27 Oktober 2008

Saksikan Drama 19 CPNSGate

Oleh Tigor Munthe

Drama kasus CPNSGate Pemko Siantar bisa jadi merangkak ke frame anti klimaks di tangan Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono. Dalam gelar perkara di markasnya Jalan Sudirman Siantar, Jumat (24/10/2008), polisi menepis sangkaan banyak orang kalau Wali Kota RE Siahaan sudah menjadi ‘pesakitan’ tersangka. Sebenarnya sangkaan itu beralasan, karena wali kota sangat dominan berperan melahirkan CPNSGate 2005. Sebagai bidan, wali kota memberikan jalan terhadap 19 orang untuk bisa memiliki alat legitimasi sebagai anak birokrasi. Dia pakai rahim Panitia Seleksi yang sejak semula sudah dibuahi oleh zat bernama kolusi korupsi dan nepotisme.

Malang benar, anak-anak birokrasi itu (19 orang CPNS) sepanjang hari harus menggunakan jubah ‘haram’ karena ulah persetubuhan gelap yang tidak pernah sesungguhnya mereka harapkan menjadi ‘ibu kandung’ mereka.

Simak saja beberan demi beberan sang penyidik kasus Aiptu Sawal Siregar ketika menjadi presentator gelar perkara. Di hadapan puluhan wartawan dan aktifis LSM, dia malah urai satu per satu apa cikal bakal kasus. Sejak dari proses rekrutan hingga modus kejahatan.

Poin menarik sekaligus krusial ialah : sesuai analisis yuridis penyidik, RE Siahaan sebagai Penanggungjawab, Tagor Batubara sebagai Ketua Panitia, Morris Silalahi sebagai Sekretaris Panitia dan Tanjung Sijabat, mantan Kepala BKD, telah melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi pasal 5, 21 dan 22 yaitu melakukan perbuatan yang menguntungkan diri keluarga dan kroninya, serta mengakibatkan kerugian orang lain serta negara.

Mereka dengan seenaknya, tak ubahnya Pemko adalah miliknya, mengatur anak dan kerabatnya bisa lulus menjadi CPNS 2005 meski kalah dan tidak ikut ujian.

Kira-kira begini dia skenario drama CPNSGate yang dipresentasikan polisi di hadapan gelar perkara : RE Siahaan setuju 19 nama ilegal itu diusuli ke Menpan untuk diterbitkan SK oleh BKN, Morris Silalahi mengemis ke Tagor Batubara agar borunya ikut dalam daftar 19, Tagor Batubara oke saja sepanjang bosnya tidak keberatan, asal anaknya juga gol dan Tanjung Sijabat tahu jika ada 10 jatah periode sebelumnya yang lowong, maka borunya bisa saja ditumpangkan di daftar 19 itu.

Variabel merugikan orang lain, melakukan permufakatan, melawan dan melanggar hukum, klop sudah! Nah, lho polisi hanya sebut satu tersangka, Morris Silalahi. Lalu dua lainnya, berikut Tagor Batubara sudah duluan ke alam nirwana, tidak tegas disebut sebagai apa. Kalau cuma saksi, barangkali itu sudah pasti. Tapi sebagai tersangka polisi masih bimbang atau sama sekali tidak berani? Entahlah…

Tapi kalau menurut polisi, kekurangan fakta. Pengakuan seorang Morris Silalahi semata tidak kukuh untuk memberikan label tersangka pada bosnya RE Siahaan. Sayang (untung?) Tagor Batubara keburu permisi menghadap Sang Pencipta. Padahal, pengakuan dari dia sangat dibutuhkan untuk membidik ‘Presiden Siantar’ itu.

Katanya, polisi belum angkat tangan. Mereka tetap saja bekerja untuk memenuhi ‘selera’ publik atau siapa saja yang berkeinginan agar ‘sang sutradara’ drama CPNSGate masuk dalam kursi pesakitan atau demi memuasi rasa haus dan lapar akan tegaknya keadilan di Negeri Siantar ini.

Karena toh, polisi berharap pelimpahan berita acara perkara (BAP) atas nama tersangka Moris Silalahi ke jaksa boleh menjadi entry point penguakan keterlibatan sang sutradara, yang sesungguhnya sudah ada. Barangkali polisi butuh suara dan jari telunjuk lain, selain suara dan jari Morris Silalahi yang mengarah ke Jalan Merdeka di Balai Kota atau Markas Kekuasaan di Jalan MH Sitorus.

Itu makanya, jurus pamungkas bernama ijin pemeriksaan dari Presiden RI siap digelontorkan jika jaksa meminta. Polisi sudah gelar perkara di Mabes Polri pada 27 Agustus 2008. Saat itu dipimpin Kepala Biro Analis Bareskrim Mabes Polri di Jakarta.

Kesimpulan dari gelar perkara, Polres Simalungun diberi petunjuk untuk mengajukan berkas perkara ke kejaksaan dengan tersangka Kepala BKD Drs Morris Silalahi. Untuk selanjutnya, Polres Simalungun menunggu petunjuk dari kejaksaan.

Itupun, toh saja publik tersentak kaget dengan analisis yuridis polisi. Jika memang sudah memenuhi unsur, kenapa polisi tidak tulis saja tambahan gelar tersangka itu, untuk Tanjung Sijabat atau RE Siahaan misalnya. Ah, analisis yuridis bisa jadi adalah zat mati. Dia menjadi zat hidup jika sudah disuapi energi yang bisa jadi adalah fakta, bukti atau saksi yang punya nyali bernyanyi di pengadilan nanti.

Orang lalu bertanya, ada apa dengan polisi? Apakah menerapkan azas kehati-hatian? Apalagi yang mau ditahbiskan dengan gelar baru sebagai tersangka adalah pejabat nomor satu di Negeri Siantar? Maybe yes, maybe not!

Betul, gelar perkara yang disajikan polisi adalah gerak langkah maju. Patut diapresiasi dan layak disanjung, karena baru pertama kali terjadi. Bahkan menurut Kapolres Rudi Hartono, untuk jajaran Polres di Sumut, Polres Simalungun yang berani unjuk gigi dengan ciri transparansi ini.

Tetapi, tetap saja ada gumpalan tersembunyi yang patut diklarifikasi, semoga itu bukan alat justifikasi atas kemandekan polisi mengejar bukti. Katakanlah, dengan agenda gelar perkara, publik lalu oke dan sepakat saja kalau RE Siahaan tidak usah lagi jadi tersangka, cukup jadi saksi. Karena seperti kata polisi, dibutuhkan dua pengakuan, dan itu tidak akan didapat dari (maaf) orang yang sudah mati. Lalu berharap ada pengakuan RE Siahaan di pengadilan, apa iya mau mengaku sendiri? Apa iya dari para panitia lain yang merupakan anak buahnya?

Tapi yah, optimisme polisi yang berjanji akan terus mengejar fakta-fakta segar, selayaknya memang dibungkus dan diamini. Sikap kritis dari semua pihak, apakah pelapor, politisi, wartawan, warga atau siapa saja yang mau hukum ditegakkan di Negeri Siantar ini sejatinya menjadi energi polisi. Selamat mencari bukti-bukti demi tegakknya keadilan di kota ini. Ditunggu!

25 Oktober 2008

TNI dan Pemilu 2009

Oleh : Christofel Nalenan
(Manajer Riset Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

Pasal 318 Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD telah menegaskan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih pada Pemilu 2009. Dimasukkannya pasal ini telah mengakomodir keinginan dari masyarakat sipil dan juga para anggota TNI sendiri yang melalui survei yang dilakukan mabes TNI September tahun lalu menyatakan belum ingin menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Namun tidak memilihnya para anggota TNI pada Pemilu 2009 tidak berarti menjamin sepenuhnya bahwa TNI tidak akan terlibat atau dilibatkan dalam politik pada Pemilu 2009.


Sepak Terjang Purnawirawan

Kompas (4/8/2008) memberitakan bagaimana keterlibatan para purnawirawan TNI masuk ke dalam Partai Politik peserta Pemilu 2009, ada yang menjadi pendiri, ada juga yang direkrut masuk ke dalam kepengurusan. Posisi para purnawirawan tersebut semuanya pada pos-pos penting yang menentukan dalam tubuh partai, dan nama-nama mereka dapat ditemukan hampir secara merata di seluruh partai, baik itu di partai kecil atau partai besar, di partai yang baru mengikuti pemilu atau pun di partai lama. Fadli Zon salah seorang pemimpin partai dari kalangan sipil dengan jujur mengatakan mengapa di dalam partainya banyak terlibat para purnawirawan TNI, menurutnya selain karena lemahnya kaderisasi kepemimpinan di tubuh sipil, keterlibatan TNI juga dikarenakan para purnawirawan tersebut memiliki kekuatan jejaring dan pengalaman teritorial. Hal tersebut lah yang sebenarnya mengkhawatirkan, jejaring para purnawirawan yang rata-rata berpangkat Jenderal itu, sangat rentan dan bisa jadi melibatkan anggota TNI aktif yang berada pada struktur teritorial TNI. Pemanfaatan tersebut bukan hanya kepada orang tetapi juga pada fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh komando teritorial TNI, seperti kendaraan militer, gedung, lapangan dan sebagainya. Apalagi dalam militer Indonesia terdapat budaya bahwa Komandan selain dianggap pimpinan juga dianggap bapak oleh para anak buah. Menampik permintaan dari mantan komandan mungkin bisa dimaklumi tapi dari seorang bapak, dalam budaya timur, hal tersebut adalah sebuah dosa besar.


Keikutsertan para purnawirawan militer di negara-negara demokratis sebenarnya adalah sebuah hal yang wajar dan itu sama sekali tidak mengganggu sistem supremasi sipil, namun keterlibatan militer dalam politik di sejarah Indonesia terlalu dalam dan masif. Oleh karena itu kekhawatiran bahwa keterlibatan para purnawirawan TNI ke dalam politik dengan masuk menjadi anggota partai peserta pemilu 2009 akan menyeret kembali TNI pada politik sangat lah beralasan. Cara yang paling baik untuk mencegah terseretnya kembali TNI ke dalam politik adalah dengan pengawasan yang seksama oleh kelompok masyarakat sipil khususnya di daerah-daerah di mana bisa saja terjadi mobilisasi sumber daya Komando Teritorial untuk kepentingan pemilu. Selain itu hal yang paling pokok agar tidak terbentuk lagi kekhawatiran publik akan terseretnya TNI pada politik praktis adalah segera diselesaikannya agenda reformasi TNI yang jalan di tempat sejak disahkannya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.


Agenda Reformasi yang belum selesai

Hal yang agak mengherankan sekaligus menyedihkan menurut saya, ketika pasca disahkannya UU. No 34, reformasi TNI seakan-akan sudah selesai, padahal sebenarnya undang-undang yang sangat reformis tersebut dan juga bersama dengan UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah awal dari terjadinya reformasi TNI secara menyeluruh.


Masih sangat banyak agenda reformasi yang belum diselesaikan, dari segi regulasi masih ada sekitar 12 undang-undang lagi yang harus dibuat, antara lain undang-undang Peradilan Militer dan undang-undang Komponen Cadangan. Sementara soal bisnis militer, pemerintah bertindak sangat hati-hati dan tidak sungguh-sungguh, pemerintah saat ini membenahi bisnis militer sekadar agar tidak melanggar amanat pasal 76 UU No.34. Satu hal lagi yang paling mendasar dari agenda reformasi TNI sebenarnya adalah transformasi Postur Pertahanan Indonesia, khususnya mengenai struktur pertahanan, yaitu sistem komando teritorial.


Sistem komando teritorial memiliki cukup banyak kelemahan. Dari segi pertahanan, sistem komando teritorial adalah sistem pertahanan untuk mempertahankan daratan padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan wilayah lautan sebesar 62 % dari seluruh total wilayah, di mana separuhnya adalah zona ekonomi eksklusif. Selain itu pada masa damai, seperti saat ini, sistem pertahanan komando teritorial sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik terutama menjelang diadakannya pemilu.


Pemilu 2009 sebagai Pemilu terakhir

Pemilu 2009 harus menjadi pemilu terakhir di mana publik masih memperdebatkan tentang peran politik TNI, oleh karena itu antara tahun 2009 dan 2014 agenda reformasi TNI harus benar-benar dituntaskan. Harapan cukup besar untuk menyelesaikan agenda yang sangat penting tersebut diamanatkan kepada para anggota legislatif dan Presiden terpilih nantinya. Kelompok masyarakat sipil dari sekarang harus secara sungguh-sungguh memasukkan juga pada materi pendidikan pemilihnya mengenai persoalan reformasi TNI, agar masyarakat memilih para calon anggota legislatif dan Presiden yang konsern terhadap agenda tersebut. Pengalaman pada Pemilu 2004 para anggota legislatif dan Presiden yang terpilih bukan orang-orang yang cukup peduli dengan agenda tersebut.


Agenda reformasi TNI adalah agenda yang sangat penting, karena agenda itu sebenarnya juga sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. TNI yang profesional yang tidak berbisnis dan berpolitik akan bisa menjaga keamanan bangsa ini secara komprehensif, di antaranya mampu menjaga para nelayannya saat mencari ikan di wilayah Indonesia dan mengusir nelayan asing ketika beroperasi ilegal di lautan Indonesia. Dirgahayu TNI.



JPRR: Benahi Sistem Pendaftaran Pemilih

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menegaskan harus ada evaluasi yang mendasar terhadap sistem pendaftaran pemilih yang selama ini dilakukan pada pelaksanaan Pilkada. Sebab sistem pendaftaran berjenjang yang berlaku selama ini terbukti tidak efektif dan tidak efisien.

"Untuk itu, perlu evaluasi dan membenahi mekanisme pendaftaran pemilih Pilkada guna menghindari kacaunya proses pendaftaran pemilih Pilkada. Seharusnya wewenang pendaftaran pemilih diberikan kepada pihak KPUD atau dibentuk Panitia Pendaftaran Pemilih yang memiliki petugas hingga tingkat RT," ungkap Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow saat diskusi bertajuk "Evaluasi Pilkada 2007: Hasil Pemantauan JPPR" di Jakarta, Jumat (11/1).

Jeirry menilai sistem pendaftaran pemilih selama ini tidak berjalan dengan baik. Dinas Kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) yang seharusnya bertugas melakukan validasi data penduduk biasanya tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Seringkali, Daftar Pemilih Sementara (DPS) tidak disosialisasikan kepada warga dan kalaupun disosialisasikan waktunya sangat singkat (tiga hari).

Ia menyebutkan, dari 38 pilkada tersebut, setidaknya 87 persen persoalan pendaftaran pemilih yang paling mencolok, kemudian politik uang (64 persen) dan "black campaign" atau kampanye hitam yang menjelekkan saingan ada 73 persen.

Jeirry menambahkan, permasalahan lain adalah sejumlah kekurangan tersebut seperti pihak KPUD masih bersikap tidak transparan dalam proses pendaftaran calon kepala daerah dan masih lemah melakukan pendidikan pemilih di masyarakat.

Dalam kesempatan sama, Peneliti dari Pusat Pengkajian Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli mengingatkan, jangan sampai pemilihan umum secara langsung ditarik, meskipun masih ada kekurangan dan sejumlah kelemahan.

Menurut Lili, pilkada langsung memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama jika pasangan calon yang terpilih melaksanakan janji-janjinya seperti memberikan pendidikan dan pengobatan gratis.

Berbeda dengan JPPR, Lili melihat bahwa KPUD dan Panwas tidak independen dalam pilkada. Bahkan, ada sejumlah KPUD yang pandai membaca "arah angin kemenangan" dan biasanya KPUD akan lebih banyak memihak pada pasangan calon yang dikehendaki. Lili mengatakan, di kalangan elit atau para kandidat, tidak ada tradisi untuk bisa menerima kekalahan. Ketika tahu mereka akan kalah, maka mereka mencari dan melakukan apa pun berusaha untuk melakukan perubahan itu.

Untuk netralitas birokrasi, baik JPPR maupun Lili melihat bahwa birokrasi di tingkatan lokal seringkali terlibat dalam politik praktis pada pelaksanaan pilkada.
Sementara anggota Fraksi PDI Peruangan (FPDIP) DPR RI, Aria Bima berharap agar pelaksanaan Pilkada ke depan bisa diperbaiki termasuk memperbaiki aspek regulasinya, dan penyelenggaranya yaitu KPU/KPUD.

Aria Bima juga sependapat untuk mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang berat kepada para birokrasi yang tidak netral.

Sumber : www.jurnalnasional.com


21 Oktober 2008

Politik Panci

Oleh Tigor Munthe

Aku terpaksa meminjam kalimat ini : “Siapapun tahu panci kalau dipukul bunyinya kedomprengan. Tidak ada nada dasar yang cocok. Seorang pemimpin yang terlalu banyak bicara dan terlalu kuatir akan citra, tetapi ia tidak cakap menyelesaikan panci

Kalimat itu merupakan salah satu rangkaian tulisan Sukardi Rinakit dalam bukunya Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare). Jalinan kalimat itu mendadak sontak mengusik, manakala melongok kondisi yang terjadi di Kota Siantar.”

Pemilu 2004 terpilihlah 30 anggota DPRD Siantar dan Pilkada Siantar 2005 terlantiklah Walikota/Wakil Walikota pilihan rakyat. Lalu ada satu fakta politik, sejak dua institusi politik produk zaman reformasi itu hadir, bahwa kondisi Kota Siantar secara makro tidaklah mengalami pertumbuhan memadai dalam segala aspek.

Mau bukti? Menyangkut pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan jumlah penduduk berkisar kurang lebih 250 ribu jiwa ini, tidak tampak nyata.

Peningkatan dan perluasan infrastruktur salah sasar. Contohnya, pembukaan jalan tembus Sutomo-Pane atau pembukaan jalan lingkar luar ( Outer Ring Road ) yang menelan dana milyaran rupiah, secara ekonomi hanya menguntungkan segelintir pihak. Ironis, pembangunan fisik seperti jalan yang seharusnya di daerah pinggiran, ternyata belum tersentuh secara menyeluruh. Praktek tambal sulam masih terus berjalan di sejumlah ruas jalan pusaran inti kota .

Vulgar bisa disaksikan, bagaimana sesungguhnya pengelolaan sektor transportasi tidak tepat. Laju pertambahan jumlah kendaraan (angkutan kota , mopen) dan ijin trayek, tidak berbanding lurus dengan kualitas dan kapasitas jalan yang tersedia. Akibatnya, selain merugikan rakyat dengan sulitnya akses jalan, juga memunculkan persaingan tidak sehat di kalangan penggiat transportasi, baik sesama pengusaha angkutan, awak angkutan dengan pengusaha atau sesama awak angkutan yang mengebut mengejar setoran dan uang makan.

Ada lagi, industri kecil atau koperasi sebagai salah satu tulang punggung penggerak ekonomi rakyat ternyata stagnan. Banyak pengrajin tenun ulos di sentra-sentra industri rumah tangga masih tertindas secara modal sehingga sulit mengembangkan usaha. Dorongan pendirian koperasi di kalangan pengrajin ini, dalam rangka membantu pergerakan usaha pula tampak tidak ada.

Yang lebih miris adalah, para pedagang kecil atau PKL (Pedagang Kaki Lima) yang terkonsentrasi di pasar tradisional Pasar Horas dan Pasar Dwikora, selain berkutat dengan terbatasnya modal usaha juga masih terhempas secara politik dengan adanya kebijakan penggusuran tanpa solusi lokasi.

Lalu, dalam tataran manajemen pemerintahan tampak terjadi booming tenaga honorer. Sulit mendeteksi, honorer-honorer itu berfungsi efisien dan efektif mendukung roda pemerintahan. Kuat dugaan, mereka justru menjadi beban karena menggemukkan organ-organ kerja yang ada.

Pola rekrutmen pejabat masih berlaku pola like or dislike. Peran Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) dalam menentukan seseorang layak didudukkan dalam jabatan dinas, badan, bagian dst, bisa jadi tereliminasi oleh referensi subyektif seorang kepala daerah. Faktor kualitas dan kemampuan dibuat di urutan kesekian kali. Paling mutakhir adalah suksesi Direktur RSUD Dokter Djasamen Saragih, yang kemudian menuai kisruh.

Pelaksanaan prinsip Pemerintahan Yang Bersih dan Pemerintahan Yang Baik belum berlangsung sesuai rel. Karena eksekutif ternyata masih sangat mudah terjebak pada praktek korup dalam urusan anggaran. Ada juga rekrutmen Pegawai Negeri Sipil melalui pintu Seleksi CPNS masih dinodai curang yang kemudian berujung pada proses hukum. Banyak lagi.

Jujur, semua itu bisa berlaku karena memang elit kita, politisi di legislatif dan pemangku kekuasaan eksekutif sangat melekat menggunakan Politik Panci. Mengutip penggalan kata milik Sukardi Rinakit di atas, panci jika dipukul suaranya tidak jelas dan dompreng. Politisi kita di kota ini harus diakui barangkali masih sebatas analogi panci. Banyak bicara. Ribut janji ketika mencalonkan diri sebagai calon legislatif dan ketika mencalon sebagai kepala daerah.

Sayangnya apa yang ‘diributkanya’ ketika berhadapan dengan rakyat, ternyata memang semua tidak substansif, cenderung manipulatif yang tujuan dan targetnya guna meraup dukungan suara minimal untuk duduk sebagai punggawa legislatif dan eksekutif.

Lihatlah, bagaimana walikota dengan rencana menjual atau meruislag SMA Negeri 4 kepada investor, yang katanya bermuara pada pemajuan pendidikan serta penumbuhan sektor usaha di lokasi yang nantinya eks gedung dan lahan salah satu SMA favorite itu. Itukah salah satu janji ketika menebar visi misi Pilkada silam?

Gugatannya, apakah rencana menggadaikan SMA Negeri 4 kepada siapa saja, benar-benar menjamin upaya peningkatan pendapatan pedagang lemah atau kecil, jika kelak lokasi SMA Negeri 4 dijadikan sarana publik modern? Atau meningkatnya kualitas pendidikan akibat pertambahan jumlah gedung sekolah baru nantinya?

Tengoklah juga, aksi DPRD melengserkan Walikota/ Wakil Walikota dengan dalih pelanggaran hukum dan undang-undang. Jujur, apakah ini bagian dari program yang diributkan sejak awal di hadapan rakyat? Terlebih melihat wakil rakyat (parpol/pribadi) itu menggunakan segala potensi dan memaksakan ketentuan yang ada? Sungguhkah langkah politik itu memang merupakan pintu masuk mensejahterakan rakyat?

Tapi memang realitas politik yang terpampang, hanya panci kosong dan ketika dipukul suaranya kedomprengan. Ribut soal berbagai hal, tetapi tidak menyelesaikan soal apapun! Yang ada hanya ribut-ribut politik tidak menentu.

Bukan cuma itu, lihatlah ulah mereka, akibat perseteruan politik dua kubu, terhempas sudah komunikasi politik kelembagaan. Ya itu tadi, sama-sama ribut dengan pukulan panci masing-masing. Tidak lagi saling mendengar. Itu makanya fakta terakhir, sampai-sampai pembahasan Perubahan APBD atau jangan-jangan pembahasan APBD ke depan tidak terbayangkan akan dilakukan. Karena sudaah saling diam-diaman.

Betul, Politik Panci yang asal bunyi, dompreng, keras tapi tanpa harmoni nada serta tidak enak didengar, tidak memberi makna apapun terhadap kepentingan rakyat secara langsung. Tapi jangan silap, akibat dua kubu yang menerapkan politik model ini, bisa dipastikan ke depan rakyat tidak akan mau mendengar apalagi percaya mereka, karena ribut tak karu-karuan, tak ubahnya panci!

(Penulis adalah Jurnalis yang bekerja di CAS FM Siantar Simalungun)


16 Oktober 2008

Horor Pungli Honorer

Oleh Tigor Munthe

Bisa jadi Pemda, katakanlah Pemko Siantar dan Pemkab Simalungun saat ini merupakan zona horor untuk warga yang tidak berduit, dalam perebutan lahan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2008. Ada keseraman yang tampil terampil dalam pola pungutan-pungutan yang mendirikan bulu kuduk, sebab menebarkan tanduk-tanduk yang besar dan runcing.

Aroma hitam berbau busuk, bergeliat manakala sajian rekrutmen CPNS 2008 menggelontor memberi peluang kepada generasi bangsa ini untuk ikut berbakti melalui jubah coklat dan hijau tua. Aroma itu sesungguhnya adalah cerita basi yang sudah berkali terjadi. Pungutan liar adalah sosok horor yang selalu menghantui warga, apalagi angka-angka yang mengguyur tidaklah ringan dan mudah diraih.

Tahun masa orde baru, orang masuk PNS memang bayar utuh. Itu maka hanya anak dan keturunan berduit dan berada-lah yang mampu menjadi PNS. Kini, kala zaman menggaungkan ruang kompetisi dalam segala hal dan aksi, ternyata tidak sepenuhnya terjadi. Toh, di sela semangat dan roh kompetisi, tetap tersaji praktek-praktek pungli.

Santer, media massa di Siantar Simalungun menggali dan menelusuri di awal Oktober 2008, terkuak beberan fakta dan informasi, Pemko Siantar dan Pemkab Simalungun berlaku tak ubahnya petugas lapangan, menebar aksi pungli terhadap para tenaga honorer yang terbuai dan kepingin lewat untuk menuju serta menjadi CPNS 2008.

Tidak tanggung-tanggung, menurut estimasi salah satu koran lokal di Siantar Simalungun, Pemko dan Pemkab itu meraup laba alias “profit” hasil menarik uang dari ratusan tenaga honorer itu hingga mencapai Rp2 Milyar! Pemko setelah berkeringat kutip Rp405 Juta dan Pemkab setelah lembur mengutip, dapat Rp1,4 Milyar.

Hasil telusuran, dengar sana-dengar sini, setiap tenaga honorer dimintai uang Rp3,5-Rp5 Juta, untuk bisa namanya dikirim ke pemerintah atasan agar diikutkan dalam rekrutmen CPNS 2008. Dan lazimnya, ketika hal itu akan dipertanyakan kepada para pejabat yang berwenang, jawabnya mudah ditebak. Akan menolak mengiyakan dan menolak dituding melakukan kutipan. Mereka maunya, tahu sendiri tanpa perlu di tahu siapa-siapa.

Gejala memanfaatkan kepolosan para tenaga honorer, yang memang terus menggengam impian dan harapan kelak bisa sebagai PNS, sungguh dilakukan segelintir orang yang memang diyakini didukung sistem yang berada di sekitarnya. Rekrutmen CPNS setiap tahun tidak ubahnya lahan subur mendatangkan uang dalam limpahan wah, meraihnya tanpa harus berlelah di bawah guyuran hujan dan sengatan matahari.

Sialnya, perilaku itu datang dari para elit birokrasi yang bercokol dalam gelimang honor dan tunjangan berlebih. Sangat kontras dengan realitas para tenaga honorer yang rata-rata adalah anak atau keturunan keluarga yang tidak berkelas secara ekonomi, kalau tidak bisa disebut dari keluarga miskin. Meminjam bahasa Alinafiah Simbolon dari LSM Government Monitoring (GOMO), rata-rata tenaga honorer adalah dari kaum eknomi ngos-ngosan. Untuk bayar ongkos naik angkutan ke kantor barangkali, honornya juga tersedot habis, konon lagi membayar jutaan buat sogokan.

Uang Rp3,5 Juta bukanlah daun yang dikutip dari jalanan atau dari taman kota yang siapa saja bisa meraihnya. Uang “sekecil” itu, bisa saja diperas dari semua potensi yang ada : dipinjam dari tetangga atau rentenir dengan bunga mencekik, hasil jualan warisan atau membongkar tabungan orangtua yang sudah pensiun.

Misteri Honorer Siantar

Sekali lagi, rekrutmen CPNS 2008 bisa jadi adalah ladang empuk raih untung. Dicapai tanpa lelah keringat di bawah sengat matahari dan dirogoh tanpa menggigil di guyuran hujan deras. Cukup dengan buka tarif dan akses kekuasaan yang dibangun, semua bisa digapai. Jujur saja, praktek pungli dalam rekrutmen CPNS sejak awal sudah distarting praktek serupa kala rekrutmen tenaga honorer, terutama di Pemko Siantar.

Anggota DPRD Siantar Grace Christane via media massa lokal yang ada pernah sebut, untuk rekrutmen tenaga honorer Pemko juga sudah pasang angka. Dan itu dilakukan di kala pemerintah pusat sudah memberi sinyal pasti kepada seluruh daerah, bahwa sejak 2005 tidak ada lagi rekrutan tenaga honorer. Pemerintah tegaskan itu dengan PP Nomor 48 Tahun 2005.

Tapi dengan lihai dan cerdik, Pemko bisa saja pantang untuk hands-up, konon katanya untuk urusan merogoh duit dari jalur gelap. Pintu tenaga honorer tetap dibuka lebar-lebar, dan tentu tarif karcis untuk masuk juga dipasang. Modusnya , SK para tenaga honorer dibuat tanggal, bulan dan tahun mundur. Meski masa kerja rekrutan adalah 2006 ke atas. Benar tidaknya, memang harus dibuktikan kendati itu bisa dirasakan semua mata di daerah ini.

Lalu, berapa ril-nya honorer di Pemko Siantar? Ini juga dalam rangka menghitung angka yang masuk ke kantong pribadi elit kekuasaan dalam soal keruk-mengkeruk duit, selain angka yang sudah diungkap belakangan ini. Atau juga menghitung seberapa besar nilai kejahatan di jalur ini? Entahlah. Tapi betul, jangankan warga kota, anggota DPRD saja tidak tahu persisnya, karena memang penuh misteri, cuma Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemko Siantar saja yang tahu.

Jika yang mau diberangkatkan ke CPNS sejak 2005 ada sekitar 1260 orang dengan rincian pada 2005 ada 451 orang, pada 2006 sebanyak 429 orang, dan 2007 sebanyak 130 orang. Terus tahun 2008 ini deg-degan 126 orang dan 2009 menunggu giliran diantar ke gerbang CPNS sebanyak 124 orang.

Tapi tunggu dulu, itu yang katanya sudah masuk data base. Lalu yang belum masuk ke entah data base yang mana, masih menunggu di seputaran kursi-kursi mimpi yang bertebaran di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Banyak lagi, bahkan ratusan atau ribuan menurut sejumlah kalangan. Lho, itu mau dikemanakan lagi?

Apa yang berlaku di Pemko Siantar memang cukup menakjubkan. Terjadi praktek booming tenaga honorer yang konon alokasinya masih harus digugat mau dikemanakan. Tapi inti dari semua itu, selain harus pelongo dengan realita angka dan mau kemana, tapi juga patut diperangahkan, berapa duit lahir dari setiap SK yang muncul dari rahim ilegal itu? Ah, hendaknya ini juga dihitung ulang. Kerukannya ternyata bisa jadi lebih dahsyat! (Penulis adalah Jurnalis di Siantar Simalungun)






Pukul Wartawan, Ketua OKP Dipolisikan

Tigor : Kita Mengutuk Tindkana Kekerasan

SIMALUNGUN-METRO

Aniaya wartawan ketua salahsatu OKP (Organisasi Kepemudaan) di Kabupaten Simalungun dilaporkan ke Polres Simalungun, Rabu (15/10). Laporan tersebut terlampir dengan No Pol: LP/407/X/2008/Simal, 15 Oktober 2008 atas nama Jansendi Purba (24), wartawan METRO SIANTAR.

Peristiwa pemukulan tersebut terjadi Selasa (14/10), sekira pukul 11.30 WIB, di Jalan Asahan tepatnya di Mara Service, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun. Saat itu korban hendak melakukan konfirmasi seputar permasalahan DAK di SD Negeri 091368 Saribu Dolok.

Menurut keterangan korban, kronologis kejadian tersebut berawal ketika ia dan DS janjian bertemu di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Sesampainya di TKP, korban lalu duduk di sebelah saksi Gatta Jerry berhadapan dengan DS yang telah lebih dulu berada di tempat tersebut.

Begitu korban duduk, DS kemudian bertanya kepada Gatta Jerry tentang wartawan yang menulis berita permasalahan DAK di SDN 091368 Saribu Dolok, yang di dalamnya menyebutkan kalau DS adalah kepala tukang di sekolah tersebut. Lalu Gata menunjukkan ke arah korban.

Tapa diduga-duga, DS lalu berdiri dan langsung menampar pipi sebelah kanan korban. Beruntung Gatta Jerry langsung memegangi tangan DS, sehingga aksi brutal tersebut tidak sampai lebih jauh.

Setelah menampar korban, DS lalu berbicara dengan temannya dan kemudian pergi dari TKP dengan mengenderai mobil Taff GT warna merah.

Menurut Gatta Jerry, yang mengetahui persis kejadian tersebut, banyak karyawannya dan warga yang melihat persitiwa pemukulan itu.

Dijelaskannya, kejadian itu berawal dari pemberitaan di METRO SIANTAR mengenai bangunan SDN 091368 Saribu Dolok yang mendapat kucuruan DAK, yang dituding menyalahi aturan yang ditetapkan. Karena diberitakan, DS yang disebut oleh KCD Kecamatan Silimakuta, Sarman Purba, sebagai kepala tukang di sekolah tersebut, langsung emosi dan menampar wajah korban.

DS yang dikonfirmasi METRO, melalui telepon selulernya, membantah kalau dirinya menampar korban. DS juga mengatakan jika korban telah minta maaf kepadanya, sehingga dirinya berpikir masalah telah selesai.

Setelah menerima pengadua korban, pihak kepolisian Polres Simalungun melalui Kepala SPK, IPDA Manaek S Ritongga SH, langsung melakukan olah TKP.

Kapolres Simalungun, AKBP Rudi Hartono SH SIk ketika dikonfirmasi METRO, Rabu (15/10) malam, terkait laporan korban, mengaku akan mengecek laporan korban. "Jika ada dan terbukti bersalah, kita akan tindak tegas sesuai hukum yang berlaku. Siapun dia yang melakukan perbuatan pidana," tegas mantan Kasat I Dir Reskrim Poldasu ini.

Sementara itu, Tigor Munthe, anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independent) Kota Medan, mengutuk keras pemukulan yang dilakukan DS terhadap wartawan. Aji juga sangat mendukung tindakan korban yang melaporkan kasus tersebut ke kantor polisi. "Kami berharap polisi segera mengusut kasus pemukulan tersebut. Kami juga meminta oknum ketua OKP tersebut ditangkap dan diproses sesuai hokum yang berlaku," tegas Tigor.(Mag-06/mag-07)





15 Oktober 2008

Panwaslih Siantar Temukan 11 Dugaan Pelanggaran





Sejak kampanye Pilgubsu dimulai pada 30 Maret 2008 sampai 12 April 2008, Panwaslih (Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur Sumatera Utara) Pematangsiantar, menemukan 11 dugaan pelanggaran. Demikian dikatakan anggota Panwaslih Pematangsiantar divisi pelaporan, Syamsul Bahri Nasution didampingi Ketua Panwaslih Tigor Munthe di kantornya, Minggu (13/4).

Ke-11 dugaan pelanggaran itu, berdasarkan laporan masyarakat dan temuan instrumen Panwaslih Pematangsiantar sendiri. Dari 11 dugaan pelanggaran itu, ada beberapa pelanggaran masuk dalam kategori pelanggaran berat. Karena menggunakan fasilitas negara berupa mobil dinas PDAM Tirta Uli Pematangsiantar, mobil dinas DPRD Pematangsiantar dan keterlibatan oknum PNS dalam mendukung kegiatan kampanye salah satu pasangan calon.

Menurut Nasution, mobil dinas PDAM itu diketahui Panwaslih berdasarkan laporan pengaduan masyarakat. Di mana dalam pengaduannya, mobil dinas PDAM itu ditempeli dengan tanda gambar salah satu pasangan calon. Sedangkan mobil dinas dewan itu didapati berada di lokasi kampanye. Namun sayang, Nasution tidak mengizinkan nama-nama oknum yang menjadi pelaku penggunaan fasilitas negara itu, untuk dipublikasikan melalui media. Alasannya, dugaan pelanggaran itu masih menjadi temuan, dan belum diproses di tingkat pengkajian dan pleno.

Sedangkan keterlibatan PNS dalam mendukung kegiatan kampanye, diketahui Panwaslih berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemberitaan beberapa media massa yang dijadikan alas bukti dugaan pelanggaran. Oknum PNS itu, katanya turut serta dalam kampanye di Medan.

Saat ini, temuan itu masih diproses. Di mana, Panwaslih saat ini sedang melakukan pemanggilan saksi-saksi untuk dimintai keterangannya. Dikatakan, ada saksi palapor sedang melakukan pengumpulan data-data yang otentik terkait pengaduannya. Karenanya, Panwaslih pun memahami akan hal itu. Namun, meski demikian, Panwaslih berjanji akan mengumumkan hasil temuan itu, dalam waktu 4 hari ke depan.

Sementara itu Ketua Panwaslih Pematangsiantar Tigor Munthe mengimbau kepada seluruh tim pemenangan pasangan calon Gubsu dan calon Wagubsu agar mematuhi aturan selama masa tenang. Untuk itu, Tigor mengingatkan tim pemenangan agar membersihakan masing masing atribut (tanda gambar maupun alat peraga) calon yang mereka usung.

Bila pembersihan tanda gambar atau atribut cagubsu/cawagubsu tidak juga dibersihkan selama massa tenang, Panwaslih Pematangsiantar akan melakukan tindakan. Karena itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam proses tahapan Pilgubsu. Untuk menjaga hal itu terjadi, Panwaslih telah menyurati seluruh tim kampanye masing masing pasangan calon.

M Gunawan Purba | Global | Pematangsiantar

Sumber: Harian Global

Hampir Semua Kadis, Kabag, Camat, dan Lurah di Siantar Jadi TS RE Siahaan

Hampir Semua Kadis, Kabag, Camat, dan Lurah di Siantar Jadi TS RE Siahaan
Asisten II Pemko Ucapkan Slogan RE Siahaan Dalam Rapat Resmi

SIANTAR-SK: Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu mengatakan belum dibahasnya APBD 2008 akibat hampir semua kadis, kabag, camat, dan lurah di Pemko Siantar menjadi tim sukses (TS)-nya RE Siahaan yang maju menjadi salah satu cagubsu. Menurutnya pernyataan ini tidak asal-asalan, karena dia pernah jumpa salah satu kadis di Harianboho sedang melakukan sosialisasi cagubsu RE Siahaan.

Pernyataan Lingga ini terkait ucapan Asisten II Pemko Siantar M Akhir Harahap yang mengucapkan slogan salah satu cagubsu dalam sebuah pertemuan resmi di Ruang Data Pemko Siantar, Selasa (25/3). Ucapan M Akhir tersebut kontan mengundang protes berbagai kalangan karena ucapan tersebut jelas keberpihakan pada salah satu cagubsu padahal sebagai PNS, M Akhir seharusnya netral.

Waktu itu, M Akhir mewakili Walikota Siantar RE Siahaan menutup pertemuan kesepakatan damai tim kampanye masing-masing cagubsu yang diselenggarakan oleh desk Pilkada. Tepat di akhir sambutannya, M Akhir mengucapkan ‘PASS’ dilanjutkan dengan kalimat ”Assalamualaikum wr.wb”. Siapapun tahu, PASS merupakan slogan kampanye pasangan RE Siahaan-Suherdi.

Ucapan PASS tersebut sontak membuat kaget para peserta yang hadir saat itu seperti Ketua DPRD Siantar Lingga Napitupulu, Ketua Panwaslih Siantar Tigor Munthe, Ketua KPU Siantar Poltak Simaremare, tim kampanye pasangan cagubsu kota Pematangsiantar, serta dari pihak Polresta dan TNI.

Bahkan setelah rapat bubar suasana sempat sedikit tegang dan menjadi bahan pembicaraan sebagian peserta.

Ketua DPRD Lingga Napitupulu menilai M Akhir perlu minum jus jengkol karena dia menambah-nambahi ucapan yang tidak dimengerti orang. “Sikapnya bertolak belakang dengan hati nuraninya,” jelas Lingga.

Dia mengatakan sebenarnya di rumah M Akhir sangat banyak terpasang gambar salah satu cagubsu yakni Tri Ben.

“Karena dia tahu betul Tri Ben menjadi idolanya, mudah-mudahan dia tidak dipecat,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Panwasalih Tigor Munthe sangat menyayangkan pernyataan Asisten II tersebut. Menurutnya tindakan PNS atau pejabat pemerintah dengan menyebutkan kalimat slogan cagubsu, telah melanggar ketentuan dan berlebihan.
“Saya minta PNS jangan terlibat menjadi TS dan harus netral dalam Pilgubsu ini,” terangnya.

Menurut Tigor sesuai dengan surat edaran Menpan No: SE/08.A/M.PAN/5/2005 tanggal 2 Mei 2005 mengenai Netralisasi PNS dalam Pilkada, dalam pasal 2 ayat a – c disebutkan larangan PNS terlibat mendukung calon, menggunakan fasilitas yang berkaitan dengan jabatannya, dan membuat tindakan atau merugikan calon.

“Kita sayangkan PNS mencoba membuat statement seperti itu terindikasi mendukung salah satu calon,” ujarnya.

Secara terpisah M Akhir yang coba dikonfirmasi melalui Short Message Service (SMS) terkait ucapannya, sampai berita ini diterbitkan tidak ada jawaban. (jansen)



Surat Cuti RE Siahaan Sudah Keluar

Gubernur Sumatera Utara Drs Rudolf M Pardede, melalui SK nya nomor 800/1280.K/2008, memberi izin cuti kepada Ir RE Siahaan selaku Walikota Pematangsiantar yang akan melaksanakan kampanye Pilgubsu, sehubungan dengan pencalonannya sebagai cagubsu.

Demikian dikatakan Kabag Tapem (Tata Pemerintahan) Pemko Pematangsiantar Hendro Pasaribu Kamis (27/3) di ruang kerjanya kepada wartawan.

Cuti Ir RE Siahaan itu berlaku sejak 30 Maret 2008 sampai dengan 12 April 2008. Di mana dengan cuti itu, segala sesuatunya yang berhubungan dengan urusan Ir RE Siahaan telah diluar tanggungan negara. Penetapan surat cuti itu, ditetapkan Gubsu (Gubernur Sumatera Utara) pada 18 Maret yang lalu.

Menurut Hendro Pasaribu, sesuai dengan diktum yang tercantum di dalam SK cuti bagi Walikota Pematangsiantar yang diterima Pemko Pematangsiantar, menyebutkan, bila cuti kampanye bagi Ir RE Siahaan berakhir, maka jabatannya sebagai Walikota Pematangsiantar akan kembali dengan sendirinya secara otomatis. “SK ini tidak perlu dicabut, bila telah selesai cuti maka akan kembali lagi,” ujar Hendro Pasaribu sambil menunjukkan SK Gubsu tersebut. Dalam diktum itu disebutkan, setelah selesai menjalankan cuti, pejabat negara tersebut kembali menjalankan tugas.

Tentang pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, Hendro berpendapat, pemerintah atasan tidak akan menghunjuk pelaksana tugas Walikota Pematangsiantar. “Sebab, walikota bukan berhalangan tetap, namun hanya cuti sementara,” ucap Hendro Pasaribu. Untuk itu kata Hendro, untuk menjalankan roda pemerintahan di Pemko Pematangsiantar akan dilakukan oleh Wakil Walikota Pematangsiantar.

Tidak Gunakan Fasilitas Negara

Selama cuti di luar tanggungan negara, Ketua Panwaslih (Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur Sumatera Utara) Kota Pematangsiantar, Tigor Munthe mengingatkan Ir RE Siahaan sebagai salah satu Cagubsu, agar melepas segala fasilitas dan atribut negara yang ada pada dirinya selama sebagai Walikota Pematangsiantar.

Adapun fasilitas yang tidak dibenarkan dipakai Ir RE Siahaan berupa seluruh fasilitas negara yang diberikan kepadanya ketika menjadi Walikota Pematangsiantar. Di antaranya, Ir RE Siahaan dilarang menggunakan ajudan yang selama ini selalu mendampingi dirinya. Untuk itu, Tigor Munthe meminta ajudan Walikota selama ini, seperti Bayu Andre Tampubolon dan yang lainnya, agar tidak terlibat dalam proses kampanye cagubsu Ir RE Siahaan. Apalagi sampa ikut serta sebagai tim pemenangan ataupun tim sukses. Karena ajudan itu merupakan PNS yang sikapnya harus netral di dalam setiap proses pilkada. Sedangkan mengenai fasilitas rumah dinas, ketua Panwaslih Pematangsiantar tersebut mengatakan, rumah dinas Walikota masih bisa ditempati oleh Ir RE Siahaan. Namun, di rumah dinas itu, tidak diperbolehkan menjadi tempat mobilitas kampanye atau pun sejenisnya.

Bila aturan itu tidak diindahkan cagubsu maupun ajudan yang berasal dari PNS, maka Panwaslih Kota Pematangsiantar akan selalu siap memprosesnya, sesuai dengan surat edaran Menpan nomor SE/08.A/M. PAN/5/2005, tentang netralitas PNS dalam pilkada.

Untuk mengawasi itu semua, Tigor Munthe berharap peranan masyarakat Kota Pematangsiantar. Di mana laporan-laporan dari masyarakat itu agar dilengkapi dengan bukti bukti yang kuat dan dilaporkan secara resmi di Panwaslih. “Bila demikian akan kita tindaklanjuti,” ujar Tigor Munthe.

Sehubungan dengan cuti Ir RE Siahaan sebagai Walikota Pematangsiantar, Tigor Munthe mengatakan, kalau Panwaslih Kota Pematangsiantar dan Sumatera Utara belum menerima surat izin cuti Ir RE Siahaan. Sesuai dengan PP nomor 6 tahun 2005, setiap calon yang cuti, diwajibkan memberikan surat cutinya kepada KPUD dan Panwaslih.

M Gunawan Purba | Global | Pematangsiantar




Penempelan Tanda Gambar Dinilai Bentuk Kampanye

Wednesday, 19 March 2008 01:45 WIB
Pematangsiantar, WASPADA Online

Panwaslih Pematangsiantar menyebutkan pemasangan tanda gambar pasangan calon sudah merupakan salah satu
bentuk kampanye.

"Panwaslih Pematangsiantar secara khusus sudah mengusulkan agar redaksional kumulatif aturan kampanye sesuai. Keputusan KPUD Sumut dibuang," sebut Ketua Panwaslih P. Siantar Tigor Munthe di sela rapat kerja Panwaslih tingkat
kecamatan P. Siantar di Simalungun Room Siantar Hotel Senin (17/3).

Munthe menyebutkan sesuai Keputusan KPU Nomor 07 tahun 2008, pelanggaran kampanye terjadi bila tiga unsur kampanye dilakukan secara kumulatif (serentak dan bersamaan) yakni disampaikan pasangan calon, juru kampanye dan tim kampanye, penyampaian berbagai program, visi dan misi pasangan calon dan mengajak masyarakat memilih salah satu pasangan calon. "Tidak perlu secara serentak dan bersamaan, kalau satu unsur pun dilakukan dari tiga unsur kampanye itu, sudah merupakan pelanggaran kampanye."

Menurut Munthe, usul Panwaslih Pematangsiantar yang disampaikan saat rapat kerja Panwaslih Sumut dengan Panwaslih kabupaten/kota se-Sumut bersama KPUD Sumut serta DPRD Sumut baru-baru ini sudah diakomodir Panwaslih Sumut. "Namun, faktanya hingga saat ini di mana-mana tanda gambar pasangan Cagub/Cawagub masih
bertebar, padahal belum pelaksanaan kampanye." (a14) (ags)




Penempelan Tanda Gambar Dinilai Bentuk Kampanye

Wednesday, 19 March 2008 01:45 WIB
Pematangsiantar, WASPADA Online

Panwaslih Pematangsiantar menyebutkan pemasangan tanda gambar pasangan calon sudah merupakan salah satu bentuk kampanye.

"Panwaslih Pematangsiantar secara khusus sudah mengusulkan agar redaksional kumulatif aturan kampanye sesuai Keputusan KPUD Sumut dibuang," sebut Ketua Panwaslih P. Siantar Tigor Munthe di sela rapat kerja Panwaslih tingkat kecamatan P. Siantar di Simalungun Room Siantar Hotel Senin (17/3).

Munthe menyebutkan sesuai Keputusan KPU Nomor 07 tahun 2008, pelanggaran kampanye terjadi bila tiga unsur kampanye dilakukan secara kumulatif (serentak dan bersamaan) yakni disampaikan pasangan calon, juru kampanye dan tim kampanye, penyampaian berbagai program, visi dan misi pasangan calon dan mengajak masyarakat memilih salah satu pasangan calon. "Tidak perlu secara serentak dan bersamaan, kalau satu unsur pun dilakukan dari tiga unsur kampanye itu, sudah merupakan pelanggaran kampanye."

Menurut Munthe, usul Panwaslih Pematangsiantar yang disampaikan saat rapat kerja Panwaslih Sumut dengan Panwaslih kabupaten/kota se-Sumut bersama KPUD Sumut serta DPRD Sumut baru-baru ini sudah diakomodir Panwaslih Sumut. "Namun, faktanya hingga saat ini di mana-mana tanda gambar pasangan Cagub/Cawagub masih bertebar, padahal belum pelaksanaan kampanye." (a14) (ags)



Ketua PP Simalungun Bogem Wartawan Metro Siantar

Kekerasan terhadap jurnalis/wartawan kembali terulang. Kali ini terjadi di dekat perbatasan Kabupaten Simalungun dengan Kota Siantar, persisnya di salah satu lokasi doorsmer, Mara Service, Selasa (14/10).

Jansendi Purba (24) warga Jln Melati Kecamatan Siantar Barat Kota Siantar adalah wartawan Harian Metro Siantar (Group Jawa Pos) dianiaya oknum Ketua MPC Pemuda Pancasila Simalungun, Darwin Saragih dengan cara menampar wajah bagian pipi sebelah kanan.

Tidak terima atas perlakuan oknum Ketua PP itu, Jansendi Purba, Rabu (15/10) langsung membuat laporan pengaduan ke Polres Simalungun. Ketika mengadu, korban didampingi puluhan wartawan media cetak dan elektronik.

Usai mengadu, korban menerima STPL (Surat Tanda Penerimaan Laporan) nomor STPL/407/X/2008/SIMAL, yang ditandatangani oleh Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) "B" Ipda Manaek S Ritonga.

Selanjutnya, penyidik melakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara), di Jalan Asahan Kabupaten Simalungun. Tepatnya, berada di sebuah warung yang berada di lokasi doorsmeer Marah Service.

Jansendi Purba mengatakan, penganiayan yang dilakukan Darwin Saragih kepada dirinya, terkait berita yang ditulisnya di Harian Metro Siantar, edisi Selasa 14 Oktober 2008.

Berita itu seputar pengerjaan proyek rehap Sekolah Dasar (SD) di Saribu Dolok Kabupaten Simalungun, yang dananya berasal DAK (Dana Alokasi Khusus) 2008, dengan kontraktor oknum Ketua PP Simalungun tersebut.

Terkait beritanya itu, dua hari lalu (Selasa, 14/10) sekitar pukul 11.00 Wib, Jansendi mendapat telepon dari pelaku. Saat itu, pelaku merasa tidak senang atas pemberitaan yang ditulis Jansendi di Metro Siantar, kemudian Darwin Saragih mengajak Jansendi bertemu di TKP. Jansendi kemudian berangkat.

Naas bagi Jansendi Purba, begitu tiba di lokasi, Darwin Saragih yang sudah menunggu langsung melakukan pemukulan, setelah sebelumnya bertanya kepada Gatta, siapa yang membuat berita di koran yang kemudian menunjuk Jansendi.

"Dia yang menelepon supaya ketemu di lokasi tersebut, baru beberapa menit duduk dia langsung menanyakan kepada Gatta, mana wartawan Metro tersebut. Dan setelah Gattha menunjuk saya, dia (Darwin) berdiri dari duduknya dan langsung melayangkan tamparan ke arah wajah saya sebelah kanan,” aku Jansendi.

Bila tidak segera dilerai, menurut saksi mata Gatta Jerry (pemilik Doorsemeer Marah Service), kuat kemungkinan Darwin Saragih kembali melayangkan pukulan lanjutan. Sedangkan menurut Jansendi, setelah dirinya ditampar, pelaku kembali menghubungi dirinya melalui ponsel. Saat itu, pelaku terkesan mengancam korban, ”Masalah ini tidak sampai di sini saja. Terus berlanjut," ujar Jansendi meniru ucapan Darwin Saragih. Padahal, kehadiran korban ke TKP, untuk menjalankan tugas jurnalis, guna menindaklanjuti berita proyek DAK tersebut.

Sementara itu menurut pengakuan salah satu saksi bernama Gatta Jerry, yang juga konsultan DAK saat dikonfirmasi didampingi korban membenarkan adanya penganiayaan yang dilakukan Ketua PP Kab Simalungun tersebut. dimana awalnya Darwin Saragih sudah terlebih dahulu berada di dalam kantin dan langsung menelepon Jansendi untuk datang menemuinya.

Tidak berapa lama kemudian, Jansendi pun datang dengan mengendarai sepeda motornya dan duduk bergabung bersama. Saat itu mereka duduk berhadap-hadapan. Hanya beberapa menit duduk dibangkunya, Darwin langsung menanyakan yang mana wartawan Metro Siantar itu.

"Ya saya menunjuk ke arah Jansendi. Tapi tanpa diduga-duga Darwin langsung berdiri dari bangkunya dan dengan menggunakan tangan kiri melayangkan tamparan ke wajah bagian pipi sebelah kanan Jansendi,” aku Gatta.

Melihat penganiayaan itu, kata Gatta, dirinya berusaha melerai keduanya agar tidak berbuntut panjang. Darwin saat itu langsung keluar dari dalam kantin menuju ke halaman luar sembari berceloteh marah-marah. Beberapa menit kemudian Darwin masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil Tafft GT berwarna merah BK 987 meninggalkan Mara Service.

"Jansendi memang langsung ditampar tanpa membuat alasan," ujar Gatta.






Golput Oh Golput

Salah satu fenomena yang mentradisi sekaligus mencengangkan dalam setiap event politik kerangka transisi kekuasaan, baik dalam Pemilu DPR, DPRD dan DPD, Pilkada, Pilprer di negara ini, adalah tingginya angka golongan putih (Golput). Golput merupakan kelompok masyarakat yang tidak menyalurkan hak pilihnya pada saat proses pemungutan suara berlangsung, tentu dengan berbagai alasan dan penyebab.

Dari sembilan kali pelaksanaan Pemilu DPR di negara ini, sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2004 angka golput variatif, namun dalam beberapa penyelenggaraan ada kecenderungan meninggi secara tajam. Golput dalam Pemilu 1955 mencapai 12,34 persen, lalu pada Pemilu 1999 sedikit turun mencapai lebih dari 10,40 persen. Namun patut dicatat angka ini sebenarnya sudah sangat jauh di atas Electoral Threshold (ET) yang cuma 2 persen.

Pada Pemilu 2004, golput mencapai puncak terbesarnya dalam sejarah pemilihan umum yakni mencapai 23, 34 persen. Angka itu adalah 34.509.246, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS sebanyak 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Jumlah ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu Partai Golkar meraih 24.480.757 (16,54 persen). Sedangkan jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu 2004 adalah 148.000.369.

Fenomena serupa juga terjadi sejak Pilkada digelar Juni 2005. Yang sangat anyar adalah pelaksanaan Pilkada beberapa provinsi di Jawa. Dalam hitung-hitungan angka antara pemenang Pilkada dengan golput, di beberapa daerah ternyata golongan ini jauh melesat dengan raihan yang sangat tinggi melebihi angka capaian para kepala daerah yang dinyatakan pemenang terpilih.

Berdasarkan data yang diperoleh penulis, beberapa daerah yang menggelar Pilkada dengan angka golput cukup tinggi seperti Pilkada Jatim pada putaran pertama saja sudah mencapai 39,2 persen. Dari 29.061.718 pemilih, sekitar 11,4 juta diantaranya tak menggunakan hak pilih. Dua pasangan teratas yang akan bertarung pada putaran kedua hanya sanggup di 25 hingga 26 persen.

Pilkada DKI Jakarta pada Agustus 2007 golput sebesar 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Fauzi Bowo yang dicalonkan oleh banyak partai politik, termasuk Partai Golkar dan PDI-P, hanya meraih 2.010.545 atau 35,1 persen suara.

Pilkada Jawa Barat pada April 2008 mencapai 32,7 persen. Ahmad Heriawan terpilih sebagai Gubernur hanya memeroleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen.

Pilkada Jawa Tengah angka golput sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih. Pemenangnya pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang dicalonkan PDI-P dipilih meraup 43,44 persen pemilih.

Kemudian di Sumut, dimana bahkan pemenang Pilkadasu 16 Mei 2008 lalu sesunguhnya adalah golput yakni mencapai 40,01 persen dari 8, 4 juta pemilih terdaftar. Sedangkan pasangan terpilih Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho hanya mengantongi 28, 31 persen suara.

Meski tidak bisa dipungkiri di beberapa daerah yang sudah menggelar Pilkada ada juga yang angka golputnya di bawah 30 persen, seperti PIlkada Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. Namun hal itu tidak bisa menutup realitas, jika sesungguhnya secara umum angka golput memang merajai hampir seluruh event politik yang dilakukan di negara ini, termasuk Pilpres 2004, golput berkisar di angka 40 persen.

Pendataan Pemilih dan Figur Parpol Buruk

Melihat fakta angka golput yang sangat tinggi terutama di fase Pemilu 2004 dan Pilkada di beberapa daerah, sejumlah kalangan pengamat dan praktisi mulai digerahkan dengan keberadaan golput ini. Sejumlah faktor penyebab golput mulai diurai dan dianalisa.

Jeirry Sumampaow dari Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPRR), menyebut biang keladi meroketnya golput adalah akibat pendataan pemilih yang acak-acakan dan amburadul. Hal itu dimulai dari data penduduk yang diserahkan pemerintah kepada KPU, sangat jauh dari akurat. KPU yang kemudian melakukan pemutakhiran ikut-ikutan menjadi tidak akurat dan acak-acakan. Sebagai contoh, kata Jeirry, orang-orang yang terdaftar sebagai pemilih tetap ternyata ada yang sudah lama pindah dan ada yang sudah meninggal.

Hal senada disampaikan mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah. Menurut dia, bahwa tingginya angka golput karena proses pendataan pemilih yang amburadul. Apalagi menurutnya, metode pendaftaran pemilih menggunakan sistem daftar pemilih aktif, dimana masyarakat sendiri yang aktif bertanya dan mendaftarkan diri sebagai pemilih, sementara itu, petugas sifatnya pasif menunggu.

Sistem ini, kata Mulyana, turut menyumbang tingginya angka golput. Sebab, masyarakat yang sudah jenuh dan masa bodoh dengan seluruh proses pemilu, tidak terbantu untuk terdaftar sebagai pemilih.

Faktor lainnya adalah kejenuhan melihat parpol dan figur-figur yang dijual parpol itu sendiri, baik dalam formasi calon legislatifnya maupun figur kepala daerahnya. Sejarah telah banyak mengajar masyarakat, proses transisi kepemimpinan dan kekuasaan ternyata tidak pernah memberikan perubahan dan perbaikan secara langsung kepada masyarakat sehingga kemudian memunculkan sikap apatis dan itu lalu dikonversikan dalam sikap politik golput ketika momen politik kembali tersaji.

M. Fadjroel Rachman, seorang pengamat politik mengatakan, fenomena golput terjadi karena para calon pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat, belum sesuai yang diinginkan. Akibatnya, sebagian masyarakat memilih untuk golput.

Arief menyebut di era demokrasi liberal saat ini, golput terjadi karena tak ada figur yang mumpuni dan didambakan rakyat. Beda dengan golput di era Orde Baru. Saat itu, mereka tak memilih untuk menunjukkan perlawanan terhadap rezim.

Menekan Golput

Selain harus memperbaiki sistem pendataan pemilih dan hal teknis lainnya, usul kencang dan menantang untuk mengeliminir tingginya angka golput datang dari Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR RI. Ketika menjadi pembicara dalam diskusi yang difasilitasi Koalisi Media baru-baru ini di Pematangsiantar, Akbar menawarkan agar partai politik kreatif dalam ruang politiknya.

Parpol menurutnya harus kreatif dalam mengelola isu yang akan “dijual” kepada masyarakat. Isu yang nantinya bisa memancing daya tarik masyarakat untuk memastikan ikut atau tidak berpartisipasi dalam pemilu. Dalam isu yang dilesakkan itu nantinya harus ada sesuatu yang baru dan baiknya bukan yang normatif.

Ide mentereng juga datang dari Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Imam Suprayogo (Suara Pembaruan Daily Edisi 30 Juli 2008). Menurut dia salah satu bentuk jitu untuk menekan golput adalah dengan melancarkan sosialisasi gencar tentang pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi.

"Kalau mayoritas rakyat merasa pemilu itu memilih pejabat, dapat diprediksi golput akan menggelembung, karena mereka merasa aneh, pejabat kok dipilih. Beda lho kalau rakyat diminta memilih pemimpin. Tanpa diminta, mereka pasti datang berbondong-bondong, karena mereka memang butuh pemimpin, bukan butuh pejabat," ujarnya.

*(Penulis adalah redaksi CAS FM Siantar Simalungun dan anggota AJI Medan )




Pers Bukan Cuma Sarang Bualan Apalagi Jualan Pemilu 2009

Pemilihan Umum (Pemilu) tinggal hitungan bulan sebelum tiba pada April 2009. Pemerintah dengan segala jerih payah dan energi yang dimilikinya telah melakukan sejumlah persiapan penting dan mendesak guna melancarkan serta mensukseskan agenda lima tahunan tersebut.

Salah satu fakta yang sudah disiapkan pemerintah bersama DPR adalah proses pelahiran sejumlah ketentuan yang akan menjadi “kitab suci” pelaksanaan, seperti UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, kemudian digenjot dengan pelahiran UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik sebagai pengganti ketentuan sebelumnya yakni UU Nomor 31 Tahun 2002, dan terakhir adalah lahirnya UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, guna menggantikan ketentuan
sebelumnya UU Nomor 12 Tahun 2003.

Melihat kesibukan pemerintah dan DPR berwujud pelahiran karya politik berupa ketentuan yang kelak memayungi seluruh tahapan Pemilu 2009 itu, tidak mau ketinggalan (sejatinya) sejumlah elemen strategis juga melakukan kesibukan serupa yang roh-nya tidak jauh dari rangkaian proses menuju dan mendukung pewujudan impian menjadikan Pemilu 2009 sebagai pemilu milik rakyat.

Elemen strategis dimaksud, selain institusi-institusi bentukan negara sekelas Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, Kejaksaan bahkan Peradilan yang kelak bergerak dan beraplikasi dalam segmen proses sengketa dan pidana pemilu nantinya, juga elemen civil society (masyarakat sipil) seperti lembaga swadaya masarakat (LSM) dan pers, harus ikut berbenah.

Elemen ini, mesti sadar sepenuhnya jika proses dan tahapan pemilu yang tengah digadang-gadang oleh seluruh perangkat yang mengitari seperti KPU, Bawaslu, DPR, bahkan Parpol tidak selayaknya diperbiarkan bergulir dan bergerak sesuai selera tanpa memasukkan rasa yang memuati dan memboboti menu-nya rakyat sebagai pemilik tunggal kedaulatan seluruh proses politik dan demokrasi yang tengah dirancang bangun oleh negara.

Gerakan yang didesain dan kemudian digaungkan secara nasional oleh sejumlah elemen masyarakat yang konsern seperti ICW, JPRR, Lingkar Madani, SOPo, dll, beberapa waktu lalu di Jakarta dan Siantar berupa Deklarasi Gerakan Tidak Pilih Politisi Busuk (Ganti Polbus) misalnya, layak diapresiasi, diduplikasi bahkan dirangkai temali oleh elemen civil society berikutnya yakni lembaga pers.

Kalau kelompok atau aliansi LSM bertolak dari sebuah ide tentang kampanye “pembusukan” politisi-politisi yang menurut dan merunut fakta yang ada, bahwa kinerja mereka (politisi-politisi) nyata-nyata tidak berkolerasi sehat dengan urusan rakyat, lalu kemudian dicap sebagai ‘barang busuk’ karena tidak akan mungkin mendatangkan rasa manis dan segar dari jalinan-jalinan politiknya di parlemen, maka tugas berkelanjutan itu harus disambut secara cerdas oleh lembaga pers melalui perannya yang pasti lebih memiliki peran energik dan penetratif.
Hanya saja memang, dalam mengkayuh perannya, lembaga pers harus cerdas melihat dan mengamati : jangan sampai kampanye atau sosialisasi apapun yang dimainkan siapapun (termasuk para pihak yang menggaungkan Politisi Busuk misalnya) tidak justru menjebak apalagi mau dijitak secara bulat-bulat oleh muatan tersembunyi yang bisa saja disponsori oleh kepentingan yang memang bernafsu mengkondisikan muatan bertajuk pembenaran apalagi pembantaian.

Atau katakanlah misalnya orderan berupa pemasangan iklan politik dari caleg (calon legislatif), parpol atau tim kampanye, tidak lalu menjadikan pers atau perusahaan penerbitan atau penyiaran cuma senyum-senyum sembari menghitung profit yang akan diterima dari nilai orderan yang membludak, karena memang aliran dana segar seperti itu hanya bisa dinikmati cuma satu kali dalam lima tahun.

Meski sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pendidik (to educate), lembaga pemberi informasi (to inform) dan lembaga penghibur (to entertain), logikanya pers tidak harus diam kaku dengan tri tunggal ini. Pers idealnya harus mampu sebagai penganalisa (to analisys) dan pemberi solusi (to solution) atas seluruh tahapan dan proses yang berkisar dan berputar di Pemilu 2009.

Bagaimana pers, melalui ruang editorial, opini, atau rubrik yang khusus menyerap aspirasi rakyat menyangkut pemilu (suara pembaca misalnya) secara sadar sesadarnya menyusupkan secara vulgar kritikan-kritikan atas proses dan tahapan pemilu yang tengah berlangsung. Atau bahkan bila perlu secara sengaja mengarahkan sudut pandang (angle) pemberitaan dalam format yang kritis tanpa harus meninggalkan obyektifitas dan akurasi bernaas.

Patut dicatat, saat ini sudah cukup banyak tahapan Pemilu 2009 berjalan di garis keanehan dan lawak-lawak. Mulai dari belum terbentuknya instrumen penyelenggara seperti pengawas pemilihan umum di tingkat provinsi (di beberapa daerah) hingga kelurahan, pembentukan PPK dan PPS yang terlambat (di beberapa daerah), transisi dari proses rekrutmen KPU Provinsi, Kabupaten/Kota yang diyakini membuyarakan konsentrasi tugas internal (apalagi banyak anggota KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota lama masih berambisi duduk ulang), sosialisasi dan pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang tidak ‘mengggaung’, tarik ulur penggunaan ketentuan caleg terpilih hingga wacana revisi terbatas UU Nomor 10 Tahun 2008 bahkan sampai pada menyangkut soal belum cairnya anggaran ke seluruh perangkat penyelanggara, menjadi menu-menu utama dalam skenario pra April 2009.

Untuk itu, pers memang tidak selayaknya diam apalagi adem-adem dengan kondisi ‘sumbat’ ini yang kelak bisa terakumulasi menjadi konflik memuncak. Tidak cukup hanya menjadi ‘sarang bualan’ dan ‘sarang jualan’ iklan politik para pemangku kepentingan atau juga para pemangku legitimasi kekuasaan, pers dengan power yang dimilikinya bisa saja melecut untuk mempercepat yang lambat, atau bahkan meredam potensi kacau dalam Pemilu 2009 kelak. Karena memang pers adalah institusi cerdas dan bernaas yang bukan bukan cuma menjual suara, gambar apalagi kertas!
*Penulis adalah wartawan CAS FM Siantar Simalungun dan terdaftar sebagai anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independent) Kota Medan .



Menguak Tabir Seleksi Calon KPU Simalungun

Ada tiga persyaratan mutlak yang harus dipenuhi para Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 yakni memiliki integritas, profesionalitas dan akuntabilitas. Sepanjang ketiga persyaratan itu tidak dipenuhi maka akan sulit melahirkan sebuah pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dan untuk bisa melahirkan para penyelenggara pemilu ideal di atas terutama menyongsong Pemilu 2009 mendatang, negara atau pemerintah mengawalinya dengan melahirkan perangkat penyelenggara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan perangkatnya hingga ke daerah serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan perangkatnya hingga ke daerah.

Dalam tahapan melahirkan semua instrumen itu terutama KPU, pemerintah membentuk Tim Seleksi yang unsur-unsurnya diutus oleh Pemerintah, DPR dan KPU sebelumnya. Tim yang terdiri dari lima orang ini berasal dari kalangan akademisi, profesional dan masyarakat.

Hanya saja dalam merekrut Tim Seleksi, pemerintah, lembaga perwakilan rakyat dan KPU juga harus memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 dimana salah satu isinya menyebut Tim Seleksi harus memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun 5 (lima) tahun terakhir.

Karena memang idealnya untuk melahirkan personil penyelenggara pemilu, Tim Seleksi juga harus memenuhi persyaratan yang sudah diatur dalam undang-undang. Tidak mungkin misalnya, Tim Seleksi yang melanggar aturan atau cacat ketentuan atau tidak memiliki integritas dan pernah terdaftar sebagai anggota parpol lantas bisa melahirkan personil KPU yang memiliki integritas, profesionalitas dan akuntabilitas.

Apalagi sampai Tim Seleksi ternyata masuk dalam salah satu partai politik, hampir bisa dipastikan yang bersangkutan tidak akan mungkin bersikap obyektif dalam menilai dan menseleksi peserta yang ikut bertarung dalam merebut jabatan KPU. Karena sudah akan menilai berdasarkan unsur politis dan bukan lagi menyangkut integritas, profesionalitas atau akuntabilitas orang yang dinilai.

Proses Seleksi Calon KPU Simalungun Cacat ?

Saat ini sejumlah daerah di Sumatera Utara tengah menjalankan proses seleksi calon anggota KPUD, terutama untuk daerah yang masa tugas penyelenggara sebelumnya sudah akan berakhir. Tidak luput adalah Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Merujuk pada UU Nomor 22 Tahun 2007, KPU Sumatera Utara selanjutnya membentuk Tim Seleksi di kota-kabupaten ini, seraya memperhatikan ketentuan dan persyaratan sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.

Jika di Kota Pematangsiantar lima anggota Tim Seleksinya merupakan tunjukan langsung dari KPU Sumatera Utara, karena Pemko dan DPRD setempat yang seharusnya memiliki tiga jatah tidak mengutus orang ke Tim Seleksi, maka di Kabupaten Simalungun tiga orang merupakan utusan DPRD dan Pemkab setempat dan dua utusan KPU Sumatera Utara, meski orang-orang yang ditunjuk kesemuanya adalah penduduk Pematangsiantar yakni Ulung Napitu (Rektor USI) dan Rokiba Hasibuan (Kepala UISU Simalungun) dan keduanya ini utusan DPRD Simalungun, lalu Abdul Halim Lubis (Ketua MUI Simalungun) utusan Bupati serta Binaris Situmorang (Pengacara) dan Lasman Malau (Dosen) “diplot” oleh KPU Sumatera Utara.

Dalam perjalanan melakukan aktifitas seleksi, Tim Seleksi Calon Anggota KPU Simalungun belakangan mulai dipersoalkan banyak pihak dan kalangan. Banyak hal yang aneh dan janggal lahir dari tim ini.

Satu diantaranya, meski terbilang telat, itupun setelah tim ini menggelar rapat pleno menetapkan 10 besar pada pertengahan September, terungkap salah seorang anggota tim pernah menjadi calon legislatif (caleg) di Kabupaten Simalungun pada Pemilu 2004 lalu.

Banyak pihak kemudian mulai meragukan hasil kerja tim yang diduga sudah cacat aturan dan tidak mengindahkan ketentuan dalam UU Nomor 22 tahun 2007 dan juga dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat 1 huruf (d) yang menyebut syarat menjadi anggota Tim Seleksi tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Meski tidak harus menyebut dan tunjuk-tunjuk nama, namun yang pasti jika hal itu benar, maka akan sangat disayangkan, disesalkan dan menyebalkan. Karena sebelum menjadi anggota Tim Seleksi, siapapun orangnya harus mengawali dengan mengisi beberapa formulir diantaranya Surat Pernyataan Tidak Pernah Menjadi Anggota Partai Politik. (Peraturan KPU No 13 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat 2 huruf e).

Sekali lagi, jika itu benar, yakni ada salah seorang anggota Tim Seleksi sudah cacat aturan, maka pertanyaan berikutnya adalah : Apakah Tim Seleksi masih bisa dianggap legal dan apakah semua produknya itu juga bisa diterima secara legal?

Sulit menjawab itu, karena memang wewenang pembentukan Tim Seleksi ada di tangan KPU Sumatera Utara dan hanya lembaga ini yang berhak memberikan jawaban atas itu. Tetapi terlepas dari aturan legal formal menyangkut Tim Seleksi dan produknya, jika dianggap sudah cacat aturan, maka sangat ideal jika Tim Seleksi itu harus diganti dan semua produknya direvisi dan direposisi. Karena apapun ceritanya, untuk menghasilkan calon anggota KPU Simalungun yang memiliki integritas, profesionalitas dan akuntabilitas, maka Tim Seleksinya juga harus yang memiliki syarat-syarat yang sama. Seperti di awal tulisan ini, seorang anggota tim yang berasal dari partai politik, akan menilai berdasarkan unsur politis serta jauh dari muatan obyektif sebagaimana disebut aturan yang memayunginya.

Lalu yang lain juga, orang mulai menggugat-gugat kedekatan salah seorang anggota Tim Seleksi dengan seorang peserta seleksi. Disebut-sebut keduanya sama-sama kerja di salah satu BUMD di pemerintahan.

Orang lalu bertanya, jika keduanya dekat sebagai teman dan satu teman kerjaan, apakah posisi keduanya sebagai Anggota Tim Seleksi dan Peserta Seleksi, tidak juga akan menjadi teman dalam proses seleksi? Siapa bisa menjamin yang Si Anggota Tim akan bersikap obyektif terhadap Si Calon atau Peserta Seleksi yang adalah temannya? Siapa bisa menjamin Si Anggota Tim tidak akan membela tatkala Si Calon atau Peserta yang adalah teman kerjanya, disoroti masyarakat karena punya masalah kinerja buruk? Dan siapa bisa menjamin Si Anggota Tim akan berani memberikan nilai rendah terhadap Si Calon yang juga temannya kesana kemari?

Okelah, tidak ada aturan di KPU, yang melarang anggota Tim Seleksi tidak bisa dekat atau berteman dengan seorang Peserta Seleksi. Tapi, bisakah penilaian Si Anggota Tim Seleksi dipertanggungjawabkan akan benar-benar obyektif ? Dan satu lagi yang patut disimak, bahwa Si Anggota Tim Seleksi ini sangat diragukan akan bersikap adil dalam meloloskan calon.

Ada beberapa azas yang harus dipedomani para penyelenggara pemilu dalam UU No 22 Tahun 2007, sebut diantaranya jujur dan adil. Bisakah Si Peserta yang kelak lolos menjadi KPU itu bersikap jujur dan adil, sedangkan dia sendiri lahir dari proses yang tidak jujur dan adil? Termasuk soal berani berbohong menyebut tidak anggota partai politik ternyata adalah anggota partai politik?

Yang lain juga, pasca pleno penetapan 10 besar dari 20 besar, Tim Seleksi mulutnya seakan diperban. Mereka sangat tertutup. Dengan dalih melanggar aturan KPU, Tim Seleksi enggan dan ogah mengumumkan semua hasil penilaian tes ke publik. Aturan mana yang dilanggar, sulit dilacak karena memang itu tidak ada. Mereka barangkali lupa atau juga abai membaca, salah satu ketentuan dalam UU No 22 Tahun 2007 yakni pasal 13 ayat 1 menegaskan bahwa “Tim Seleksi Melaksanakan Tugasnya Secara Terbuka Dengan Melibatkan Partisipasi Masyarakat”. Lantas, jika sudah begini tertutupnya? Ada apa dengan Tim Seleksi dengan penetapan hasil 20 dan 10 besarnya? Jangan-jangan…ah rahasialah!

Dan terakhir, melihat banyaknya keanehan dan kejanggalan dalam proses seleksi Calon Anggota KPU Simalungun Periode 2008-2013 ini, orang bisa saja menyimpulkan jika proses seleksi di Kabupaten Simalungun diduga kuat cacat aturan, bahkan sangat terbuka kemungkinan cacat hukum! (*Penulis adalah Penduduk Simalungun)

DeleteReplyForwardMove...

Entaskan Golput !

Oleh Tigor Munthe (terbit di Metro Siantar Edisi Oktober 2008)

Salah satu ‘sosok’ seram dan menakutkan dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, legislatif dan presiden di negara ini adalah kehadiran golongan putih atau Golput. Dia seram karena selalu tampil dengan angka-angka menakjubkan yang kemudian mampu berkompetisi dengan angka para pemenang yang ditetapkan. Sebuah indikasi jika gelaran pemilu itu tidak dilegitimasi rakyat sepenuhnya. Bukankah cukup menakutkan?


Fakta golput selalu luput dari amatan kontestan pemilihan. Partai politik dalam kontes Pemilu Legislatif dalam sejarah berulang kerap lebih heboh asyik dengan dirinya sendiri, soal jualan visi dan misi, koar-koari program dan sodor-sodori caleg. Malangnya semua dalam wadah dangkal dan basi, tanpa isi dan amunisi bernyali.

Tingkah serupa tampak pada sosok kandidat-kandidat kepala daerah yang bernafsu menjadi pemimpin eksekutif daerah. Dengan trik, strategi usang dan afkir, kelompok yang satu ini berlenggok di jerih pemasaran apakah soal “ketokohan” kandidat, apakah soal program jika kelak duduk di kursi empuk, apakah soal membangun rakyat atau kuburi penyakit-penyakit yang hambat rakyat menikmati kemajuan. Tapi kesemuanya, sekali lagi, dangkal dan tak berisi, bahkan belakangan cuma ingkari hati rakyat.

Itu barangkali mengapa banyak orang atau rakyat yang disuruh memilih atau terpaksa memilih karena disesaki uang dan sembako, kemudian berhenti untuk tidak salurkan hak pilih. Karena siapa bilang rakyat miskin atau rakyat yang didata dan dipaksa didata untuk memilih adalah bodoh lalu gampang disuapi dengan materi usai menabur janji.

Ini sebuah fakta amat sangat kuat, banyak rakyat ketika hari pemilihan dilangsungkan memilih untuk tidak memilih, lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari, menarik beca, berjualan keliling, berladang atau berjualan nasi. Dalam benak rakyat barangkali terpatri, memilih kayaknya sama saja dengan tidak memilih. Kerana pertanyaannya : Adakah yang bertambah atau berubah maju dalam 5-10 tahun terakhir, ketika suara dan hati untuk memilih diarahkan ke kertas di bilik suara yang berisi gambar dan nomor pada kandidat atau partai politik?

Lantas datanglah gugatan atau tudingan sejumlah pengamat dan politisi yang sebut jika golput adalah sikap yang salah, dosa bahkan haram, karena dianggap tidak mau tahu dengan kemajuan bangsa ini. Mereka sebut, dengan tidak menyalurkan hak politik atau golput berarti tidak berkeinginan untuk mengubah bangsa ini ke aras yang lebih baik.

Tapi siapa berani sangkal, jika kelompok minoritas di negara ini, yakni para figur yang duduk di legislatif (DPR, DPRD) dan pemerintahan, lebih korup, lebih amoral, lebih apolitis dan lebih tak berkeinginan mengubah negara ini ke aras yang lebih baik, dengan kapitalisasi jabatan yang disandangnya atau dengan gurita KKN misalnya, dibanding kelompok mayoritas yakni rakyat pemilih yang terus-terusan berjuang memperbaiki hidupnya?

Fakta Sebab Golput

Meski tidak harus sebut rakyat golput sebagai hantu pemilu sangkin seramnya, tetapi postur rendahnya partsipasi politik rakyat tidak harus disudutkan dengan stigma-stigma miring atau nada mengancam, dengan menyebut golput adalah dosa atau haram misalnya. Fokus yang dikeringati siapapun sejatinya adalah cari akar golput lalu entaskan.

Sebutlah diantaranya :

-Penyelenggara Pemilu kurang serius dan intens lenyapkan atau minimalkan golput. Sejauh ini, hampir seluruh elemen dan instrumen pemilu tampak hanya sekedarnya dalam membangunkan partisipasi politik rakyat. Topeng sosialisasi yang digadang-gadang tidak terlihat bergreget. Selain rendah dana, rendah frekuensi juga rendah bobot dan isi.

-Sistim Pemilu dan segala persoalan teknisnya yang belum pas dan tertata dengan baik. Salah satu contoh yang kerap menjadi persoalan adalah menyangkut kartu pemilih.

-Partai Politik atau kontestan Pilkada terkesan onani politik. Bermimpi bisa dirikan partisipasi politik rakyat cuma dengan visi, misi dan program yang korelasinya tidak kait mengkait dengan kehidupan langsung rakyat. Memaksakan program yang rohnya berasal dari pikiran sendiri, bukan kebutuhan rakyat pemilih.

-Partai Politik atau kontestan Pilkada lebih banyak ingkar janji, minim realisasi, ujungnya kepercayaan rakyat pemilih degradasi.

-Partai Politik juga terlihat tidak ideal dalam menjalankan fungsi sebagai media pencerdas politik rakyat, karena partai politik kerap lebih disibuki oleh kerja-kerja konsolidasi internal struktur, abai akan rakyat di sekelilingnya yang tidak masuk dalam tataran struktur. Padahal rakyat yang diabai itu justru lumbung terbesar yang siap dituai di masa pemilihan.

-Pemimpin yang didudukkan, banyak bejat dalam segala aspek, apakah korupsi, kolusi, nepotisme, kriminal hingga amoral.

-Sistim politik dan pemerintahan yang belum pro rakyat, karena banyak regulasi yang lahir dari pemerintah dan legislatif yang justru merugikan rakyat, padahal keberadaan mereka (pemerintah dan legislatif) lahir dari rahim dan suara rakyat.

Lalu, merujuk beberapa fakta kasat mata itu, ada baiknya golput tidak lagi menjadi hantu pemilu. Itupun sepanjang fakta-fakta itu dieliminasi secara dini oleh pihak yang paling bersentuhan langsung dengan proses pemilihan. Ibarat dokter spesialis yang gampang dan ahli mendeteksi penyakit tertentu, dan dengan mudah pula menyodorkan resep obat yang bisa menghentikan penyakit, sangat dibutuhkan dokter-dokter golput yang saat ini mendapat tugas dari negara untuk secepatnya menghentikan golput-kalaupun itu sebuah penyakit dan bukan dosa atau haram.

Meski tidak mudah, tetapi sungguhnya tidak sulit. Karena elemen dan instrumen yang sudah ada saat ini, seperti KPU, Panwas, Pemantau, Partai Politik, dan kelompok konsern lainnya, memiliki potensi dan daya untuk lakukan eliminisasi golput dalam titik yang paling ditoleransi. Agar apa yang menjadi impian demokrasi yakni sebuah pemilu disebut yes dan oke sepanjang tingkat partisipasi politik rakyat sudah benar-benar tinggi dan pada level sadar, benar sungguh terwujud! (Penulis adalah wartawan CAS FM)