15 Oktober 2008

Pers Bukan Cuma Sarang Bualan Apalagi Jualan Pemilu 2009

Pemilihan Umum (Pemilu) tinggal hitungan bulan sebelum tiba pada April 2009. Pemerintah dengan segala jerih payah dan energi yang dimilikinya telah melakukan sejumlah persiapan penting dan mendesak guna melancarkan serta mensukseskan agenda lima tahunan tersebut.

Salah satu fakta yang sudah disiapkan pemerintah bersama DPR adalah proses pelahiran sejumlah ketentuan yang akan menjadi “kitab suci” pelaksanaan, seperti UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, kemudian digenjot dengan pelahiran UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik sebagai pengganti ketentuan sebelumnya yakni UU Nomor 31 Tahun 2002, dan terakhir adalah lahirnya UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, guna menggantikan ketentuan
sebelumnya UU Nomor 12 Tahun 2003.

Melihat kesibukan pemerintah dan DPR berwujud pelahiran karya politik berupa ketentuan yang kelak memayungi seluruh tahapan Pemilu 2009 itu, tidak mau ketinggalan (sejatinya) sejumlah elemen strategis juga melakukan kesibukan serupa yang roh-nya tidak jauh dari rangkaian proses menuju dan mendukung pewujudan impian menjadikan Pemilu 2009 sebagai pemilu milik rakyat.

Elemen strategis dimaksud, selain institusi-institusi bentukan negara sekelas Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, Kejaksaan bahkan Peradilan yang kelak bergerak dan beraplikasi dalam segmen proses sengketa dan pidana pemilu nantinya, juga elemen civil society (masyarakat sipil) seperti lembaga swadaya masarakat (LSM) dan pers, harus ikut berbenah.

Elemen ini, mesti sadar sepenuhnya jika proses dan tahapan pemilu yang tengah digadang-gadang oleh seluruh perangkat yang mengitari seperti KPU, Bawaslu, DPR, bahkan Parpol tidak selayaknya diperbiarkan bergulir dan bergerak sesuai selera tanpa memasukkan rasa yang memuati dan memboboti menu-nya rakyat sebagai pemilik tunggal kedaulatan seluruh proses politik dan demokrasi yang tengah dirancang bangun oleh negara.

Gerakan yang didesain dan kemudian digaungkan secara nasional oleh sejumlah elemen masyarakat yang konsern seperti ICW, JPRR, Lingkar Madani, SOPo, dll, beberapa waktu lalu di Jakarta dan Siantar berupa Deklarasi Gerakan Tidak Pilih Politisi Busuk (Ganti Polbus) misalnya, layak diapresiasi, diduplikasi bahkan dirangkai temali oleh elemen civil society berikutnya yakni lembaga pers.

Kalau kelompok atau aliansi LSM bertolak dari sebuah ide tentang kampanye “pembusukan” politisi-politisi yang menurut dan merunut fakta yang ada, bahwa kinerja mereka (politisi-politisi) nyata-nyata tidak berkolerasi sehat dengan urusan rakyat, lalu kemudian dicap sebagai ‘barang busuk’ karena tidak akan mungkin mendatangkan rasa manis dan segar dari jalinan-jalinan politiknya di parlemen, maka tugas berkelanjutan itu harus disambut secara cerdas oleh lembaga pers melalui perannya yang pasti lebih memiliki peran energik dan penetratif.
Hanya saja memang, dalam mengkayuh perannya, lembaga pers harus cerdas melihat dan mengamati : jangan sampai kampanye atau sosialisasi apapun yang dimainkan siapapun (termasuk para pihak yang menggaungkan Politisi Busuk misalnya) tidak justru menjebak apalagi mau dijitak secara bulat-bulat oleh muatan tersembunyi yang bisa saja disponsori oleh kepentingan yang memang bernafsu mengkondisikan muatan bertajuk pembenaran apalagi pembantaian.

Atau katakanlah misalnya orderan berupa pemasangan iklan politik dari caleg (calon legislatif), parpol atau tim kampanye, tidak lalu menjadikan pers atau perusahaan penerbitan atau penyiaran cuma senyum-senyum sembari menghitung profit yang akan diterima dari nilai orderan yang membludak, karena memang aliran dana segar seperti itu hanya bisa dinikmati cuma satu kali dalam lima tahun.

Meski sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pendidik (to educate), lembaga pemberi informasi (to inform) dan lembaga penghibur (to entertain), logikanya pers tidak harus diam kaku dengan tri tunggal ini. Pers idealnya harus mampu sebagai penganalisa (to analisys) dan pemberi solusi (to solution) atas seluruh tahapan dan proses yang berkisar dan berputar di Pemilu 2009.

Bagaimana pers, melalui ruang editorial, opini, atau rubrik yang khusus menyerap aspirasi rakyat menyangkut pemilu (suara pembaca misalnya) secara sadar sesadarnya menyusupkan secara vulgar kritikan-kritikan atas proses dan tahapan pemilu yang tengah berlangsung. Atau bahkan bila perlu secara sengaja mengarahkan sudut pandang (angle) pemberitaan dalam format yang kritis tanpa harus meninggalkan obyektifitas dan akurasi bernaas.

Patut dicatat, saat ini sudah cukup banyak tahapan Pemilu 2009 berjalan di garis keanehan dan lawak-lawak. Mulai dari belum terbentuknya instrumen penyelenggara seperti pengawas pemilihan umum di tingkat provinsi (di beberapa daerah) hingga kelurahan, pembentukan PPK dan PPS yang terlambat (di beberapa daerah), transisi dari proses rekrutmen KPU Provinsi, Kabupaten/Kota yang diyakini membuyarakan konsentrasi tugas internal (apalagi banyak anggota KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota lama masih berambisi duduk ulang), sosialisasi dan pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang tidak ‘mengggaung’, tarik ulur penggunaan ketentuan caleg terpilih hingga wacana revisi terbatas UU Nomor 10 Tahun 2008 bahkan sampai pada menyangkut soal belum cairnya anggaran ke seluruh perangkat penyelanggara, menjadi menu-menu utama dalam skenario pra April 2009.

Untuk itu, pers memang tidak selayaknya diam apalagi adem-adem dengan kondisi ‘sumbat’ ini yang kelak bisa terakumulasi menjadi konflik memuncak. Tidak cukup hanya menjadi ‘sarang bualan’ dan ‘sarang jualan’ iklan politik para pemangku kepentingan atau juga para pemangku legitimasi kekuasaan, pers dengan power yang dimilikinya bisa saja melecut untuk mempercepat yang lambat, atau bahkan meredam potensi kacau dalam Pemilu 2009 kelak. Karena memang pers adalah institusi cerdas dan bernaas yang bukan bukan cuma menjual suara, gambar apalagi kertas!
*Penulis adalah wartawan CAS FM Siantar Simalungun dan terdaftar sebagai anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independent) Kota Medan .



Tidak ada komentar: