19 Desember 2008

Iklan Politik Bukan Obat Mujarab

Oleh Tjipta Lesmana

“Mengubah perilaku politik seseorang bukan urusan mudah. Teori Ajzbein mengajarkan bahwa perilaku individu sesungguhnya dipengaruhi oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), sedang sikap dipengaruhi oleh keyakinan (belief). Anda harus terlebih dahulu bisa menghancurkan keyakinan A tentang objek X, sebelum bisa mengubah sikap A terhadap X. Selama keyakinan si A terhadap X sangat kuat, 1.000 kali siraman iklan politik pun mustahil mampu mengubah perilakunya terhadap X.” (Tjipta Lesmana)


Get known first, before you go politics. Begitu kata seorang politisi kawakan dari Amerika. Itulah sebabnya pemilu dan kampanye politik menjadi dua fenomena yang tidak bisa dipisahkan, khususnya pada era perpolitikan modern. Melalui iklan di media massa sang calon "menjual" dirinya kepada publik agar publik mengetahui siapa sesungguhnya dia. Jika masyarakat belum kenal, bagaimana Anda bisa menjadi bupati, gubernur, atau anggota legislatif, apalagi presiden?

Iklan politik juga bertujuan agar rakyat mengetahui dan mempercayai visi dan misi kandidat. "Jika saya terpilih, saya berjanji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sekian persen, menurunkan pengangguran sekian persen," ucap seorang "bakal calon (balon) capres" kita. "Balon" lain berteriak: "Bumi kita kaya. Apa saja ada di bumi kita. Tapi, mengapa rakyatnya miskin dan sengsara? Karena salah urus oleh mereka yang berkuasa!"

Secara eksplisit, ia menyerang ketidakbecusan para pemimpin mengelola kekayaan alam kita Namun, secara implisit, ia sebenarnya juga menuduh bahwa para pemimpin yang berkuasa sekarang korup, hanya memikirkan kepentingan pribadinya.
"Kenapa pupuk tidak ada? Karena pemerintah tidak mau dengar masukan kita!" Politisi yang bicara seperti ini sedang berusaha memikat kaum petani yang kini sedang kesulitan untuk mendapatkan pupuk, sehingga mereka melancarkan aksi unjuk rasa.
Kampanye dengan media massa tidak murah. Di Jakarta, misalnya, satu spot di televisi berdurasi 30 detik, paling murah Rp 20 juta. Untuk talk show selama satu jam seorang politisi minimal harus mengeluarkan Rp 1,5 miliar. Iklan politik di media cetak juga mahal. Sebuah koran nasional bergengsi mematok tarif Rp 80 juta untuk satu halaman penuh hitam-putih. Jika iklan muncul dalam warna, tarifnya Rp 150 juta. "Iklan kuping" berwarna di halaman satu lebih mahal lagi karena sifatnya yang eye-catching: bisa mencapai Rp 100 juta untuk ukuran kecil saja.

Pemilihan Presiden Amerika 2008 tercatat menghabiskan biaya iklan paling besar dalam sejarah Amerika: 43 persen lebih besar dibandingkan iklan politik 2004. Diperkirakan seluruh kontestan, secara kumulatif, telah menghabiskan dana sebesar US$ 4,5 miliar untuk kampanye politik! Media televisi paling laris. Sekitar 51,3 persen dari total biaya iklan disedot oleh televisi. Demikian data yang dirilis oleh PQ Media dari Stamford, Connecticut.

Media massa memang panen besar setiap kali pemilu. Namun, pada waktu yang sama, pengeluaran media untuk meliput kampanye kandidat juga meningkat tajam. Di Indonesia, jika ada kandidat kampanye di suatu kota, tim suksesnya akan mengundang berbagai media dan seluruh biaya otomatis ditanggung oleh tim sukses. Bahkan wartawannya juga mendapat "amplop". Hal ini tidak berlaku untuk media Amerika. Demi mempertahankan netralitas dan martabatnya, media menanggung sendiri setiap sen yang dikeluarkan ketika mengikuti rombongan kandidat berkampanye.

Total jenderal, seluruh jaringan televisi di AS dikabarkan menghabiskan belanja US$ 9,6 juta untuk meliput kampanye kubu Obama dan US$ 4,4 juta pada kubu McCaine. CBS mengeluarkan US$ 1,2 juta untuk mengikuti rombongan Obama, tapi hanya US$ 222.000 untuk meliput kampanye McCaine.

Makin dekat ke Hari-H, kampanye politik semakin gencar. Obama, misalnya, bisa berkampanye di empat negara bagian hanya dalam sehari. Ini berarti, pengeluaran pun semakin berlipat. Obama dan McCaine bertarung habis-habisan seminggu sebelum hari pencoblosan, 4 November 2008. Untuk penduduk di Philadelphia saja, kubu Obama, secara total, telah menghujani spot sebanyak 978 kali!

Dua Kategori

Kampanye politik, secara teoritis, digolongkan dalam dua kategori: negatif dan positif. Sesuai namanya, kampanye negatif berisikan kritik, caci-maki dan tohokan terhadap lawan. Lawan -khususnya incumbent- digambarkan gagal total mengangkat harkat dan martabat bangsa. Maka, ia tidak layak dipilih kembali. Kampanye positif lebih fokus pada penonjolan who he is dan apa saja yang sudah dicapainya, selama ini.
Kampanye negatif, intinya, berfokus pada tema "membangiktkan rasa takut" atau berupa ancaman di pihak rakyat. Martabat Amerika di dunia internasional akan semakin tenggelam jika McCaine terpilih, kata Obama. Kehidupan akan kian susah, jika Obama terpilih, sebab dia hendak menaikkan pajak. Dalam jargon komunikasi, disebut fear-arousing communication.

Menurut Wisconsin Advertising Program, 63 persen kampanye iklan Obama bernada negatif, sedang McCaine 79 persen. Dari tanggal 28 September hingga 4 Oktober 2008 saja, 100 persen kampanye iklan McCaine dikategorikan negatif; di pihak Obama hanya 34 persen. Jelas, semakin "kepepet" posisi McCaine semakin menyerang sifat kampanye yang dilancarkannya.

Dan efektivitasnya? Sejarah perpolitikan di Amerika membuktikan bahwa fear-arousing communication, apalagi black campaign, tidak efektif dalam pemilu.
Kecuali itu, kampanye politik di media seringkali menyesatkan. Hingga September 2008 sebagian besar media massa di Amerika terkesan di belakang McCaine. Mereka terus memublikasikan iklan calon ini. Belakangan, baru diketahui bahwa iklan-iklan itu kebanyakan gratis, semata-mata sebagai cermin ketakutan media jika Obama yang kulit hitam akan terpilih sebagai presiden Amerika.

Di Indonesia, seorang anak muda yang mengklaim mau jadi presiden terus membombardir publik dengan iklan politik, khususnya di sebuah stasiun televisi. Kok banyak duit dia? Usut punya usut, sebagian iklan itu gratis, sebab si pemilik stasiun TV mempunyai motif politik tertentu dengan layanannya itu. Ada lagi klaim bahwa popularitas seorang "balon presiden" meningkat tajam karena kampanye yang agresif di media massa. Klaim seperti itu, menurut saya, amat spekulatif sifatnya. Hendaknya kita jangan terlalu percaya pada jajak pendapat, sebab jajak pendapat, tidak jarang, dibuat "atas order" pihak tertentu.

Mengubah perilaku politik seseorang bukan urusan mudah. Teori Ajzbein mengajarkan bahwa perilaku individu sesungguhnya dipengaruhi oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), sedang sikap dipengaruhi oleh keyakinan (belief). Anda harus terlebih dahulu bisa menghancurkan keyakinan A tentang objek X, sebelum bisa mengubah sikap A terhadap X. Selama keyakinan si A terhadap X sangat kuat, 1.000 kali siraman iklan politik pun mustahil mampu mengubah perilakunya terhadap X.
Jadi, iklan politik bukan obat mujarab. Iklan penting, namun yang paling menentukan adalah kualitas (termasuk kapabilitas intelektual), integritas, dan moralitas si calon!

Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Politik, penulis buku Dari Soekarno sampai SBY: Kolusi dan Lobi Politik Para Penguasa (November 2008).

Sumber : Suara Pembaruan

Tidak ada komentar: