30 Desember 2008

Refleksi Jurnalis Siantar-Simalungun

SIANTAR-METRO; Hari ini, Senin (29/12) bertempat di Taman Bunga, seluruh jurnalis dan pekerja pers se-Siantar Simalungun akan melaksanakan refleksi terhadap perannya selama setahun. Tema yang akan dibahas antara lain, tentang fenomena kehidupan pers,dan jurnalis dewasa ini, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia jurnalis itu sendiri. Hal ini diungkapkan Tigor Munthe, ketua Panitia perhelatan kepada METRO, Minggu (28/12). Dia mengatakan, alasan utama, yang dijadikan sebagai modal awal untuk melaksanakan acara refleksi ini, adalah kenyaaan yang terjadi pada dunia pers dewasa ini, yang telah banyak melahirkan berbagai implikasi didalam kehidupan masyarakat luas. Yang mana, salahsatu dari implikasi itu adalah maraknya bentuk penindasan, dan pemberangusan terhadap para pekerja pers, yang kritis berhadapan dengan birokrasi yang korup, budaya anarkis Masyarakat, Aksi refresif lembaga serta bentuk-bentuk destruktif lainnya.
Tigor mencontohkan, ada beberapa kasus kekerasan, yang telah dialami oleh insane pers Siantar Simalungun, semala Tahun 2008. kasus tersebut antara lain, kekerasan yang dilakukan orang-orang tak bertanggung jawab terhadap Samsudin Harahap, dan Jansendi Purba, pembungkaman media oleh instansi pemerintah.
Dalam acara tersebut, akan hadir narasumber yang cukup punya nama di dunia jurnalis Sumatera Utara yakni Bersihar Lubis yang juga Pemimpin Redaksi salahsatu surat kabar terbitan Medan.
Melalui acara ini, kata Tigor, diharapkan akan tumbuh kesadaran dalam jiwa seluruh insan pers, untuk menyadari betapa perlunya melakukan perlawana terhadap segala bentuk penindasan, dan pengekangan yang dialamai insan pers. (mag-07)

19 Desember 2008

Mental Dewasa Menyambut Pemilu 2009

Kasdin Sihotang

Keributan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), menjadi fenomena yang menonjol akhir-akhir ini. Dari sejumlah pilkada selama ini, sangat sedikit yang berjalan dengan mulus. Lebih banyak kegiatan demokrasi itu ditandai dengan konflik, bahkan disertai dengan tindakan anarkis.

Pertanyaan yang dapat diajukan, sikap apa yang terlihat dalam maraknya konflik dalam pilkada tersebut? Satu hal yang jelas, konflik yang ditandai dengan sikap anarkis dan tindakan kekerasan menjadi sebuah tanda bahwa dalam berdemokrasi kedewasaan belum menjadi mental masyarakat dan elite politik. Dengan kata lain, sebagian besar
masyarakat dan elite politik kita belum mampu menunjukkan kematangan diri dalam
rupakan satu instrumen yang sedang diupayakan untuk menumbuhkan demokrasi. Itu berarti kegagalan pilkada merupakan hambatan untuk membangun demokrasi. Pelanggengan konflik justru akan membangunkan adagium Thomas Hobbes berbunyi homo homini lupus dalam masyarakat. Dendam berkepanjangan akan menjadi bagian dari kehidupan berpolitik. Situasi seperti ini jelas tidak kondusif untuk perwujudan demokrasi.
Perlunya kedewasaan

Membangun demokrasi yang sehat dan berbobot dalam politik kita membutuhkan kedewasaan. Sikap ini justru menjadi modal sosial yang sangat penting. Sejumlah keunggulan akan didapatkan dengan mengembangkan sikap dewasa dalam politik. Pertama, kemampuan menggunakan nalar sehat. Sebagaimana sudah disinggung di atas demokrasi tidak bisa berkembang dalam irasionalitas. Demokrasi hanya bisa berkembang secara sehat ketika rasionalitas menjadi titik pijak. Itu berarti argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi titik tolak untuk perjuangan demokratis.

Dengan kata lain, dasar untuk memperjuangkan kebenaran adalah nalar, bukan emosi atau tangan besi. Argumen-argumen rasional tentu memiliki ukuran yang objektif. Ukuran kebenaran sebuah perjuangan dalam konteks politik dilihat dari sifat universalnya, yakni dapat diterima semua pihak yang terlibat di dalamnya sebagai sesuatu yang benar.

Sebagaimana pernah dikatakan Immanuel Kant, seorang filsuf politik dari Jerman, salah satu kebenaran dari rasionalitas adalah isinya dapat diterima oleh siapapun. Inilah yang disebutnya sebagai masuk akal. Artinya, apa yang diupayakan itu adalah sesuatu yang konkrit, dan bukan sebuah utopia. Dengan demikian perjuangan politik akan dapat diterima kalau itu memang sungguh-sungguh memiliki rasionalitas yang memadai. Dan tentunya adalah sikap dewasa pula untuk berani menerima kenyataan seperti ini dalam panggung politik.

Kedua, keberanian untuk menerima kekalahan. Ini merupakan implementasi dari butir pertama. Dalam demokrasi harus disadari bahwa dalam kompetisi selalu ada pihak yang kalah dan pihak yang menang sesuai dengan prosedural objektif. Tanda kedewasaan di sini terlihat dalam hal kesediaan pihak yang kalah menerima kekalahan dan pihak yang menang mengapresiasi pihak yang kalah dalam kompetisi yang secara objektif rasional dan prosedural. Kecuali tentunya kalau melanggar prinsip objektivitas dan prosedural. Dalam hal ini tentu sikap kritis perlu dihidupkan. Namun kualitas cara mengkritisi seharusnya juga menunjukkan sikap kedewasaaan, yakni sopan dan santun serta elegan.

Ketiga, kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara damai. Sekali lagi meminjam Immanuel Kant, lewat bukunya Perpetual Peace tidak ada perdamaian abadi tanpa ada keberanian untuk mengupayakan penyelesaian masalah. Dalam demokrasi memang nilai-nilai dalam win-win solution perlu dijadikan sebagai jalan keluar sebuah masalah. Kemampuan untuk menjalankan hal ini tentu merupakan tanda dari kedewasaan dalam demokrasi.

Keempat, kemampuan untuk menerima norma-norma hukum. Salah satu pilar demokrasi adalah rule of law. Jalannya demokrasi justru tergantung dari pengakuan terhadap aturan main. Kemampuan untuk mengikuti aturan main secara konsisten dan konsekuen merupakan salah satu tanda kedewasaan dalam berdemokrasi. Orang yang tidak mau berjalan dalam rel rule of law justru mengancam esensi demokrasi.
Kelima, kemampuan mengaku perbedaan baik bersifat personal maupun bersifat kolektif yang secara objektif dan rasional dapat diterima. Sebagaimana ditegaskan oleh Jonathan Sack dalam The Dignity of Differences (2002) perbedaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia dalam kebersamaan.

Itu berarti tidak akan ada manusia yang identik dan sama di dunia ini. Yang ada adalah keunikan setiap pribadi.Dan ini merupakan kekayaan yang paling berharga dalam eksistensi manusia. Justru karena keunikan itulah manusia memerlukan yang lain. Seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, ada bersama menjadi keharusan untuk mengakui keunikan itu. Dalam demokrasi pengakuan ini tentunya menjadi tanda kedewasaan. Artinya orang yang dewasa akan mampu menerima perbedaan bahkan berusaha untuk memelihata perbedaan, bukan justru sebaliknya. Sikap penyeragaman merupakan sikap yang berlawanan dengan sikap dewasa dalam berdemokrasi.

Menyongsong pesta demokrasi 2009, menurut hemat penulis nilai-nilai yang tertuang dalam sikap dewasa di atas merupakan tuntutan mutlak. Sudah saatnya kita mau belajar dari Hilary Clinton dan McCain yang sangat sportif dan elegan menyikapi kekalahan, dan tentunya dari Barak Obama yang sangat respek terhadap lawan-lawannya. Tokoh-tokoh ini telah menujukkan kepada kita bahwa bersikap dewasa dalam politik membuat demokrasi menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan dan mengharukan, karena di dalamnya nilai-nilai ketulusan, kerendahan hati serta fairness menjadi pijakan.

Penulis adalah dosen Filsafat Ekonomi dan staf inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta.

Sumber : Suara Pembaruan

Iklan Politik Bukan Obat Mujarab

Oleh Tjipta Lesmana

“Mengubah perilaku politik seseorang bukan urusan mudah. Teori Ajzbein mengajarkan bahwa perilaku individu sesungguhnya dipengaruhi oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), sedang sikap dipengaruhi oleh keyakinan (belief). Anda harus terlebih dahulu bisa menghancurkan keyakinan A tentang objek X, sebelum bisa mengubah sikap A terhadap X. Selama keyakinan si A terhadap X sangat kuat, 1.000 kali siraman iklan politik pun mustahil mampu mengubah perilakunya terhadap X.” (Tjipta Lesmana)


Get known first, before you go politics. Begitu kata seorang politisi kawakan dari Amerika. Itulah sebabnya pemilu dan kampanye politik menjadi dua fenomena yang tidak bisa dipisahkan, khususnya pada era perpolitikan modern. Melalui iklan di media massa sang calon "menjual" dirinya kepada publik agar publik mengetahui siapa sesungguhnya dia. Jika masyarakat belum kenal, bagaimana Anda bisa menjadi bupati, gubernur, atau anggota legislatif, apalagi presiden?

Iklan politik juga bertujuan agar rakyat mengetahui dan mempercayai visi dan misi kandidat. "Jika saya terpilih, saya berjanji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sekian persen, menurunkan pengangguran sekian persen," ucap seorang "bakal calon (balon) capres" kita. "Balon" lain berteriak: "Bumi kita kaya. Apa saja ada di bumi kita. Tapi, mengapa rakyatnya miskin dan sengsara? Karena salah urus oleh mereka yang berkuasa!"

Secara eksplisit, ia menyerang ketidakbecusan para pemimpin mengelola kekayaan alam kita Namun, secara implisit, ia sebenarnya juga menuduh bahwa para pemimpin yang berkuasa sekarang korup, hanya memikirkan kepentingan pribadinya.
"Kenapa pupuk tidak ada? Karena pemerintah tidak mau dengar masukan kita!" Politisi yang bicara seperti ini sedang berusaha memikat kaum petani yang kini sedang kesulitan untuk mendapatkan pupuk, sehingga mereka melancarkan aksi unjuk rasa.
Kampanye dengan media massa tidak murah. Di Jakarta, misalnya, satu spot di televisi berdurasi 30 detik, paling murah Rp 20 juta. Untuk talk show selama satu jam seorang politisi minimal harus mengeluarkan Rp 1,5 miliar. Iklan politik di media cetak juga mahal. Sebuah koran nasional bergengsi mematok tarif Rp 80 juta untuk satu halaman penuh hitam-putih. Jika iklan muncul dalam warna, tarifnya Rp 150 juta. "Iklan kuping" berwarna di halaman satu lebih mahal lagi karena sifatnya yang eye-catching: bisa mencapai Rp 100 juta untuk ukuran kecil saja.

Pemilihan Presiden Amerika 2008 tercatat menghabiskan biaya iklan paling besar dalam sejarah Amerika: 43 persen lebih besar dibandingkan iklan politik 2004. Diperkirakan seluruh kontestan, secara kumulatif, telah menghabiskan dana sebesar US$ 4,5 miliar untuk kampanye politik! Media televisi paling laris. Sekitar 51,3 persen dari total biaya iklan disedot oleh televisi. Demikian data yang dirilis oleh PQ Media dari Stamford, Connecticut.

Media massa memang panen besar setiap kali pemilu. Namun, pada waktu yang sama, pengeluaran media untuk meliput kampanye kandidat juga meningkat tajam. Di Indonesia, jika ada kandidat kampanye di suatu kota, tim suksesnya akan mengundang berbagai media dan seluruh biaya otomatis ditanggung oleh tim sukses. Bahkan wartawannya juga mendapat "amplop". Hal ini tidak berlaku untuk media Amerika. Demi mempertahankan netralitas dan martabatnya, media menanggung sendiri setiap sen yang dikeluarkan ketika mengikuti rombongan kandidat berkampanye.

Total jenderal, seluruh jaringan televisi di AS dikabarkan menghabiskan belanja US$ 9,6 juta untuk meliput kampanye kubu Obama dan US$ 4,4 juta pada kubu McCaine. CBS mengeluarkan US$ 1,2 juta untuk mengikuti rombongan Obama, tapi hanya US$ 222.000 untuk meliput kampanye McCaine.

Makin dekat ke Hari-H, kampanye politik semakin gencar. Obama, misalnya, bisa berkampanye di empat negara bagian hanya dalam sehari. Ini berarti, pengeluaran pun semakin berlipat. Obama dan McCaine bertarung habis-habisan seminggu sebelum hari pencoblosan, 4 November 2008. Untuk penduduk di Philadelphia saja, kubu Obama, secara total, telah menghujani spot sebanyak 978 kali!

Dua Kategori

Kampanye politik, secara teoritis, digolongkan dalam dua kategori: negatif dan positif. Sesuai namanya, kampanye negatif berisikan kritik, caci-maki dan tohokan terhadap lawan. Lawan -khususnya incumbent- digambarkan gagal total mengangkat harkat dan martabat bangsa. Maka, ia tidak layak dipilih kembali. Kampanye positif lebih fokus pada penonjolan who he is dan apa saja yang sudah dicapainya, selama ini.
Kampanye negatif, intinya, berfokus pada tema "membangiktkan rasa takut" atau berupa ancaman di pihak rakyat. Martabat Amerika di dunia internasional akan semakin tenggelam jika McCaine terpilih, kata Obama. Kehidupan akan kian susah, jika Obama terpilih, sebab dia hendak menaikkan pajak. Dalam jargon komunikasi, disebut fear-arousing communication.

Menurut Wisconsin Advertising Program, 63 persen kampanye iklan Obama bernada negatif, sedang McCaine 79 persen. Dari tanggal 28 September hingga 4 Oktober 2008 saja, 100 persen kampanye iklan McCaine dikategorikan negatif; di pihak Obama hanya 34 persen. Jelas, semakin "kepepet" posisi McCaine semakin menyerang sifat kampanye yang dilancarkannya.

Dan efektivitasnya? Sejarah perpolitikan di Amerika membuktikan bahwa fear-arousing communication, apalagi black campaign, tidak efektif dalam pemilu.
Kecuali itu, kampanye politik di media seringkali menyesatkan. Hingga September 2008 sebagian besar media massa di Amerika terkesan di belakang McCaine. Mereka terus memublikasikan iklan calon ini. Belakangan, baru diketahui bahwa iklan-iklan itu kebanyakan gratis, semata-mata sebagai cermin ketakutan media jika Obama yang kulit hitam akan terpilih sebagai presiden Amerika.

Di Indonesia, seorang anak muda yang mengklaim mau jadi presiden terus membombardir publik dengan iklan politik, khususnya di sebuah stasiun televisi. Kok banyak duit dia? Usut punya usut, sebagian iklan itu gratis, sebab si pemilik stasiun TV mempunyai motif politik tertentu dengan layanannya itu. Ada lagi klaim bahwa popularitas seorang "balon presiden" meningkat tajam karena kampanye yang agresif di media massa. Klaim seperti itu, menurut saya, amat spekulatif sifatnya. Hendaknya kita jangan terlalu percaya pada jajak pendapat, sebab jajak pendapat, tidak jarang, dibuat "atas order" pihak tertentu.

Mengubah perilaku politik seseorang bukan urusan mudah. Teori Ajzbein mengajarkan bahwa perilaku individu sesungguhnya dipengaruhi oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), sedang sikap dipengaruhi oleh keyakinan (belief). Anda harus terlebih dahulu bisa menghancurkan keyakinan A tentang objek X, sebelum bisa mengubah sikap A terhadap X. Selama keyakinan si A terhadap X sangat kuat, 1.000 kali siraman iklan politik pun mustahil mampu mengubah perilakunya terhadap X.
Jadi, iklan politik bukan obat mujarab. Iklan penting, namun yang paling menentukan adalah kualitas (termasuk kapabilitas intelektual), integritas, dan moralitas si calon!

Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Politik, penulis buku Dari Soekarno sampai SBY: Kolusi dan Lobi Politik Para Penguasa (November 2008).

Sumber : Suara Pembaruan

05 Desember 2008

Jurnalis

"Good journalists never retire ; they just drop dead" (Strait Times)
Wartawan-wartawan yang baik tidak pernah mengundurkan diri ; mereka hanya jatuh mati.

01 Desember 2008

'Das Sein' dan 'Das Sollen' Refleksi tentang Sebuah Eksekusi

Mirifica e-news (http://www.mirifica.net)
02 Oktober 2006 10:18

Sebenarnya cukup mengherankan bahwa ungkapan Jerman das Sein dan das Sollen banyak dipakai di Indonesia. Terutama generasi tua kerap kali suka menggunakan ungkapan ini. Dan perlu diakui, pemakaiannya selalu tepat dan sesuai dengan artinya.
Muncul pertanyaan, dari mana asalnya "benda asing" ini? Bagaimana bisa terjadi kata-kata Jerman ini "kesasar" dalam konversasi antara penutur bahasa Indonesia? Hipotesis pribadi saya adalah bahwa hal itu berasal dari pidato-pidato Presiden Sukarno.

Presiden pertama kita mengerti beberapa bahasa dan ia senang membaca. Selaku orator yang pandai. Ia memanfaatkan hasil bacaannya dalam pidato-pidatonya. Kemungkinan besar ia juga memakai ungkapan Jerman tersebut dan masyarakat merasa terkesan, sehingga sampai membekas dalam konversasi umum.

Apakah artinya ungkapan Jerman ini? Das Sein berarti "kenyataan", "keadaan factual". Das Sollen berarti "norma moral" atau "yang seharusnya dilakukan". Pasangan kata Jerman ini sering dipakai dalam konteks bahwa das Sein bertolak belakang dengan das Sollen. Sudah jelas apa yang harus dilakukan, tetapi dalam kenyataan tidak dilakukan juga. Sebuah kesenjangan menganga antara das Sein dan das Sollen.

Supremasi Hukum?

Menjelang eksekusi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, ketiga terpidana mati dalam kasus Poso, ungkapan Jerman tadi sering timbul lagi dalam ingatan saya. Pemerintah berulang kali menekankan bahwa proses hukum sudah berjalan sampai titik terakhirnya. Semua upaya hukum yang tersedia sudah dijalankan. Sekarang proses hukum itu sudah final dan masyarakat tinggal menerimanya saja. Supremasi hukum telah terwujud. Eksekusi terpidana mati merupakan konsekuensi dari hidup di negara hukum.

Memang benar, argumentasi ini tepat sekali dan amat bagus. Hanya saja, ada kekurangan fatal bahwa semuanya itu berlaku sebatas das Sollen saja. Karena sistem hukum menurut kodratnya mewujudkan keadilan, memang seharusnya hasil proses hukum dapat diterima oleh semua pihak. Apapun yang akan terjadi, penegakan keadilan harus dilaksanakan. Dari hukum Kekaisaran Roma, kita telah mewarisi prinsip dasar fiat justitia, ruat coelum, "hendaklah keadilan ditegakkan, meski langit runtuh". Proses hukum sebagai penegakan keadilan adalah sesuatu yang mutlak. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Seharusnya memang begitu. Namun demikian, kenyataannya bagaimana? Bagaimana das Sein?

Masyarakat umum yang tergantung pada informasi media massa saja, tentu tidak tahu bagaimana harus menilai kontroversi tentang salah tidaknya ketiga terpidana mati ini. Tetapi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah dan sekitarnya sangat aktif dalam mencari kebenaran. Mereka yang mengerti segala seluk-beluk kasus ini, yakin betul bahwa Tibo dan kedua temannya tidak bersalah.

Orang-orang malang ini dijadikan kambing hitam melalui sederetan langkah hukum yang kompleks dan sarat intrik. Mereka hanya petani kecil, buta huruf, pendatang yang tidak langsung terlibat dalam komunitas-komunitas yang bertikai dalam konflik Poso III tahun 2000. Misalnya, para rohaniawan yang mendampingi ketiga terpidana mati itu yakin seratus persen bahwa tangan Tibo dkk tidak pernah berdarah. Jadi, yang disebut proses hukum itu diliputi ketidakadilan luar biasa besar.

Diskusi menjelang eksekusi sering didominasi oleh argumentasi melawan hukum mati pada umumnya. Namun, dengan itu inti masalahnya menjadi kurang terfokus. Memang benar, perdebatan tentang layaknya tidaknya dipertahankan hukuman mati di zaman modern ini harus dilanjutkan. Tetapi masalah tentang Tibo dkk adalah lebih fundamental lagi; apakah seluruh proses pengadilan berjalan dengan adil atau tidak? Proses pengadilan tidak adil apapun (bukan saja yang berakhir dengan hukuman mati)? merupakan suatu ketidakberesan moral yang besar dan menjatuhkan martabat hukum dengan cara fatal.

Dicopot Oleh Tuhan

Di antara para pejabat negara, hanya Kepala Polda Sulteng, Brigjen Pol Oegroseno berani menyatakan dengan jelas bahwa "kasus Tibo dkk, ada banyak kejanggalan, mulai dari proses penangkapan, pemeriksaan, dan pengadilan". Ia berpendapat bahwa eksekusi tidak boleh dilakukan dan menganjurkan agar proses hukum Tibo dkk dibuka kembali. Sebelumnya ia sudah berulang kali menekankan bahwa kasus kerusuhan Poso diliputi banyak misteri dan ia melihat sebagai tugasnya bekerja keras untuk mengungkap misteri-misteri ini.

Namun, justru Kapolda yang baru 11 bulan bertugas di Sulteng itu dipindahkan ke Jakarta. Oleh pihak Polri langsung dibantah bahwa pergantian ini berkaitan dengan kasus Tibo dkk. Dan kita dapat mengerti bahwa Oegroseno sendiri tidak ada pilihan lain daripada mengatakan hal yang sama kepada wartawan (Suara Pembaruan, 1/9).

Tetapi, siapa akan percaya omongan kamuflase itu sudah kita kenal sejak Orde Baru. Kecurigaan menjadi lebih besar lagi, bila kita lihat Kapolda baru begitu kooperatif dalam mempersiapkan eksekusi. Karena itu pergantian Oegroseno ini hanya menambah misteri baru pada begitu banyak misteri yang sudah ada di sekitar kasus-kasus kerusuhan Poso.

Ketika sudah diganti sebagai Kapolda Sulteng, Oegroseno masih sempat ikut dalam dialog yang diadakan di Hotel Palu Golden pada 2 September 2006. Di situ ia mengulangi lagi pandangannya mengenai ketidakberesan proses hukum yang dialami oleh Tibo dkk. Menurut orang yang hadir, pada kesempatan itu ia mengatakan juga "saya lebih senang dicopot oleh Kapolri daripada dicopot oleh Tuhan". Kalau begitu, rupanya pada Oegroseno ini das Sein masih seiring dengan das Sollen. Ia tidak bersedia mengorbankan tuntutan keadilan dan hati nurani kepada kepentingan lain apapun.

Dalam era reformasi, salah satu agenda pembaruan yang dianggap amat penting adalah menyehatkan sistem hukum kita. Dalam keadaan sekarang, pelaksanaan hukum tidak mempunyai kredibilitas sama sekali dan hal itu menciptakan suatu situasi yang sangat serius, pada taraf nasional maupun dalam forum internasional. Seandainya pemerintah giat mencari jalan untuk membuka kembali proses pengadilan Tibo dkk, tidak perlu dikhawatirkan citra hukum akan tercoreng lagi.

Keadaan hukum kita hampir tidak bisa lebih buruk lagi. Sebaliknya, seandainya pemerintah bersedia membuka pintu untuk meninjau kembali proses pengadilan ini, dunia akan mengakui bahwa akhirnya pemerintah serius dalam menyehatkan sistem hukum.

Kerap kali sudah diajukan usul, seperti membentuk Tim Pencari Fakta atau Komisi Independen yang akan mengusut seluruh kasus kerusuhan Poso sampai ke akar-akarnya. Dalam Tim atau Komisi macam itu sebaiknya ditambah juga unsur luar negeri.

Di Finlandia, Norwegia atau negara lain yang sudah berjasa dalam upaya serupa itu pasti ada hakim terpandang yang sudah pensiunan dan bersedia untuk membantu kita. Dengan itu kita tidak mengobrol independensi kita, tapi justru membuka diri secara tulus untuk memulihkan sistem hukum dengan meyakinkan. Yang sampai sekarang disebut "mempertahankan supremasi hukum" hanya mengakibatkan kepercayaan pada hukum di Indonesia terpuruk lebih dalam lagi sampai titik nadirnya. Pemerintah SBY-JK tidak bisa cuci tangan, seolah- olah tidak bertanggungjawab.

K Bertens  --  Penulis adalah anggota staf Pusat Pengembangan Etika Universitas Atmajaya

Adam Malik Berkata

Dikutip dari Tulisan Sabam Siagian-Suara Pembaruan

Dalam buku memoarnya Mengabdi Republik Jilid III: Angkatan Pembangunan, Adam Malik bercerita tentang pengalaman yang amat berkesan bagi dia, yakni pada saat kunjungannya yang pertama sebagai Wakil Presiden ke daerah Jawa Timur, Juli 1978. Pada spatbord sebuah Colt dekat Songgoriri dia baca tulisan: "Apa yang kau mau, apa yang kau rindu, pasti jadi, asal kau mau".

Malamnya dia renungkan makna kata-kata sederhana itu. Bung Adam menulis: "....(kata-kata itu) menunjukkan sikap mental yang tegas dan dinamis, dan selama masih ada semangat yang menggerakkan tangan untuk mencoretkan gambaran dinamika batin yang bunyinya semacam itu, saya yakin rakyat kita tidak kehilangan arah untuk maju".