15 Oktober 2008

Entaskan Golput !

Oleh Tigor Munthe (terbit di Metro Siantar Edisi Oktober 2008)

Salah satu ‘sosok’ seram dan menakutkan dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, legislatif dan presiden di negara ini adalah kehadiran golongan putih atau Golput. Dia seram karena selalu tampil dengan angka-angka menakjubkan yang kemudian mampu berkompetisi dengan angka para pemenang yang ditetapkan. Sebuah indikasi jika gelaran pemilu itu tidak dilegitimasi rakyat sepenuhnya. Bukankah cukup menakutkan?


Fakta golput selalu luput dari amatan kontestan pemilihan. Partai politik dalam kontes Pemilu Legislatif dalam sejarah berulang kerap lebih heboh asyik dengan dirinya sendiri, soal jualan visi dan misi, koar-koari program dan sodor-sodori caleg. Malangnya semua dalam wadah dangkal dan basi, tanpa isi dan amunisi bernyali.

Tingkah serupa tampak pada sosok kandidat-kandidat kepala daerah yang bernafsu menjadi pemimpin eksekutif daerah. Dengan trik, strategi usang dan afkir, kelompok yang satu ini berlenggok di jerih pemasaran apakah soal “ketokohan” kandidat, apakah soal program jika kelak duduk di kursi empuk, apakah soal membangun rakyat atau kuburi penyakit-penyakit yang hambat rakyat menikmati kemajuan. Tapi kesemuanya, sekali lagi, dangkal dan tak berisi, bahkan belakangan cuma ingkari hati rakyat.

Itu barangkali mengapa banyak orang atau rakyat yang disuruh memilih atau terpaksa memilih karena disesaki uang dan sembako, kemudian berhenti untuk tidak salurkan hak pilih. Karena siapa bilang rakyat miskin atau rakyat yang didata dan dipaksa didata untuk memilih adalah bodoh lalu gampang disuapi dengan materi usai menabur janji.

Ini sebuah fakta amat sangat kuat, banyak rakyat ketika hari pemilihan dilangsungkan memilih untuk tidak memilih, lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari, menarik beca, berjualan keliling, berladang atau berjualan nasi. Dalam benak rakyat barangkali terpatri, memilih kayaknya sama saja dengan tidak memilih. Kerana pertanyaannya : Adakah yang bertambah atau berubah maju dalam 5-10 tahun terakhir, ketika suara dan hati untuk memilih diarahkan ke kertas di bilik suara yang berisi gambar dan nomor pada kandidat atau partai politik?

Lantas datanglah gugatan atau tudingan sejumlah pengamat dan politisi yang sebut jika golput adalah sikap yang salah, dosa bahkan haram, karena dianggap tidak mau tahu dengan kemajuan bangsa ini. Mereka sebut, dengan tidak menyalurkan hak politik atau golput berarti tidak berkeinginan untuk mengubah bangsa ini ke aras yang lebih baik.

Tapi siapa berani sangkal, jika kelompok minoritas di negara ini, yakni para figur yang duduk di legislatif (DPR, DPRD) dan pemerintahan, lebih korup, lebih amoral, lebih apolitis dan lebih tak berkeinginan mengubah negara ini ke aras yang lebih baik, dengan kapitalisasi jabatan yang disandangnya atau dengan gurita KKN misalnya, dibanding kelompok mayoritas yakni rakyat pemilih yang terus-terusan berjuang memperbaiki hidupnya?

Fakta Sebab Golput

Meski tidak harus sebut rakyat golput sebagai hantu pemilu sangkin seramnya, tetapi postur rendahnya partsipasi politik rakyat tidak harus disudutkan dengan stigma-stigma miring atau nada mengancam, dengan menyebut golput adalah dosa atau haram misalnya. Fokus yang dikeringati siapapun sejatinya adalah cari akar golput lalu entaskan.

Sebutlah diantaranya :

-Penyelenggara Pemilu kurang serius dan intens lenyapkan atau minimalkan golput. Sejauh ini, hampir seluruh elemen dan instrumen pemilu tampak hanya sekedarnya dalam membangunkan partisipasi politik rakyat. Topeng sosialisasi yang digadang-gadang tidak terlihat bergreget. Selain rendah dana, rendah frekuensi juga rendah bobot dan isi.

-Sistim Pemilu dan segala persoalan teknisnya yang belum pas dan tertata dengan baik. Salah satu contoh yang kerap menjadi persoalan adalah menyangkut kartu pemilih.

-Partai Politik atau kontestan Pilkada terkesan onani politik. Bermimpi bisa dirikan partisipasi politik rakyat cuma dengan visi, misi dan program yang korelasinya tidak kait mengkait dengan kehidupan langsung rakyat. Memaksakan program yang rohnya berasal dari pikiran sendiri, bukan kebutuhan rakyat pemilih.

-Partai Politik atau kontestan Pilkada lebih banyak ingkar janji, minim realisasi, ujungnya kepercayaan rakyat pemilih degradasi.

-Partai Politik juga terlihat tidak ideal dalam menjalankan fungsi sebagai media pencerdas politik rakyat, karena partai politik kerap lebih disibuki oleh kerja-kerja konsolidasi internal struktur, abai akan rakyat di sekelilingnya yang tidak masuk dalam tataran struktur. Padahal rakyat yang diabai itu justru lumbung terbesar yang siap dituai di masa pemilihan.

-Pemimpin yang didudukkan, banyak bejat dalam segala aspek, apakah korupsi, kolusi, nepotisme, kriminal hingga amoral.

-Sistim politik dan pemerintahan yang belum pro rakyat, karena banyak regulasi yang lahir dari pemerintah dan legislatif yang justru merugikan rakyat, padahal keberadaan mereka (pemerintah dan legislatif) lahir dari rahim dan suara rakyat.

Lalu, merujuk beberapa fakta kasat mata itu, ada baiknya golput tidak lagi menjadi hantu pemilu. Itupun sepanjang fakta-fakta itu dieliminasi secara dini oleh pihak yang paling bersentuhan langsung dengan proses pemilihan. Ibarat dokter spesialis yang gampang dan ahli mendeteksi penyakit tertentu, dan dengan mudah pula menyodorkan resep obat yang bisa menghentikan penyakit, sangat dibutuhkan dokter-dokter golput yang saat ini mendapat tugas dari negara untuk secepatnya menghentikan golput-kalaupun itu sebuah penyakit dan bukan dosa atau haram.

Meski tidak mudah, tetapi sungguhnya tidak sulit. Karena elemen dan instrumen yang sudah ada saat ini, seperti KPU, Panwas, Pemantau, Partai Politik, dan kelompok konsern lainnya, memiliki potensi dan daya untuk lakukan eliminisasi golput dalam titik yang paling ditoleransi. Agar apa yang menjadi impian demokrasi yakni sebuah pemilu disebut yes dan oke sepanjang tingkat partisipasi politik rakyat sudah benar-benar tinggi dan pada level sadar, benar sungguh terwujud! (Penulis adalah wartawan CAS FM)



Tidak ada komentar: