25 Oktober 2008

TNI dan Pemilu 2009

Oleh : Christofel Nalenan
(Manajer Riset Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

Pasal 318 Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD telah menegaskan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih pada Pemilu 2009. Dimasukkannya pasal ini telah mengakomodir keinginan dari masyarakat sipil dan juga para anggota TNI sendiri yang melalui survei yang dilakukan mabes TNI September tahun lalu menyatakan belum ingin menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Namun tidak memilihnya para anggota TNI pada Pemilu 2009 tidak berarti menjamin sepenuhnya bahwa TNI tidak akan terlibat atau dilibatkan dalam politik pada Pemilu 2009.


Sepak Terjang Purnawirawan

Kompas (4/8/2008) memberitakan bagaimana keterlibatan para purnawirawan TNI masuk ke dalam Partai Politik peserta Pemilu 2009, ada yang menjadi pendiri, ada juga yang direkrut masuk ke dalam kepengurusan. Posisi para purnawirawan tersebut semuanya pada pos-pos penting yang menentukan dalam tubuh partai, dan nama-nama mereka dapat ditemukan hampir secara merata di seluruh partai, baik itu di partai kecil atau partai besar, di partai yang baru mengikuti pemilu atau pun di partai lama. Fadli Zon salah seorang pemimpin partai dari kalangan sipil dengan jujur mengatakan mengapa di dalam partainya banyak terlibat para purnawirawan TNI, menurutnya selain karena lemahnya kaderisasi kepemimpinan di tubuh sipil, keterlibatan TNI juga dikarenakan para purnawirawan tersebut memiliki kekuatan jejaring dan pengalaman teritorial. Hal tersebut lah yang sebenarnya mengkhawatirkan, jejaring para purnawirawan yang rata-rata berpangkat Jenderal itu, sangat rentan dan bisa jadi melibatkan anggota TNI aktif yang berada pada struktur teritorial TNI. Pemanfaatan tersebut bukan hanya kepada orang tetapi juga pada fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh komando teritorial TNI, seperti kendaraan militer, gedung, lapangan dan sebagainya. Apalagi dalam militer Indonesia terdapat budaya bahwa Komandan selain dianggap pimpinan juga dianggap bapak oleh para anak buah. Menampik permintaan dari mantan komandan mungkin bisa dimaklumi tapi dari seorang bapak, dalam budaya timur, hal tersebut adalah sebuah dosa besar.


Keikutsertan para purnawirawan militer di negara-negara demokratis sebenarnya adalah sebuah hal yang wajar dan itu sama sekali tidak mengganggu sistem supremasi sipil, namun keterlibatan militer dalam politik di sejarah Indonesia terlalu dalam dan masif. Oleh karena itu kekhawatiran bahwa keterlibatan para purnawirawan TNI ke dalam politik dengan masuk menjadi anggota partai peserta pemilu 2009 akan menyeret kembali TNI pada politik sangat lah beralasan. Cara yang paling baik untuk mencegah terseretnya kembali TNI ke dalam politik adalah dengan pengawasan yang seksama oleh kelompok masyarakat sipil khususnya di daerah-daerah di mana bisa saja terjadi mobilisasi sumber daya Komando Teritorial untuk kepentingan pemilu. Selain itu hal yang paling pokok agar tidak terbentuk lagi kekhawatiran publik akan terseretnya TNI pada politik praktis adalah segera diselesaikannya agenda reformasi TNI yang jalan di tempat sejak disahkannya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.


Agenda Reformasi yang belum selesai

Hal yang agak mengherankan sekaligus menyedihkan menurut saya, ketika pasca disahkannya UU. No 34, reformasi TNI seakan-akan sudah selesai, padahal sebenarnya undang-undang yang sangat reformis tersebut dan juga bersama dengan UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah awal dari terjadinya reformasi TNI secara menyeluruh.


Masih sangat banyak agenda reformasi yang belum diselesaikan, dari segi regulasi masih ada sekitar 12 undang-undang lagi yang harus dibuat, antara lain undang-undang Peradilan Militer dan undang-undang Komponen Cadangan. Sementara soal bisnis militer, pemerintah bertindak sangat hati-hati dan tidak sungguh-sungguh, pemerintah saat ini membenahi bisnis militer sekadar agar tidak melanggar amanat pasal 76 UU No.34. Satu hal lagi yang paling mendasar dari agenda reformasi TNI sebenarnya adalah transformasi Postur Pertahanan Indonesia, khususnya mengenai struktur pertahanan, yaitu sistem komando teritorial.


Sistem komando teritorial memiliki cukup banyak kelemahan. Dari segi pertahanan, sistem komando teritorial adalah sistem pertahanan untuk mempertahankan daratan padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan wilayah lautan sebesar 62 % dari seluruh total wilayah, di mana separuhnya adalah zona ekonomi eksklusif. Selain itu pada masa damai, seperti saat ini, sistem pertahanan komando teritorial sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik terutama menjelang diadakannya pemilu.


Pemilu 2009 sebagai Pemilu terakhir

Pemilu 2009 harus menjadi pemilu terakhir di mana publik masih memperdebatkan tentang peran politik TNI, oleh karena itu antara tahun 2009 dan 2014 agenda reformasi TNI harus benar-benar dituntaskan. Harapan cukup besar untuk menyelesaikan agenda yang sangat penting tersebut diamanatkan kepada para anggota legislatif dan Presiden terpilih nantinya. Kelompok masyarakat sipil dari sekarang harus secara sungguh-sungguh memasukkan juga pada materi pendidikan pemilihnya mengenai persoalan reformasi TNI, agar masyarakat memilih para calon anggota legislatif dan Presiden yang konsern terhadap agenda tersebut. Pengalaman pada Pemilu 2004 para anggota legislatif dan Presiden yang terpilih bukan orang-orang yang cukup peduli dengan agenda tersebut.


Agenda reformasi TNI adalah agenda yang sangat penting, karena agenda itu sebenarnya juga sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. TNI yang profesional yang tidak berbisnis dan berpolitik akan bisa menjaga keamanan bangsa ini secara komprehensif, di antaranya mampu menjaga para nelayannya saat mencari ikan di wilayah Indonesia dan mengusir nelayan asing ketika beroperasi ilegal di lautan Indonesia. Dirgahayu TNI.



Tidak ada komentar: