28 Januari 2009

Woi Rakyat, Sadar !

(Oleh Tigor Munthe)

Salah satu tujuan digelarnya Pemilu tidak lain adalah dalam rangka memberikan kesempatan luas dan terbuka kepada rakyat untuk menjatuhkan pilihannya kepada calon pemimpin yang kelak akan membawa rakyat menuju keinginannya, setidaknya sejahtera dan maju.

Itu sebabnya Pemilu merupakan sebuah jembatan vital yang sangat menentukan ; akan seperti apa format kebijakan sebuah pemerintahan yang diisi para pemimpin hasil pilihan rakyat sebelumnya.

Tak pelak, pesta Pemilu 2009 yang nantinya dimainkan dalam dua etape besar, yakni memilih pemimpin politik di legislative (DPR, DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten dan DPD) dan pemimpin negara dan pemerintahan nasional (Presiden dan Wakil Presiden) akan menggambarkan seperti apa sejatinya pemimpin yang diutus rakyat ke kursi-kursi pemimpin dimaksud.

Itu artinya, seburuk atau sebaik apapun hasil pilihan rakyat nantinya dalam Pemilu 2009, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penuh rakyat. Rakyat tidak bisa misalnya mengutuki para pemimpin hasil pilihannya itu jika ternyata mereka tukang korupsi, bejat moral dan pekak suara rakyat. Karena yang memilih dan menghantar mereka ke singgasana kekuasaan pemegang kebijakan negara dan pemerintahan adalah rakyat itu sendiri melalui suara yang disalurkan pada saat pemungutan suara berlangsung.

Sebaliknya, jika ternyata para pemimpin itu kelak berbuat dengan baik, sesuai keinginan rakyat, yakni selalu mendahulukan kepentingan rakyat luas ketimbang urusan partai politik yang selama ini menjadi rumah politiknya, atau menampik godaan korupsi dari berbagai peluang dan kesempatan yang dimiliki serta pula selalu berjalan di koridor aturan main bernegara dan bermasyarakat, maka itu adalah juga merupakan buah manis dari sebuah pilihan yang semua bermula ketika sedang berada di tempat pemungutan suara : dimana setiap orang dari rakyat itu menjatuhkan pilihan suara kepada calon-calon pemimpin yang diyakini kelak mewujudnyatakan apa yang menjadi kontrak politiknya dengan rakyat ketika melakukan sosialisasi dan kampanye Pemilu.

Politik Pragmatis

Sebuah “tradisi” dalam pesta Pemilu kita, sikap-sikap pragmatis selalu muncul meningkahi berbagai pola kampanye dan sosialisasi yang digelar kontestan Pemilu. Selain mengumbar program, visi dan misi, sangat mudah ditebak banyak calon pemimpin, calon legislative misalnya akan terjebak dalam sebuah sikap politik pragmatis.

Sikap itu sesungguhnya merupakan lahan subur dari buah realitas rakyat yang masih miskin, tidak cerdas politik, atau apatisme politik yang mengakut berikut rezim-rezim pemerintahan yang silih berganti semua menumpahkan halaman-halaman kosong untuk urusan kepentingan rakyat. Rakyat tetap miskin, bodoh, dan marginal!

Rakyat kemudian melepaskan panah dendamnya melalui sebuah keinginan yang lumrah dan normal sesungguhnya. Keinginan rakyat untuk dibayar memberikan suara, apakah dalam bentuk-bentuk material uang atau bentuk fisik lainnya. Rakyat (jenis ini) sadar, jika kelak yang mereka pilih, toh tidak akan pernah mau tahu dengan siapa yang memilih mereka dulu di lokasi pemungutan suara.

Tidak heran, banyak calon legislative yang turun melakukan sosialisasi dan kampanye ke kantong-kantong rakyat, mereka kerap disibuki dengan aksi-aksi bagi. Bagi uang, bagi sembako hingga bag-bagi material lainnya. Sialnya, aksi bagi-bagi ternyata bukan sebuah kontrak, karena tidak ada sebuah “materai” di atas bagi-bagi itu.

Diyakini, ketika hari pemungutan suara dilangsungkan, pilihan rakyat yang menerima segala bagi-bagi itu boleh jadi berbeda. Rakyat ternyata sudah kembali ke pilihan nuraninya. Bisa saja pilihannya datang ke TPS dan menjatuhkan pilihan yang sudah ditetapkan sejak semula atau tidak memilih sama sekali alias golongaan putih dan tidak datang ke TPS.

Rakyat Sadar

Melongok betapa sangat berperannya rakyat dalam menentukan arah dan wajah pemerintahan dan negara, terutama lima tahun ke depan, maka alangkah sangat bodohnya rakyat harus menyerahkan itu semua ke tangan para bejat moral, tukang korupsi dan pengkhianat suara rakyat.

Menyerahkannya kepada para calon yang nyata-nyata tidak memiliki kapasitas apapun, wawasan apapun dan kemampuan apapun, selain hanya karena cuma ingin disebut dewan terhormat, punya status, punya pekerjaan, pintu memperkaya diri, keluarga, kolega dan kelompoknya semata, adalah tindakan dan sikap yang harus dijungkirbalikkan.

Harus ada sebuah kesadaran kuat dan luas, bahwa satu suara yang diberi tanda di kertas suara tidak senilai 100 ribu rupiah atau seharga beras dan minyak goreng yang cuma bisa dihabiskan sehari. Satu suara yang diganti dengan uang dan sembako sesaat itu, hanya akan berbuah kotoran dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tetapi sebuah suara yang dijatuhkan kepada calon pemimpin yang benar-benar ideal, setidaknya memiliki jejak rekam bagus, punya otak, punya hati dan punya nurani, kelak akan menggunakan suara itu menjadikannya buah manis, yang bisa saja akan dinikmati para keturunan kita kelak, misalnya.

Apalagi, instrumen suara rakyat sudah memasuki tahap yang menggemaskan, ketika Mahkamah Konstitusi pada akhir Desember 2008 memutuskan untuk merontokkan dominasi partai politik dalam mendudukkan para calon pemimpin di legislative. Jika dalam pasal 214 ayat a-e Undang-undang Pemilu 2009 masih mengakomdir calon legislative terpilih berdasarkan nomor urut yang dipajang partai politik, maka dalam putusannya Mahkamah Konstitusi membatalkan semua ayat dalam pasal tersebut seraya merapalkan satu ketetapan bahwa pemimpin yang duduk adalah pemimpin yang karena mendapat dukungan terbesar dari rakyatnya.

Lalu, jika banyak pihak, apakah politisi atau juga analisis yang meragukan instrumen itu, kelak menyuburkan lahan pragmatisme dan pasar suara yang kemudian menjerumuskan pesta demokrasi kali ini pada titik terendah kualitasnya sebagai akibat dari transaksi-transaksi yang bertebaran di akar rumput, hal itu adalah sebuah kekuatiran rendahan, murahan.

Rakyat, sejatinya tidak lantas dicurigai apalagi dikuatirkan ketika akan mudah dibeli. Idealnya adalah, putusan itu disambut dengan jiwa besar disertai tanggung jawab besar guna mendorong rakyat, mencerdaskan rakyat, mengajari rakyat dan membuka mata hati rakyat, bahwa harga satu suara rakyat tidak sama dengan 100 ribu rupiah dan sembako. Satu suara rakyat yang terakumulasi dengan suara rakyat lainnya yang sejenis adalah suara yang bisa merubah wajah pemerintahan dari yang korupsi ke yang peduli.

Sebab, tatanan pemerintahan yang dihuni pemimpin bobrok, politisi “dagang” atau politisi pragmatis, yakni cuma tahu bertransaksi menggunakan uang dalam urusan apapun, dipastikan juga akan melakukan transaksi serupa dalam setiap helaan nafas kebijakannya. Akh…!!!