15 Oktober 2008

Golput Oh Golput

Salah satu fenomena yang mentradisi sekaligus mencengangkan dalam setiap event politik kerangka transisi kekuasaan, baik dalam Pemilu DPR, DPRD dan DPD, Pilkada, Pilprer di negara ini, adalah tingginya angka golongan putih (Golput). Golput merupakan kelompok masyarakat yang tidak menyalurkan hak pilihnya pada saat proses pemungutan suara berlangsung, tentu dengan berbagai alasan dan penyebab.

Dari sembilan kali pelaksanaan Pemilu DPR di negara ini, sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2004 angka golput variatif, namun dalam beberapa penyelenggaraan ada kecenderungan meninggi secara tajam. Golput dalam Pemilu 1955 mencapai 12,34 persen, lalu pada Pemilu 1999 sedikit turun mencapai lebih dari 10,40 persen. Namun patut dicatat angka ini sebenarnya sudah sangat jauh di atas Electoral Threshold (ET) yang cuma 2 persen.

Pada Pemilu 2004, golput mencapai puncak terbesarnya dalam sejarah pemilihan umum yakni mencapai 23, 34 persen. Angka itu adalah 34.509.246, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS sebanyak 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Jumlah ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu Partai Golkar meraih 24.480.757 (16,54 persen). Sedangkan jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu 2004 adalah 148.000.369.

Fenomena serupa juga terjadi sejak Pilkada digelar Juni 2005. Yang sangat anyar adalah pelaksanaan Pilkada beberapa provinsi di Jawa. Dalam hitung-hitungan angka antara pemenang Pilkada dengan golput, di beberapa daerah ternyata golongan ini jauh melesat dengan raihan yang sangat tinggi melebihi angka capaian para kepala daerah yang dinyatakan pemenang terpilih.

Berdasarkan data yang diperoleh penulis, beberapa daerah yang menggelar Pilkada dengan angka golput cukup tinggi seperti Pilkada Jatim pada putaran pertama saja sudah mencapai 39,2 persen. Dari 29.061.718 pemilih, sekitar 11,4 juta diantaranya tak menggunakan hak pilih. Dua pasangan teratas yang akan bertarung pada putaran kedua hanya sanggup di 25 hingga 26 persen.

Pilkada DKI Jakarta pada Agustus 2007 golput sebesar 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Fauzi Bowo yang dicalonkan oleh banyak partai politik, termasuk Partai Golkar dan PDI-P, hanya meraih 2.010.545 atau 35,1 persen suara.

Pilkada Jawa Barat pada April 2008 mencapai 32,7 persen. Ahmad Heriawan terpilih sebagai Gubernur hanya memeroleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen.

Pilkada Jawa Tengah angka golput sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih. Pemenangnya pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang dicalonkan PDI-P dipilih meraup 43,44 persen pemilih.

Kemudian di Sumut, dimana bahkan pemenang Pilkadasu 16 Mei 2008 lalu sesunguhnya adalah golput yakni mencapai 40,01 persen dari 8, 4 juta pemilih terdaftar. Sedangkan pasangan terpilih Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho hanya mengantongi 28, 31 persen suara.

Meski tidak bisa dipungkiri di beberapa daerah yang sudah menggelar Pilkada ada juga yang angka golputnya di bawah 30 persen, seperti PIlkada Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. Namun hal itu tidak bisa menutup realitas, jika sesungguhnya secara umum angka golput memang merajai hampir seluruh event politik yang dilakukan di negara ini, termasuk Pilpres 2004, golput berkisar di angka 40 persen.

Pendataan Pemilih dan Figur Parpol Buruk

Melihat fakta angka golput yang sangat tinggi terutama di fase Pemilu 2004 dan Pilkada di beberapa daerah, sejumlah kalangan pengamat dan praktisi mulai digerahkan dengan keberadaan golput ini. Sejumlah faktor penyebab golput mulai diurai dan dianalisa.

Jeirry Sumampaow dari Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPRR), menyebut biang keladi meroketnya golput adalah akibat pendataan pemilih yang acak-acakan dan amburadul. Hal itu dimulai dari data penduduk yang diserahkan pemerintah kepada KPU, sangat jauh dari akurat. KPU yang kemudian melakukan pemutakhiran ikut-ikutan menjadi tidak akurat dan acak-acakan. Sebagai contoh, kata Jeirry, orang-orang yang terdaftar sebagai pemilih tetap ternyata ada yang sudah lama pindah dan ada yang sudah meninggal.

Hal senada disampaikan mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah. Menurut dia, bahwa tingginya angka golput karena proses pendataan pemilih yang amburadul. Apalagi menurutnya, metode pendaftaran pemilih menggunakan sistem daftar pemilih aktif, dimana masyarakat sendiri yang aktif bertanya dan mendaftarkan diri sebagai pemilih, sementara itu, petugas sifatnya pasif menunggu.

Sistem ini, kata Mulyana, turut menyumbang tingginya angka golput. Sebab, masyarakat yang sudah jenuh dan masa bodoh dengan seluruh proses pemilu, tidak terbantu untuk terdaftar sebagai pemilih.

Faktor lainnya adalah kejenuhan melihat parpol dan figur-figur yang dijual parpol itu sendiri, baik dalam formasi calon legislatifnya maupun figur kepala daerahnya. Sejarah telah banyak mengajar masyarakat, proses transisi kepemimpinan dan kekuasaan ternyata tidak pernah memberikan perubahan dan perbaikan secara langsung kepada masyarakat sehingga kemudian memunculkan sikap apatis dan itu lalu dikonversikan dalam sikap politik golput ketika momen politik kembali tersaji.

M. Fadjroel Rachman, seorang pengamat politik mengatakan, fenomena golput terjadi karena para calon pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat, belum sesuai yang diinginkan. Akibatnya, sebagian masyarakat memilih untuk golput.

Arief menyebut di era demokrasi liberal saat ini, golput terjadi karena tak ada figur yang mumpuni dan didambakan rakyat. Beda dengan golput di era Orde Baru. Saat itu, mereka tak memilih untuk menunjukkan perlawanan terhadap rezim.

Menekan Golput

Selain harus memperbaiki sistem pendataan pemilih dan hal teknis lainnya, usul kencang dan menantang untuk mengeliminir tingginya angka golput datang dari Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR RI. Ketika menjadi pembicara dalam diskusi yang difasilitasi Koalisi Media baru-baru ini di Pematangsiantar, Akbar menawarkan agar partai politik kreatif dalam ruang politiknya.

Parpol menurutnya harus kreatif dalam mengelola isu yang akan “dijual” kepada masyarakat. Isu yang nantinya bisa memancing daya tarik masyarakat untuk memastikan ikut atau tidak berpartisipasi dalam pemilu. Dalam isu yang dilesakkan itu nantinya harus ada sesuatu yang baru dan baiknya bukan yang normatif.

Ide mentereng juga datang dari Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Imam Suprayogo (Suara Pembaruan Daily Edisi 30 Juli 2008). Menurut dia salah satu bentuk jitu untuk menekan golput adalah dengan melancarkan sosialisasi gencar tentang pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi.

"Kalau mayoritas rakyat merasa pemilu itu memilih pejabat, dapat diprediksi golput akan menggelembung, karena mereka merasa aneh, pejabat kok dipilih. Beda lho kalau rakyat diminta memilih pemimpin. Tanpa diminta, mereka pasti datang berbondong-bondong, karena mereka memang butuh pemimpin, bukan butuh pejabat," ujarnya.

*(Penulis adalah redaksi CAS FM Siantar Simalungun dan anggota AJI Medan )




Tidak ada komentar: