk mencibir, “Ah, satunya tambah dari 5 jumlah korsi pemilu lalu. Padahal semua potensi dan energi dikerahkan habis-habisan. Bah, cuma 6 korsinya. Hanya segitunya?!?”

(Penulis adalah Jurnalis Politik Siantar Simalungun)



23 Maret 2009

Tigor Munthe : Jangan Pilih Politikus Busuk

Sunday, 15 March 2009

PEMATANGSIANTAR (SINDO) - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Simalungun (USI) dan sejumlah elemen masyarakat menghimbau warga Pematangsiantar dan Simalungun tidak memilih politisi busuk pada Pemilu nanti.
Imbauan BEM USI dan sejumlah elemen masyarakat lainnya, seperti Simalungun Corruption Watch (SCW), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Siantar-Simalungun, Study Otonomi Politik dan Demokrasi (SOPo), LPM Suluh, Bina Insani,dan Angkatan Muda Simalungun Indonesia (AMSI), disampaikan dalam aksi damai mengelilingi Kota Pematangsiantar dan Simalungun,kemarin.

Dalam orasi di sejumlah tempat yang dikunjungi, BEM USI dan elemen masyarakat lainnya membagibagikan pernyataan sikap mereka yang menghimbau masyarakat tidak memilih politisi koruptor, pelaku money politics atau yang membagikan sembako, politikus yang tidak punya visi dan misi,pemakai narkoba, pelaku kekerasan HAM, dan pelaku pencemaran lingkungan. Tigor Munthe dari AJI Siantar- Simalungun mengatakan, masyarakat Kota Pematangsiantar dan Simalungun harus selektif memilih politisi sebagai wakilnya di legislatif.

Sebab, melihat banyak anggota legislatif produk Pemilu 2004 lalu yang citranya tercoreng karena tersandung pelanggaran hukum. ”Kami mengajak masyarakat di Kota Pematangsiantar dan Simalungun untuk tidak memilih politisi yang mengumbar janji manis, memberikan imbalan kepada masyarakat, serta sudah pernah diproses hukum karena melakukan pelanggaran hukum. Imbauan ini kami sampaikan untuk menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas,” papar Tigor.

Di pihak lain Armada Purba dari SOPo mengatakan, masyarakat jangan salah memilih. ”Yang harus dipilih adalah politisi yang diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat di legislatif, karena kita tidak ingin menderita selama 5 tahun,”ujarnya. (ricky hutapea)

12 Februari 2009

Megawati Soekarnoputri

"Jual Citra Terus Lama-lama Capek Lho"


Jika sejumlah partai masih ribut membahas calon presiden, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan lebih maju selangkah. Partai ini sudah menjaring calon wakil presiden. Sebab calon nomor satu sudah jatahnya Megawati Soekarnoputri, sang ketua umum. Siapa “jodoh” Mega, kini masih jadi tebakan banyak orang.


Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas, beberapa waktu lalu memastikan bahwa calon pendamping Mega akan diumumkan akhir November 2008. Walau masih menjaring calon, Taufiq yang juga suami Megawati itu berharap, “Kalau bisa wakilnya dari Partai Golkar.”

Walau Taufiq rajin melakukan negosiasi politik dengan Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, Surya Paloh, sejauh ini si beringin belum menentukan pilihan. Sejumlah pengamat politik menilai,Golkar tetap memilih menjadi tandem dari Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam wawancara khusus VIVAnews dengan Jusuf Kalla, Ketua Umum Golkar, beberapa waktu lalu, Kalla memberi jawaban mengambang. “Saya sering bertemu presiden,” katanya.

Lalu siapa target PDI Perjuangan setelah Golkar hampir menutup pintu. Bagaimana cara partai itu menjaring orang nomor dua. Megawati menjawab,” Saya punya hak prerogatif tentukan wakil presiden.” Soal calon wakil presiden, lanjutnya, akan ditentukan secepatnya.

Megawati juga mengaku lebih mengandalkan kerja nyata daripada bicara di sejumlah forum. Sebab, “Jual citra terus lama-lama capek,lho,” katanya.

Berikut wawancara Arfi Bambani Amri, Wenseslaus Manggut,Rika Panda dan Nezar Patria dari VIVAnews dan 3 stasiun televisi swasta dengan Megawati di kantor Megawati Institute, Jalan Proklamasi, Jakarta, Kamis, 6 November 2008 silam:

W : PDIP beberapa waktu lalu menyatakan akan mengumumkan calon wakil presiden pada akhir November 2008. Apakah ada perubahan?

M : Saya telah berulangkali mengatakan, karena proses dinamika politik sekarang ini dalam artian menuju Pemilu-- sangat dinamis. Artinya saya sekarang diwawancara, besok bisa saja berubah. Jadi PDIP perjuangan boleh saja memberi wacana terbuka, tapi kami tetap melaksanakan aturan partai.

Di dalam rapat Dewan Pimpinan Pusat Partai, kemungkinan masih ada 3 kali Rakernas dan satu Rakornas (untuk membahas calon wakil presiden). Rakernas itu Rapat Kerja Nasional dan Rakornas itu Rapat Koordinasi Nasional.

Jadi, hari-hari ini kami terus mengevaluasi. Kalau dilihat di media, banyak yang mengatakan, menunggu hasil Pemilu legislatif, tapi kalau PDI Perjuangan tentu melihat sebagai bagian dari Pemilu legislatif itu juga.

Yang paling penting kami cari adalah satu momen yang tepat untuk mendeklarasikan calon wakil presiden yang akan mendampingi saya.

W : Apa pengumumannya sebelum Pemilu legislatif?

M : Prosesnya dinamis. Jika dinilai besok paling tepat, ya besoklah. Jangan lupa sebagai Ketua Umum, saya memiliki hak prerogratif. Tapi jangan lupa, evaluasi itu nanti akan terus dilakukan dalam rapat-rapat kerja PDI Perjuangan.

Sebelum Pemilu legislatif apakah ada pengumuman penting yang dibuat? Misalnya pengumuman nama calon kabinet?

Saya telah memberi arahan ke Dewan Pimpinan Pusat Partai bahwa hal-hal yang sangat penting tentunya akan dilakukan oleh Ketua Umum. DPP boleh saja mengatakan akan membuat kabinet bayangan, akan muncul nama Menko, tapi yang sangat penting, dinamisasi dari proses politik kita.

W : Apa calon wakil presiden dari luar partai?

M : Yang pasti, calon-calon wakil presiden pasti dimunculkan dari putra-putra bangsa yang terbaik. Makanya perlu evaluasi.

PDIP sudah mewacanakan koalisi. Golkar tidak mau, sehingga PDIP mendekati PKS. Apakah benar nanti akan menunjuk salah satu dari 8 nama yang diajukan PKS (sebagai calon presiden dan wakil presiden)?

Seperti yang saya katakan tadi, bahwa ndak bisa saya jawab pertanyaan anda secara vulgar bahwa hari ini saya memilih si ini. Ini proses tahunan.

Saya mengatakan sebagai Ketua Umum, sebagai calon presiden yang diusung PDI perjuangan, akan memilih bukan hanya orang yang menambah suara, membantu saya. Tapi saya akan bekerja sama dengan orang itu selama 5 tahun untuk memimpin bangsa dan negara.

Jadi ada hal yang tidak demikian mudah untuk diobral. Jadi tolong bersabar karena salah satu kunci politik adalah bersabar.


W : Apa yang diperbaiki dalam strategi kampanye 2009?

Yang paling penting di dalam internal partai, konsolidasi yang paling utama. Mesinnya harus dijalankan dan mesin itu bisa jalan kalau sumber daya manusianya juga mempunyai kekuatan dan semangat yang sama. Saya memang berharap, kalau dilihat dari pemilihan kepala daerah sebagai suatu latihan dan itu nanti jadi ukuran yang cukup baik. Jadi jangan mabuk lagi, karena masih ada 1 tahun untuk menggalang kekuatan. Persoalannya sekarang, apa sih yang mau dilakukan Indonesiaku ini?

W : Figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat kuat diidolakan...

M : Itu kan terserah, menurut saya. Bisa saja orang mengatakan SBY itu karena baik pencitraannya. Pencitraan itu kembali, menurut saya, (harus) be yourself. Lama-lama orang mencoba mengubah dirinya untuk menjadi populer, untuk diakui, (menjadi) capek sendiri lho lama-lama.

W : Penyelesaian permasalahan apa yang diprioritaskan?

M : Tentunya kalau melihat semua bidang yang ada, sekarang ini yang sangat berat dan mengalami suatu persoalan yang sangat pelik adalah masalah ekonomi. Tentunya yang ditawarkan untuk dijadikan satu solusi, tapi bisa saja orang nggak bisa menerima. Orang terpikir karena terbawa pengaruh barat, nggak bisa.

Kalau dari ketahanan pangan saja, saya sudah mengajak sejak lama. Saya mengatakan hentikan impor gula, tapi media sendiri tidak menolong. Kempes saja. Coba kalau menolong, tentu bisa membangun harapan. Cobalah sekali-kali tanya pada petani tebu, mana regulasi yang paling tepat untuk mereka? Pasti mereka sebut Mega. Saya sangat yakin. Itu karena jama saya dulu mereka sangat tertolong. Kalau sekarang mereka tak tertolong lagi.

W : Jadi yang diutamakan ekonomi rakyat kecil?

M : Jangan lupa, dari dulu itu saya lakukan. Sudah tahunan saya melakukan itu. Ketika perbaikan ekonomi saya lakukan sebenarnya karena saya sudah menyatakan pada kabinet saya, krisis 97 itu kemungkinan bisa terulang lagi dan menurut saya lebih dahsyat. Kenapa? Saya kasih tahulah a, b, c, d...

Tapi kan masalah orang memandang yang akan dipilih dan yang akan diambil untuk dipilih. Orang itu biasa melihat pintarkah dia. Selalu seperti itu. Maka saya bilang, beri saya waktu, paling tidak kekokohan dari apa yang terjadi sekarang ini kacau balau. Sebetulnya sayang untuk tidak melanjutkan apa yang saya lakukan dulu itu.


W : Bagaimana penilaian Anda atas kemenangan Obama di Amerika?

M : Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan selamat karena kemenangan Beliau. Ini Pemilu yang menurut saya sangat luar biasa. Ini impian sebagian masyarakat Amerika yang merupakan kulit berwarna.

Indonesia menurut saya sudah punya pluralisme, Amerika baru terasa sekarang ini. Meskipun kalau kita lihat di waktu-waktu lalu, kesempatan itu pernah coba diraih oleh Jesse Jackson dan Martin Luther King, tapi mungkin saat itu waktunya belum tepat.

Saya berharap Presiden Obama, yang memiliki sejarah, latar belakang bahwa dia pernah hidup di Indonesia. Paling tidak bisa mengerti kultur orang Timur. Dewasa ini yang sekarang terjadi di abad ini, sepertinya kembali akan termunculkan kembali perbedaan-perbedaan suku, agama, lalu yang namanya kebersamaan mulai diabaikan.

W : Apakah ada harapan bahwa Indonesia akan memiliki hubungan setara dengan Amerika?

M : Saya juga berharap agar hubungan Indonesia dengan Amerika lebih setara. Perlu hubungan kesetaraan dalam hubungan antar negara. Kenapa? Coba saja lihat keadaan sekarang ini, mengenai krisis global ekonomi dunia. Amerika terkena krisis.

Kita harusnya tidak terikut-ikut, harusnya dipikirkan mengapa sampai begitu, apakah karena ketahanan ekonomi kita sendiri yang sangat rapuh? Ada mereka yang ahli di bidang ekonomi mengatakan ekonomi kita rapuh. Padahal seharusnya ketahanan ekonomi kita cukup kuat tidak harus terkena tsunami seperti ini.

Kenapa ya, orang kita baru sadar kalau orang asing yang ngomong, tetapi ketika ahli kita mengatakan harusnya begini, kok kayaknya kurang didengarkan? Sekarang ini ada titik balik sejarah buat kita bahwa di Amerika terjadi perubahan, di Indonesia juga harus terjadi perubahan dalam arti nilai-nilai kebangsaan, ketimuran, harga diri. Kita harus lakukan.

W : Menurut Anda, kenapa Obama yang berkulit hitam bisa menjadi presiden di Amerika?

M : Saya lihat, dukungan yang didapat beliau itu sekarang bukan hanya dari dua kubu. Saya perhatikan terus beliau bersaing dengan Hillary Clinton (bisa menang) karena beliau dapat mencitrakan, 'Yes, I'm American'. Itu juga yang harus kita citrakan, 'Yes, I'm Indonesian'. Ini kan nggak.

W : Ada keinginan untuk menjadi seperti Obama?


M : Saya Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, tapi bukan hanya itu harga saya. Saya, kalau diizinkan jadi presiden, nanti itu berbeda.
Nanti kita lihatlah Obama, karena dalam pidatonya kemarin yang begitu singkat memukau, dia betul-betul mengambil magnet bahwa satu kata, kita Amerika. Tidak ada itu semua, keinginan itu dari suku, mereka yang berkulit putih, berkulit hitam dan sebagainya.

W : Obama berhasil karena menawarkan perbaikan ekonomi. Adakah janji perbaikan yang serupa untuk Indonesia?

M : Saya tidak ingin berjanji. Karena buat apa berjanji. Janji selalu palsu. Saya hanya ingin menawarkan hal-hal bagi rakyat dapat membuka diri, bagaimana kita memperbaiki ekonomi kita. Mengapa kalau orang asing mengatakan, baru kita percaya, bahkan akan terjadi begini.
Saya ketika krisis ini, saya ditanya ahli-ahli ekonomi, krisis ini akan terjadi. Saya bukan tukang ramal, tapi karena saya dianggap bukan sarjana, dianggap tak punya kemampuan dan keahlian mengenai itu, tak ada yang mendengarkan saya.

Karena mereka ini (merasa) bukannya sepertinya tsunami ekonomi. Apa itu namanya? Saya baca bukunya, tapi lupa namanya, bahwa beberapa tahun lagi akan ada krisis ekonomi lagi. Sangat trend waktu itu, sampai datang orangnya ke sini. (Kemudian diberitahu Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung yang berada di sampingnya bahwa penulisnya ekonom Amerika, Joseph Stiglitz). Ya itu.

Kita kumpulkanlah ahli-ahli kita. Mereka juga pergi ke sekolah yang sama. Ada yang dari Harvard, yang katanya universitas-universitas sangat mumpuni di dunia. Ada Harvard, Stanford, Berkeley. Ya sama ilmunya, kok mesti yang di sana yang harus ngomong.

W : Apakah PDI Perjuangan bisa menciptakan sosok yang diangkat dengan cepat seperti Obama?

M : Itu saya kira perlu proses. Karena jangan kita menyatakan diri kita sama dengan Amerika. Amerika membangun negaranya melalui perubahan-perubahan konstitusinya 200 tahun. Itu mengalami perang saudara. Kalau kita beda lagi. Jadi akar sejarah kita yang dilihat lagi. Apakah kemungkinan itu bisa? Persoalannya sekarang, modelnya seperti apa?

Kalau melihat munculnya Obama, banyak yang dulu muncul seperti Presiden Kennedy dulu, John dan Bob (Kennedy). Makanya terus, maaf, terjadi pembunuhan. Jika keduanya terus terjadi menjadi presiden, Amerika akan berbeda hari ini.

Saat itu perbedaan ras masih menonjol. Sekarang, yang namanya di media saja, kita ambil Oprah, dia salah satu black American yang sukses. Jelas kita bisa, tapi jangan suka meniru orang dong. Kita bangun dari tangan kita sendiri. Menurut saya, Indonesia ini penyakitnya begitu lho, meniru. Ingat kita ini Indonesia.



28 Januari 2009

Woi Rakyat, Sadar !

(Oleh Tigor Munthe)

Salah satu tujuan digelarnya Pemilu tidak lain adalah dalam rangka memberikan kesempatan luas dan terbuka kepada rakyat untuk menjatuhkan pilihannya kepada calon pemimpin yang kelak akan membawa rakyat menuju keinginannya, setidaknya sejahtera dan maju.

Itu sebabnya Pemilu merupakan sebuah jembatan vital yang sangat menentukan ; akan seperti apa format kebijakan sebuah pemerintahan yang diisi para pemimpin hasil pilihan rakyat sebelumnya.

Tak pelak, pesta Pemilu 2009 yang nantinya dimainkan dalam dua etape besar, yakni memilih pemimpin politik di legislative (DPR, DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten dan DPD) dan pemimpin negara dan pemerintahan nasional (Presiden dan Wakil Presiden) akan menggambarkan seperti apa sejatinya pemimpin yang diutus rakyat ke kursi-kursi pemimpin dimaksud.

Itu artinya, seburuk atau sebaik apapun hasil pilihan rakyat nantinya dalam Pemilu 2009, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penuh rakyat. Rakyat tidak bisa misalnya mengutuki para pemimpin hasil pilihannya itu jika ternyata mereka tukang korupsi, bejat moral dan pekak suara rakyat. Karena yang memilih dan menghantar mereka ke singgasana kekuasaan pemegang kebijakan negara dan pemerintahan adalah rakyat itu sendiri melalui suara yang disalurkan pada saat pemungutan suara berlangsung.

Sebaliknya, jika ternyata para pemimpin itu kelak berbuat dengan baik, sesuai keinginan rakyat, yakni selalu mendahulukan kepentingan rakyat luas ketimbang urusan partai politik yang selama ini menjadi rumah politiknya, atau menampik godaan korupsi dari berbagai peluang dan kesempatan yang dimiliki serta pula selalu berjalan di koridor aturan main bernegara dan bermasyarakat, maka itu adalah juga merupakan buah manis dari sebuah pilihan yang semua bermula ketika sedang berada di tempat pemungutan suara : dimana setiap orang dari rakyat itu menjatuhkan pilihan suara kepada calon-calon pemimpin yang diyakini kelak mewujudnyatakan apa yang menjadi kontrak politiknya dengan rakyat ketika melakukan sosialisasi dan kampanye Pemilu.

Politik Pragmatis

Sebuah “tradisi” dalam pesta Pemilu kita, sikap-sikap pragmatis selalu muncul meningkahi berbagai pola kampanye dan sosialisasi yang digelar kontestan Pemilu. Selain mengumbar program, visi dan misi, sangat mudah ditebak banyak calon pemimpin, calon legislative misalnya akan terjebak dalam sebuah sikap politik pragmatis.

Sikap itu sesungguhnya merupakan lahan subur dari buah realitas rakyat yang masih miskin, tidak cerdas politik, atau apatisme politik yang mengakut berikut rezim-rezim pemerintahan yang silih berganti semua menumpahkan halaman-halaman kosong untuk urusan kepentingan rakyat. Rakyat tetap miskin, bodoh, dan marginal!

Rakyat kemudian melepaskan panah dendamnya melalui sebuah keinginan yang lumrah dan normal sesungguhnya. Keinginan rakyat untuk dibayar memberikan suara, apakah dalam bentuk-bentuk material uang atau bentuk fisik lainnya. Rakyat (jenis ini) sadar, jika kelak yang mereka pilih, toh tidak akan pernah mau tahu dengan siapa yang memilih mereka dulu di lokasi pemungutan suara.

Tidak heran, banyak calon legislative yang turun melakukan sosialisasi dan kampanye ke kantong-kantong rakyat, mereka kerap disibuki dengan aksi-aksi bagi. Bagi uang, bagi sembako hingga bag-bagi material lainnya. Sialnya, aksi bagi-bagi ternyata bukan sebuah kontrak, karena tidak ada sebuah “materai” di atas bagi-bagi itu.

Diyakini, ketika hari pemungutan suara dilangsungkan, pilihan rakyat yang menerima segala bagi-bagi itu boleh jadi berbeda. Rakyat ternyata sudah kembali ke pilihan nuraninya. Bisa saja pilihannya datang ke TPS dan menjatuhkan pilihan yang sudah ditetapkan sejak semula atau tidak memilih sama sekali alias golongaan putih dan tidak datang ke TPS.

Rakyat Sadar

Melongok betapa sangat berperannya rakyat dalam menentukan arah dan wajah pemerintahan dan negara, terutama lima tahun ke depan, maka alangkah sangat bodohnya rakyat harus menyerahkan itu semua ke tangan para bejat moral, tukang korupsi dan pengkhianat suara rakyat.

Menyerahkannya kepada para calon yang nyata-nyata tidak memiliki kapasitas apapun, wawasan apapun dan kemampuan apapun, selain hanya karena cuma ingin disebut dewan terhormat, punya status, punya pekerjaan, pintu memperkaya diri, keluarga, kolega dan kelompoknya semata, adalah tindakan dan sikap yang harus dijungkirbalikkan.

Harus ada sebuah kesadaran kuat dan luas, bahwa satu suara yang diberi tanda di kertas suara tidak senilai 100 ribu rupiah atau seharga beras dan minyak goreng yang cuma bisa dihabiskan sehari. Satu suara yang diganti dengan uang dan sembako sesaat itu, hanya akan berbuah kotoran dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tetapi sebuah suara yang dijatuhkan kepada calon pemimpin yang benar-benar ideal, setidaknya memiliki jejak rekam bagus, punya otak, punya hati dan punya nurani, kelak akan menggunakan suara itu menjadikannya buah manis, yang bisa saja akan dinikmati para keturunan kita kelak, misalnya.

Apalagi, instrumen suara rakyat sudah memasuki tahap yang menggemaskan, ketika Mahkamah Konstitusi pada akhir Desember 2008 memutuskan untuk merontokkan dominasi partai politik dalam mendudukkan para calon pemimpin di legislative. Jika dalam pasal 214 ayat a-e Undang-undang Pemilu 2009 masih mengakomdir calon legislative terpilih berdasarkan nomor urut yang dipajang partai politik, maka dalam putusannya Mahkamah Konstitusi membatalkan semua ayat dalam pasal tersebut seraya merapalkan satu ketetapan bahwa pemimpin yang duduk adalah pemimpin yang karena mendapat dukungan terbesar dari rakyatnya.

Lalu, jika banyak pihak, apakah politisi atau juga analisis yang meragukan instrumen itu, kelak menyuburkan lahan pragmatisme dan pasar suara yang kemudian menjerumuskan pesta demokrasi kali ini pada titik terendah kualitasnya sebagai akibat dari transaksi-transaksi yang bertebaran di akar rumput, hal itu adalah sebuah kekuatiran rendahan, murahan.

Rakyat, sejatinya tidak lantas dicurigai apalagi dikuatirkan ketika akan mudah dibeli. Idealnya adalah, putusan itu disambut dengan jiwa besar disertai tanggung jawab besar guna mendorong rakyat, mencerdaskan rakyat, mengajari rakyat dan membuka mata hati rakyat, bahwa harga satu suara rakyat tidak sama dengan 100 ribu rupiah dan sembako. Satu suara rakyat yang terakumulasi dengan suara rakyat lainnya yang sejenis adalah suara yang bisa merubah wajah pemerintahan dari yang korupsi ke yang peduli.

Sebab, tatanan pemerintahan yang dihuni pemimpin bobrok, politisi “dagang” atau politisi pragmatis, yakni cuma tahu bertransaksi menggunakan uang dalam urusan apapun, dipastikan juga akan melakukan transaksi serupa dalam setiap helaan nafas kebijakannya. Akh…!!!