19 Desember 2008

Mental Dewasa Menyambut Pemilu 2009

Kasdin Sihotang

Keributan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), menjadi fenomena yang menonjol akhir-akhir ini. Dari sejumlah pilkada selama ini, sangat sedikit yang berjalan dengan mulus. Lebih banyak kegiatan demokrasi itu ditandai dengan konflik, bahkan disertai dengan tindakan anarkis.

Pertanyaan yang dapat diajukan, sikap apa yang terlihat dalam maraknya konflik dalam pilkada tersebut? Satu hal yang jelas, konflik yang ditandai dengan sikap anarkis dan tindakan kekerasan menjadi sebuah tanda bahwa dalam berdemokrasi kedewasaan belum menjadi mental masyarakat dan elite politik. Dengan kata lain, sebagian besar
masyarakat dan elite politik kita belum mampu menunjukkan kematangan diri dalam
rupakan satu instrumen yang sedang diupayakan untuk menumbuhkan demokrasi. Itu berarti kegagalan pilkada merupakan hambatan untuk membangun demokrasi. Pelanggengan konflik justru akan membangunkan adagium Thomas Hobbes berbunyi homo homini lupus dalam masyarakat. Dendam berkepanjangan akan menjadi bagian dari kehidupan berpolitik. Situasi seperti ini jelas tidak kondusif untuk perwujudan demokrasi.
Perlunya kedewasaan

Membangun demokrasi yang sehat dan berbobot dalam politik kita membutuhkan kedewasaan. Sikap ini justru menjadi modal sosial yang sangat penting. Sejumlah keunggulan akan didapatkan dengan mengembangkan sikap dewasa dalam politik. Pertama, kemampuan menggunakan nalar sehat. Sebagaimana sudah disinggung di atas demokrasi tidak bisa berkembang dalam irasionalitas. Demokrasi hanya bisa berkembang secara sehat ketika rasionalitas menjadi titik pijak. Itu berarti argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi titik tolak untuk perjuangan demokratis.

Dengan kata lain, dasar untuk memperjuangkan kebenaran adalah nalar, bukan emosi atau tangan besi. Argumen-argumen rasional tentu memiliki ukuran yang objektif. Ukuran kebenaran sebuah perjuangan dalam konteks politik dilihat dari sifat universalnya, yakni dapat diterima semua pihak yang terlibat di dalamnya sebagai sesuatu yang benar.

Sebagaimana pernah dikatakan Immanuel Kant, seorang filsuf politik dari Jerman, salah satu kebenaran dari rasionalitas adalah isinya dapat diterima oleh siapapun. Inilah yang disebutnya sebagai masuk akal. Artinya, apa yang diupayakan itu adalah sesuatu yang konkrit, dan bukan sebuah utopia. Dengan demikian perjuangan politik akan dapat diterima kalau itu memang sungguh-sungguh memiliki rasionalitas yang memadai. Dan tentunya adalah sikap dewasa pula untuk berani menerima kenyataan seperti ini dalam panggung politik.

Kedua, keberanian untuk menerima kekalahan. Ini merupakan implementasi dari butir pertama. Dalam demokrasi harus disadari bahwa dalam kompetisi selalu ada pihak yang kalah dan pihak yang menang sesuai dengan prosedural objektif. Tanda kedewasaan di sini terlihat dalam hal kesediaan pihak yang kalah menerima kekalahan dan pihak yang menang mengapresiasi pihak yang kalah dalam kompetisi yang secara objektif rasional dan prosedural. Kecuali tentunya kalau melanggar prinsip objektivitas dan prosedural. Dalam hal ini tentu sikap kritis perlu dihidupkan. Namun kualitas cara mengkritisi seharusnya juga menunjukkan sikap kedewasaaan, yakni sopan dan santun serta elegan.

Ketiga, kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara damai. Sekali lagi meminjam Immanuel Kant, lewat bukunya Perpetual Peace tidak ada perdamaian abadi tanpa ada keberanian untuk mengupayakan penyelesaian masalah. Dalam demokrasi memang nilai-nilai dalam win-win solution perlu dijadikan sebagai jalan keluar sebuah masalah. Kemampuan untuk menjalankan hal ini tentu merupakan tanda dari kedewasaan dalam demokrasi.

Keempat, kemampuan untuk menerima norma-norma hukum. Salah satu pilar demokrasi adalah rule of law. Jalannya demokrasi justru tergantung dari pengakuan terhadap aturan main. Kemampuan untuk mengikuti aturan main secara konsisten dan konsekuen merupakan salah satu tanda kedewasaan dalam berdemokrasi. Orang yang tidak mau berjalan dalam rel rule of law justru mengancam esensi demokrasi.
Kelima, kemampuan mengaku perbedaan baik bersifat personal maupun bersifat kolektif yang secara objektif dan rasional dapat diterima. Sebagaimana ditegaskan oleh Jonathan Sack dalam The Dignity of Differences (2002) perbedaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia dalam kebersamaan.

Itu berarti tidak akan ada manusia yang identik dan sama di dunia ini. Yang ada adalah keunikan setiap pribadi.Dan ini merupakan kekayaan yang paling berharga dalam eksistensi manusia. Justru karena keunikan itulah manusia memerlukan yang lain. Seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, ada bersama menjadi keharusan untuk mengakui keunikan itu. Dalam demokrasi pengakuan ini tentunya menjadi tanda kedewasaan. Artinya orang yang dewasa akan mampu menerima perbedaan bahkan berusaha untuk memelihata perbedaan, bukan justru sebaliknya. Sikap penyeragaman merupakan sikap yang berlawanan dengan sikap dewasa dalam berdemokrasi.

Menyongsong pesta demokrasi 2009, menurut hemat penulis nilai-nilai yang tertuang dalam sikap dewasa di atas merupakan tuntutan mutlak. Sudah saatnya kita mau belajar dari Hilary Clinton dan McCain yang sangat sportif dan elegan menyikapi kekalahan, dan tentunya dari Barak Obama yang sangat respek terhadap lawan-lawannya. Tokoh-tokoh ini telah menujukkan kepada kita bahwa bersikap dewasa dalam politik membuat demokrasi menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan dan mengharukan, karena di dalamnya nilai-nilai ketulusan, kerendahan hati serta fairness menjadi pijakan.

Penulis adalah dosen Filsafat Ekonomi dan staf inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta.

Sumber : Suara Pembaruan

Tidak ada komentar: