27 Oktober 2008

Saksikan Drama 19 CPNSGate

Oleh Tigor Munthe

Drama kasus CPNSGate Pemko Siantar bisa jadi merangkak ke frame anti klimaks di tangan Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono. Dalam gelar perkara di markasnya Jalan Sudirman Siantar, Jumat (24/10/2008), polisi menepis sangkaan banyak orang kalau Wali Kota RE Siahaan sudah menjadi ‘pesakitan’ tersangka. Sebenarnya sangkaan itu beralasan, karena wali kota sangat dominan berperan melahirkan CPNSGate 2005. Sebagai bidan, wali kota memberikan jalan terhadap 19 orang untuk bisa memiliki alat legitimasi sebagai anak birokrasi. Dia pakai rahim Panitia Seleksi yang sejak semula sudah dibuahi oleh zat bernama kolusi korupsi dan nepotisme.

Malang benar, anak-anak birokrasi itu (19 orang CPNS) sepanjang hari harus menggunakan jubah ‘haram’ karena ulah persetubuhan gelap yang tidak pernah sesungguhnya mereka harapkan menjadi ‘ibu kandung’ mereka.

Simak saja beberan demi beberan sang penyidik kasus Aiptu Sawal Siregar ketika menjadi presentator gelar perkara. Di hadapan puluhan wartawan dan aktifis LSM, dia malah urai satu per satu apa cikal bakal kasus. Sejak dari proses rekrutan hingga modus kejahatan.

Poin menarik sekaligus krusial ialah : sesuai analisis yuridis penyidik, RE Siahaan sebagai Penanggungjawab, Tagor Batubara sebagai Ketua Panitia, Morris Silalahi sebagai Sekretaris Panitia dan Tanjung Sijabat, mantan Kepala BKD, telah melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi pasal 5, 21 dan 22 yaitu melakukan perbuatan yang menguntungkan diri keluarga dan kroninya, serta mengakibatkan kerugian orang lain serta negara.

Mereka dengan seenaknya, tak ubahnya Pemko adalah miliknya, mengatur anak dan kerabatnya bisa lulus menjadi CPNS 2005 meski kalah dan tidak ikut ujian.

Kira-kira begini dia skenario drama CPNSGate yang dipresentasikan polisi di hadapan gelar perkara : RE Siahaan setuju 19 nama ilegal itu diusuli ke Menpan untuk diterbitkan SK oleh BKN, Morris Silalahi mengemis ke Tagor Batubara agar borunya ikut dalam daftar 19, Tagor Batubara oke saja sepanjang bosnya tidak keberatan, asal anaknya juga gol dan Tanjung Sijabat tahu jika ada 10 jatah periode sebelumnya yang lowong, maka borunya bisa saja ditumpangkan di daftar 19 itu.

Variabel merugikan orang lain, melakukan permufakatan, melawan dan melanggar hukum, klop sudah! Nah, lho polisi hanya sebut satu tersangka, Morris Silalahi. Lalu dua lainnya, berikut Tagor Batubara sudah duluan ke alam nirwana, tidak tegas disebut sebagai apa. Kalau cuma saksi, barangkali itu sudah pasti. Tapi sebagai tersangka polisi masih bimbang atau sama sekali tidak berani? Entahlah…

Tapi kalau menurut polisi, kekurangan fakta. Pengakuan seorang Morris Silalahi semata tidak kukuh untuk memberikan label tersangka pada bosnya RE Siahaan. Sayang (untung?) Tagor Batubara keburu permisi menghadap Sang Pencipta. Padahal, pengakuan dari dia sangat dibutuhkan untuk membidik ‘Presiden Siantar’ itu.

Katanya, polisi belum angkat tangan. Mereka tetap saja bekerja untuk memenuhi ‘selera’ publik atau siapa saja yang berkeinginan agar ‘sang sutradara’ drama CPNSGate masuk dalam kursi pesakitan atau demi memuasi rasa haus dan lapar akan tegaknya keadilan di Negeri Siantar ini.

Karena toh, polisi berharap pelimpahan berita acara perkara (BAP) atas nama tersangka Moris Silalahi ke jaksa boleh menjadi entry point penguakan keterlibatan sang sutradara, yang sesungguhnya sudah ada. Barangkali polisi butuh suara dan jari telunjuk lain, selain suara dan jari Morris Silalahi yang mengarah ke Jalan Merdeka di Balai Kota atau Markas Kekuasaan di Jalan MH Sitorus.

Itu makanya, jurus pamungkas bernama ijin pemeriksaan dari Presiden RI siap digelontorkan jika jaksa meminta. Polisi sudah gelar perkara di Mabes Polri pada 27 Agustus 2008. Saat itu dipimpin Kepala Biro Analis Bareskrim Mabes Polri di Jakarta.

Kesimpulan dari gelar perkara, Polres Simalungun diberi petunjuk untuk mengajukan berkas perkara ke kejaksaan dengan tersangka Kepala BKD Drs Morris Silalahi. Untuk selanjutnya, Polres Simalungun menunggu petunjuk dari kejaksaan.

Itupun, toh saja publik tersentak kaget dengan analisis yuridis polisi. Jika memang sudah memenuhi unsur, kenapa polisi tidak tulis saja tambahan gelar tersangka itu, untuk Tanjung Sijabat atau RE Siahaan misalnya. Ah, analisis yuridis bisa jadi adalah zat mati. Dia menjadi zat hidup jika sudah disuapi energi yang bisa jadi adalah fakta, bukti atau saksi yang punya nyali bernyanyi di pengadilan nanti.

Orang lalu bertanya, ada apa dengan polisi? Apakah menerapkan azas kehati-hatian? Apalagi yang mau ditahbiskan dengan gelar baru sebagai tersangka adalah pejabat nomor satu di Negeri Siantar? Maybe yes, maybe not!

Betul, gelar perkara yang disajikan polisi adalah gerak langkah maju. Patut diapresiasi dan layak disanjung, karena baru pertama kali terjadi. Bahkan menurut Kapolres Rudi Hartono, untuk jajaran Polres di Sumut, Polres Simalungun yang berani unjuk gigi dengan ciri transparansi ini.

Tetapi, tetap saja ada gumpalan tersembunyi yang patut diklarifikasi, semoga itu bukan alat justifikasi atas kemandekan polisi mengejar bukti. Katakanlah, dengan agenda gelar perkara, publik lalu oke dan sepakat saja kalau RE Siahaan tidak usah lagi jadi tersangka, cukup jadi saksi. Karena seperti kata polisi, dibutuhkan dua pengakuan, dan itu tidak akan didapat dari (maaf) orang yang sudah mati. Lalu berharap ada pengakuan RE Siahaan di pengadilan, apa iya mau mengaku sendiri? Apa iya dari para panitia lain yang merupakan anak buahnya?

Tapi yah, optimisme polisi yang berjanji akan terus mengejar fakta-fakta segar, selayaknya memang dibungkus dan diamini. Sikap kritis dari semua pihak, apakah pelapor, politisi, wartawan, warga atau siapa saja yang mau hukum ditegakkan di Negeri Siantar ini sejatinya menjadi energi polisi. Selamat mencari bukti-bukti demi tegakknya keadilan di kota ini. Ditunggu!

Tidak ada komentar: