16 Juli 2011

Wartawan Juga Buruh

Oleh : Tigor Munthe
Hari buruh se dunia, kerap dinamai May Day, yang jatuh 1 Mei 2011 sudah terpapasi. Seluruh dunia memeringati momentum itu dengan beragam cara dan aksi. May Day lahir dari sikap heroik ratusan ribu pekerja atau buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886. Kala itu mereka menuntut pengurangan jam kerja dan sejumlah hak-hak buruh lainnya. Aksi itu secara massif juga terjadi di belahan dunia lainnya. Aksi dinilai berhasil menekan pemerintah di berbagai Negara. Lalu tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh se dunia, diperingati setiap tahunnya.

Dalam aksi May Day 1 Mei 2011, para buruh di Indonesia tidak mau tinggal diam. Sejumlah agenda mereka bawa dan usung buat disampaikan ke publik, sekaligus berharap disahuti para pengambil keputusan di negeri ini. Ada yang masih normative, ada pula yang terbilang baru, semisal tuntutan realisasi RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Yang menarik, dari etalase isu dan tuntutan yang dilesakkan para buruh, tercantol masih teriakan tuntutan upah dan kesejahteraan terhadap para jurnalis. Agenda ini amat kental diusung oleh organisasi pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam pernyataan sikap AJI Indonesia dan juga para pengurus AJI Kota yang tersebar di 29 kota di Indonesia, membeber ternyata urusan kesejahteraan jurnalis pun masih amat memperihatinkan.(baca www.ajiindonesia.org : Hari Buruh Sedunia 2011: Tolak Impunitas, Berikan Perlindungan dan Kesejahteraan Bagi Jurnalis).

AJI Indonesia menggarisbawahi, berdasarkan survey yang dilakukan di 16 kota, sejak Desember 2010-pertengahan Januari 2011, ternyata kesejahteraan jurnalis hingga saat ini amat rendah. Hal ini tidak lain karena pengusaha belum sepenuhnya sadar sesadar-sadarnya memberikan kesejahteraan terhadap pekerja pers.

Fakta yang ditemukan, banyak perusahaan media yang memberikan upah di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), bahkan amat banyak perusahaan media yang tidak memberikan upah kepada pekerja persnya. Hebatnya, banyak pula perusahaan media yang menjadikan wartawan/jurnalis layaknya loper alias tukang antar koran dan juga pencari oplah koran. Tidak sedikit yang menjadikan wartawan/jurnalisnya sebagai pencari iklan, dengan share fee yang lagi-lagi amat tidak adil pula itu.

Di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, jumlah wartawan/jurnalis yang diperkirakan mencapai puluhan bahkan (mungkin) mencapai seratusan, bisa dihitung berapa yang menerima upah, baik yang di bawah UMK maupun yang sudah menerima bahkan di atas UMK. Barangkali juga bisa dihitung berapa yang memang sama sekali tidak menerima upah, meski yang bersangkutan melakukan kerja-kerja jurnalistik sebagaimana disebut dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 pasal 1 ayat 4 : “wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik.”

Sayangnya, para wartawan ini yang senasib dengan ratusan bahkan ribuan wartawan lainnya di Indonesia mengalami nasib serupa : upah dan kesejahteraan mereka tidak pernah diperhatikan bahkan diberikan para pengusaha media tempat mereka bekerja.

Persoalan pengusaha media tidak memberikan upah dan kesejahteraan, sepertinya semua orang faham. Entah kenapa didiamkan begitu saja, termasuk para pekerja media itu sendiri. Melihat hasil survey AJI Indonesia, bahwa mayoritas jurnalis/wartawan menerima upah tidak layak bahkan sama sekali ada yang tidak digaji/diupah, maka menurut hemat penulis persoalan ada pada para pekerja itu sendiri. Kenapa diam dan kenapa tidak dituntut kepada pengusaha media tempatnya bekerja, layaknya para pekerja lainnya yang kerap berteriak menuntut hak-hak normatifnya?

Sesungguhnya, ada sebuah dilema atau konflik internal di kalangan pekerja pers/ media itu sendiri soal status yang dia sandang : wartawan atau jurnalis. Masih banyak wartawan/jurnalis yang mengaku bahwa mereka bukanlah buruh atau pekerja. Itu sebabnya barangkali mereka enggan untuk ikut beteriak menuntut hak-hak normatifnya.

Menarik mendengar orasi seorang teman jurnalis dari Harian Jurnal Medan, M Gunawan Purba ketika berbaur melakukan aksi bersama ratusan mahasiswa dan jurnalis di depan DPRD Pematangsiantar, Senin (2/5). “Saya heran, masih saja ada kawan-kawan jurnalis yang mengatakan kepada saya bahwa mereka bukanlah buruh. Itu sebabnya mereka enggan ikut berdemo dalam aksi May Day ini!” teriaknya mengawali orasi ketika itu.

Yah, barangkali itulah salah satu penyebab mengapa urusan upah atau kesejahteraan jurnalis/wartawan tidak tuntas-tuntas. Bisa jadi banyak juga wartawan memosisikan diri sebagai kelas ‘atas’ di atas buruh. Sehingga merasa tidak perlu berteriak menuntut upah atau hak-hak normative sebagaimana para buruh yang sering mereka liput ketika berdemo.

Tapi benarkah jurnalis atau wartawan bukan buruh? UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 2 menyebut : “tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Lalu ayat 3 : “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Merujuk pasal 1 ayat 2 dan 3 dalam undang-undang itu, wartawan atau jurnalis bisa dikategorikan sebagai orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan jasa, yakni berupa karya jurnalistik yang memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mendasar bagi masyarakat yakni informasi. Artinya, wartawan atau jurnalis adalah buruh/pekerja.

Selanjutnya, sudah tentu atas hasil pekerjaan itu, wartawan atau jurnalis patut mendapat upah atau imbalan yang sumbernya dari pihak yang memberikan pekerjaan. Pasal 1 ayat 30 dan 31 menegaskan upah dan kesejahteraan adalah hak buruh/ pekerja.

Tentu yang memberikan adalah pengusaha tempatnya bekerja. Ini juga diatur dan ditegaskan dalam ayat 4 dan 5, udang-undang yang sama. Disebutkan bahwa yang memberikan upah dan kesejahteraan itu adalah pengusaha!

Secara tegas pula, UU Pers Nomor 40 tahun 1999 pasal 10 : “perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”

Pasal ini amat mudah difahami, bahwa perusahaan media harus memberikan kesejahteraan kepada wartawan. Bicara kesejahteraan, tentu bukan cuma upah tetapi hak-hak lainnya seperti asuransi, tunjangan dan lain sebagainya. Sekali lagi yang memberikan kesejahteraan adalah perusahaan, bukan siapa-siapa!

Balik-balik ke stressing focus, sesungguhnya wartawan atau jurnalis masuk dalam kategori buruh atau pekerja yang memang harus diberikan kesejahteraannya oleh pengusaha dan perusahaan media di tempat dia bekerja. Yang bilang itu adalah undang-undang. Cukup jelas hal itu disampaikan secara inklusif.

Penulis teringat ujar Alvin Husein Nasution, Pimpinan Redaksi (Pimred) Metro Siantar Group. Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan Pimred termuda, anak Siantar Man itu di lokasi Taman Bunga atau Lapangan Merdeka depan Siantar Hotel, di pertengahan April 2011 : “Metro Siantar Group sudah memberikan upah layak kepada para pekerjanya termasuk wartawan. Bahkan, perusahaan sudah pernah membagikan hasil keuntungan perusahaan kepada wartawan.”

Ujar Alvin itu barangkali sebuah penegasan jika perusahaan mereka sudah melaksanakan UU Pers terutama pasal 10 tadi. Penulis percaya, Alvin tengah pula menegaskan bahwa jurnalis juga buruh atau pekerja yang memang hak-haknya harus dipenuhi perusahaan tempatnya bekerja. Sekali lagi, perusahaan tempatnya bekerja, bukan bupati dan walikota!

Lalu jika ada orang yang mengaku sebagai wartawan atau jurnalis, tetapi sampai sekarang tidak juga menerima upah atau kesejahteraan dari perusahaan media mereka, meski mereka cukup produktif dalam karya jurnalistiknya? Apakah mereka tetap dikategorikan sebagai buruh? Barangkali ya, buruh yang tidak mau meminta gaji dan buruh yang diam-diam saja di tengah rimba intelektualitas jurnalistiknya.

Ah, apa susahnya mengaku dan tidak usah malu-malu : jurnalis juga buruh..!

(Tigor Munthe-Parsiajar Sian Siantar)

Tidak ada komentar: