21 Oktober 2008

Politik Panci

Oleh Tigor Munthe

Aku terpaksa meminjam kalimat ini : “Siapapun tahu panci kalau dipukul bunyinya kedomprengan. Tidak ada nada dasar yang cocok. Seorang pemimpin yang terlalu banyak bicara dan terlalu kuatir akan citra, tetapi ia tidak cakap menyelesaikan panci

Kalimat itu merupakan salah satu rangkaian tulisan Sukardi Rinakit dalam bukunya Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare). Jalinan kalimat itu mendadak sontak mengusik, manakala melongok kondisi yang terjadi di Kota Siantar.”

Pemilu 2004 terpilihlah 30 anggota DPRD Siantar dan Pilkada Siantar 2005 terlantiklah Walikota/Wakil Walikota pilihan rakyat. Lalu ada satu fakta politik, sejak dua institusi politik produk zaman reformasi itu hadir, bahwa kondisi Kota Siantar secara makro tidaklah mengalami pertumbuhan memadai dalam segala aspek.

Mau bukti? Menyangkut pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan jumlah penduduk berkisar kurang lebih 250 ribu jiwa ini, tidak tampak nyata.

Peningkatan dan perluasan infrastruktur salah sasar. Contohnya, pembukaan jalan tembus Sutomo-Pane atau pembukaan jalan lingkar luar ( Outer Ring Road ) yang menelan dana milyaran rupiah, secara ekonomi hanya menguntungkan segelintir pihak. Ironis, pembangunan fisik seperti jalan yang seharusnya di daerah pinggiran, ternyata belum tersentuh secara menyeluruh. Praktek tambal sulam masih terus berjalan di sejumlah ruas jalan pusaran inti kota .

Vulgar bisa disaksikan, bagaimana sesungguhnya pengelolaan sektor transportasi tidak tepat. Laju pertambahan jumlah kendaraan (angkutan kota , mopen) dan ijin trayek, tidak berbanding lurus dengan kualitas dan kapasitas jalan yang tersedia. Akibatnya, selain merugikan rakyat dengan sulitnya akses jalan, juga memunculkan persaingan tidak sehat di kalangan penggiat transportasi, baik sesama pengusaha angkutan, awak angkutan dengan pengusaha atau sesama awak angkutan yang mengebut mengejar setoran dan uang makan.

Ada lagi, industri kecil atau koperasi sebagai salah satu tulang punggung penggerak ekonomi rakyat ternyata stagnan. Banyak pengrajin tenun ulos di sentra-sentra industri rumah tangga masih tertindas secara modal sehingga sulit mengembangkan usaha. Dorongan pendirian koperasi di kalangan pengrajin ini, dalam rangka membantu pergerakan usaha pula tampak tidak ada.

Yang lebih miris adalah, para pedagang kecil atau PKL (Pedagang Kaki Lima) yang terkonsentrasi di pasar tradisional Pasar Horas dan Pasar Dwikora, selain berkutat dengan terbatasnya modal usaha juga masih terhempas secara politik dengan adanya kebijakan penggusuran tanpa solusi lokasi.

Lalu, dalam tataran manajemen pemerintahan tampak terjadi booming tenaga honorer. Sulit mendeteksi, honorer-honorer itu berfungsi efisien dan efektif mendukung roda pemerintahan. Kuat dugaan, mereka justru menjadi beban karena menggemukkan organ-organ kerja yang ada.

Pola rekrutmen pejabat masih berlaku pola like or dislike. Peran Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) dalam menentukan seseorang layak didudukkan dalam jabatan dinas, badan, bagian dst, bisa jadi tereliminasi oleh referensi subyektif seorang kepala daerah. Faktor kualitas dan kemampuan dibuat di urutan kesekian kali. Paling mutakhir adalah suksesi Direktur RSUD Dokter Djasamen Saragih, yang kemudian menuai kisruh.

Pelaksanaan prinsip Pemerintahan Yang Bersih dan Pemerintahan Yang Baik belum berlangsung sesuai rel. Karena eksekutif ternyata masih sangat mudah terjebak pada praktek korup dalam urusan anggaran. Ada juga rekrutmen Pegawai Negeri Sipil melalui pintu Seleksi CPNS masih dinodai curang yang kemudian berujung pada proses hukum. Banyak lagi.

Jujur, semua itu bisa berlaku karena memang elit kita, politisi di legislatif dan pemangku kekuasaan eksekutif sangat melekat menggunakan Politik Panci. Mengutip penggalan kata milik Sukardi Rinakit di atas, panci jika dipukul suaranya tidak jelas dan dompreng. Politisi kita di kota ini harus diakui barangkali masih sebatas analogi panci. Banyak bicara. Ribut janji ketika mencalonkan diri sebagai calon legislatif dan ketika mencalon sebagai kepala daerah.

Sayangnya apa yang ‘diributkanya’ ketika berhadapan dengan rakyat, ternyata memang semua tidak substansif, cenderung manipulatif yang tujuan dan targetnya guna meraup dukungan suara minimal untuk duduk sebagai punggawa legislatif dan eksekutif.

Lihatlah, bagaimana walikota dengan rencana menjual atau meruislag SMA Negeri 4 kepada investor, yang katanya bermuara pada pemajuan pendidikan serta penumbuhan sektor usaha di lokasi yang nantinya eks gedung dan lahan salah satu SMA favorite itu. Itukah salah satu janji ketika menebar visi misi Pilkada silam?

Gugatannya, apakah rencana menggadaikan SMA Negeri 4 kepada siapa saja, benar-benar menjamin upaya peningkatan pendapatan pedagang lemah atau kecil, jika kelak lokasi SMA Negeri 4 dijadikan sarana publik modern? Atau meningkatnya kualitas pendidikan akibat pertambahan jumlah gedung sekolah baru nantinya?

Tengoklah juga, aksi DPRD melengserkan Walikota/ Wakil Walikota dengan dalih pelanggaran hukum dan undang-undang. Jujur, apakah ini bagian dari program yang diributkan sejak awal di hadapan rakyat? Terlebih melihat wakil rakyat (parpol/pribadi) itu menggunakan segala potensi dan memaksakan ketentuan yang ada? Sungguhkah langkah politik itu memang merupakan pintu masuk mensejahterakan rakyat?

Tapi memang realitas politik yang terpampang, hanya panci kosong dan ketika dipukul suaranya kedomprengan. Ribut soal berbagai hal, tetapi tidak menyelesaikan soal apapun! Yang ada hanya ribut-ribut politik tidak menentu.

Bukan cuma itu, lihatlah ulah mereka, akibat perseteruan politik dua kubu, terhempas sudah komunikasi politik kelembagaan. Ya itu tadi, sama-sama ribut dengan pukulan panci masing-masing. Tidak lagi saling mendengar. Itu makanya fakta terakhir, sampai-sampai pembahasan Perubahan APBD atau jangan-jangan pembahasan APBD ke depan tidak terbayangkan akan dilakukan. Karena sudaah saling diam-diaman.

Betul, Politik Panci yang asal bunyi, dompreng, keras tapi tanpa harmoni nada serta tidak enak didengar, tidak memberi makna apapun terhadap kepentingan rakyat secara langsung. Tapi jangan silap, akibat dua kubu yang menerapkan politik model ini, bisa dipastikan ke depan rakyat tidak akan mau mendengar apalagi percaya mereka, karena ribut tak karu-karuan, tak ubahnya panci!

(Penulis adalah Jurnalis yang bekerja di CAS FM Siantar Simalungun)


Tidak ada komentar: